Sukatani, duo musisi asal Purbalingga, muncul ke publik dengan karya-karyanya sejak Oktober 2022. Nama band ini terinspirasi dari gambaran desa idaman yang asri dan sejahtera, nilai-nilai yang coba diangkat melalui karya musik mereka.
Dengan genre perpaduan new wave dan punk, Sukatani menyuarakan keresahan sosial lewat lirik tajam dan penampilan unik. Mereka pun punya lagu berbahasa Jawa “Ngapak” sebagai ciri khas.
Sukatani digawangi oleh dua personel: Ovi (vokal, dikenal sebagai Twister Angel) dan AI (Alectroguy, gitaris dan komposer). Ovi, yang telah aktif di dunia musik Purwokerto sejak 2013, menuangkan kegelisahannya terhadap lingkungannya ke dalam lirik. Ia kemudian berkolaborasi dengan Alectroguy untuk mengembangkan ide musiknya.
Berdasarkan profil Spotify mereka, Sukatani terinspirasi oleh band anarcho-punk era 80-an dan grup proto-punk awal. Tanpa anggota tambahan, duo ini mengandalkan teknologi digital: Alectroguy mengisi instrumen drum, bass, dan gitar secara virtual, sementara Ovi menangani vokal serta teriakan khas punk.
Mereka juga menambahkan elemen synthesizer, menciptakan fusion unik antara street punk dan musik elektronik.
Identitas dan Aksi Panggung Sukatani
Di akun Instagram @sukatani.band, mereka mendeskripsikan diri sebagai “duo/new wave kabupaten”. New wave, subgenre rock yang muncul tahun 1970-an, dikembangkan Sukatani dengan sentuhan elektronik dan eksperimentasi kekinian.
Selain musik, penampilan mereka dikemas secara teatrikal: keduanya selalu mengenakan topeng kain saat manggung, menjaga anonimitas sekaligus ikonik. Uniknya, dalam beberapa penampilan, Sukatani kerap membagikan sayuran kepada penonton.
Aksi ini diinterpretasikan sebagai kritik terhadap isu lingkungan, ketahanan pangan, dan ajakan berbagi. Konsep ini selaras dengan lirik-lirik mereka yang sarat pesan sosial.
Kontroversi Lagu “Bayar Bayar Bayar”
Pada 20 Februari 2025, Sukatani membuat kejutan dengan tampil tanpa topeng di video Instagram, suatu citra dan profil Sukatani yang tak biasa dilakukan.
Mereka memperkenalkan diri sebagai Muhammad Syifa Al Luthfi (Alectroguy) dan Novi Citra Indriyati (Ovi), lalu meminta maaf kepada Kapolri dan institusi Polri atas lagu “Bayar Bayar Bayar”.
View this post on Instagram
Dalam pernyataan itu, mereka menjelaskan lagu tersebut ditujukan untuk mengkritik oknum polisi korup, bukan institusi secara keseluruhan. Mereka juga menarik lagu itu dari platform digital dan meminta publik menghapus konten terkait.
Namun, video permintaan maaf ini menuai kecurigaan. Usman Hamid (Direktur Amnesty International Indonesia) menyatakan, “Tidak mungkin Sukatani meminta maaf tanpa tekanan.” Amnesty mendesak Polri menginvestigasi dugaan intimidasi.
Tanggapan Polri dan Viralnya Lagu
Kepala Humas Polda Jateng, Kombes Artanto, membantah adanya paksaan dan intimidasi. Ia menjelaskan bahwa pertemuan penyidik Siber Polda Jateng dengan Sukatani di Banyuwangi (20 Februari 2025) hanya untuk berdialog.
Meski dihapus, lagu “Bayar Bayar Bayar” telah menyebar luas. Liriknya yang blak-blakan mengkritik praktik pungutan liar oleh oknum polisi—seperti pembuatan SIM, tilang, hingga korupsi—dinyanyikan dalam irama catchy. Berikut cuplikan liriknya:
Mau bikin SIM bayar polisi / Ketilang di jalan bayar polisi
Mau korupsi bayar polisi / Mau gusur rumah bayar polisi
Lagu ini menjadi simbol protes. Saat demonstrasi “Indonesia Gelap”, mahasiswa dan aktivis menyanyikannya sebagai bentuk solidaritas. Musisi seperti Bottle Smoker, Uncle O, dan Soulsureplus juga membuat cover atau remix lagu tersebut.
Dampak dan Dukungan Publik
Pencabutan lagu justru memicu gelombang dukungan. Warganet dan seniman secara mandiri mengunggah ulang lagu tersebut, menunjukkan resistensi terhadap sensor.
Akhirnya, lagu “Bayar Bayar Bayar” seolah tak lagi identik dengan profil Sukatani. Lagu itu jadi milik publik dan dinyanyikan di mana saja. Musiknya bisa saja diturunkan dari platform digital, tetapi para pelantunnya tak bisa dibendung.
Kontroversi ini menyoroti kompleksitas kebebasan berekspresi di Indonesia. Di satu sisi, Sukatani dianggap berani menyuarakan ketimpangan; di sisi lain, tekanan terhadap kritik sosial masih menjadi tantangan.
Sukatani bukan sekadar duo musik, melainkan cerminan suara generasi yang frustasi dengan korupsi dan ketidakadilan.
Meski harus berhadapan dengan otoritas, karya mereka membuktikan bahwa musik tetap menjadi medium ampuh untuk menyampaikan kritik dan keresahan. Lagu “Bayar Bayar Bayar” mungkin telah dihapus, tetapi pesannya terus bergema—baik melalui protes jalanan maupun karya musisi lain yang terinspirasi.
Baca juga: