• Esai
  • Persoalan “Bumi Manusia” yang Belum Usai
Esai

Persoalan “Bumi Manusia” yang Belum Usai

Bumi Manusia menjadi karya modern tentang Indonesia mencari identitas di hadapan hukum kolonial. Bisa jadi pijakan membaca kondisi hari ini.

“Bumi Manusia” yang Belum Usai. Pramoedya Ananta Toer
Persoalan “Bumi Manusia” yang Belum Usai. (Dikolase dari foto Sindhunata (Kompas) dan berbagai sumber)

Sejak terbit 45 tahun lalu pada 1980, Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer menjadi salah satu karya penting Sastra Indonesia yang tetap relevan dibaca. Karya ini menjadi karya pertama yang terbit setelah Pram bebas dari pengasingan di Pulau Buru pada 1979.

Ia menjadi awal cerita panjang dari Tetralogi Pulau Buru—memang tiga dari empat karya ini dihasilkan ketika Pram menjalani pengasingan di Pulau Buru—yang sebelumnya diceritakan secara lisan kepada sesama tahanan hingga diselundupkan keluar dari pulau tersebut.

Roman ini menjadi penanda kebebasan Pram dari penjara. Pembaca sastra merayakannya saat itu, sampai-sampai roman tersebut 10 kali cetak ulang. Namun, perayaan tersebut tak berlangsung lama. Setahun kemudian, Bumi Manusia dinyatakan dilarang oleh Jaksa Agung karena dianggap mengandung ajaran marxisme-leninisme.

Padahal, tak ada satu pun di dalam buku tersebut—maupun tiga karya selanjutnya—tertulis marxisme-leninisme. Sebagai sebuah produk kreatif dan intelektual, tuduhan terhadap karya Pram pun tak pernah dibuktikan secara intelektual atau hukum. Dan inilah babak baru pembredelan karya Pram setelah bebas dari kamp konsentrasi Pulau Buru.

Dari hukum kolonial hingga feodalisme

Bumi Manusia mengisahkan Minke, seorang pelajar di Hogere Burger School (HBS), sekolah menengah atas Belanda pada masa Hindia Belanda. Minke terpukau dengan berbagai hal yang berbau Belanda.

Saat itu, ia menjadi salah satu murid dari kalangan pribumi yang beruntung bisa bersekolah di sana karena berasal dari kalangan bangsawan. Minke adalah seorang anak Bupati Blora yang merantau ke Wonokromo untuk sekolah.

Di sekolah ini, ia bertemu dengan Robert Suurhof yang menjadi kawan setianya untuk mencari jawaban atas berbagai keingintahuannya, termasuk tentang mimpi-mimpi modernitas. Sejak diajak ke rumah Robert Mellema dan bertemu dengan Nyai Ontosoroh, keingintahuannya dengan apa yang disebut modern membuatnya ingin terus bertemu dengan ibu dari seorang gadis bernama Annelies tersebut.

Minke kepincut pandangan pertama dengan kecantikan Annelies. Ia kemudian memenuhi permintaan Nyai Ontosoroh untuk tinggal di rumahnya. Sejak saat itulah, secara perlahan, Minke semakin tersadarkan dengan berbagai fakta tentang keluarga Nyai Ontosoroh yang begitu kompleks. Ia pun semakin paham kenyataan bahwa dirinya tetap seorang Jawa pribumi yang dianggap tak setara dengan orang Belanda walaupun bisa berbahasa Belanda.

Selain mengangkat soal hukum kolonial Belanda, roman pertama Tetralogi Pulau Buru ini turut menarasikan persoalan feodalisme. Hal tersebut tampak saat Minke dipanggil paksa kembali ke rumahnya di Bojonegoro.

Di hadapan ayahnya yang seorang bupati, Minke masih harus lampah dhodhok (jalan berjongkok) saat menghadap orang tuanya, walaupun ia sudah mendapatkan pendidikan Eropa. Di hadapan feodalisme keluarga, Minke tak mampu menolak dan mau tak mau harus melakukan adegan yang ditolaknya dalam hati. Melalui adegan tersebut, Pram mencoba mengkritik budaya feodal yang sangat ditolaknya.

Bumi Manusia sebagai Alegori

Cerita dalam Bumi Manusia barangkali tak hanya sekadar upaya Pram untuk menceritakan masa lalu melalui fiksi hingga kita terpukau dengan apa yang disampaikannya. Lebih dari itu, melalui cerita tersebut, Pram mencoba menelisik lebih dalam apa yang sebenarnya membentuk manusia Indonesia pada awal abad ke-20.

Di kemudian hari, kita tahu bahwa tokoh Minke terinspirasi dari sosok nyata bernama Tirto Adhi Soerjo, salah satu tokoh pers Indonesia. Tirto merupakan sosok yang dibangkitkan Pram dari kuburan ingatan yang minim disebut dalam sejarah resmi saat itu.

Awal abad ke-20 adalah permulaan kebijakan Politik Etis diterapkan di Hindia Belanda. Sejak itu, kemudian lahir elite-elite terdidik dari kaum pribumi seperti yang tergambar dari sosok Minke. Berbagai persinggungan tersebut hingga pertemuannya dengan Nyai Ontosoroh yang terdidik dengan literatur Belanda membuatnya sadar bahwa dirinya bukan orang Belanda dan derajatnya berbeda di hadapan hukum kolonial.

Di hadapan hukum tersebut, ia mau tidak mau harus kehilangan kekasih atau istrinya yang mesti pergi ke Belanda, tempat yang tak pernah dikenalinya sama sekali. Pernikahan Minke dan Annelies dianggap tidak sah menurut hukum kolonial karena seorang Indo tidak boleh menikah dengan pribumi. Hubungan Minke dan Annelies disebut hubungan asusila yang terlarang baik secara hukum dan moral kolonial.

Minke dan Nyai Ontosoroh mesti menghadapi hukum yang tak adil dan tidak akan pernah bisa memihak kepada mereka. Minke harus melepas Annelies, sementara Nyai Ontosoroh tak hanya mesti melepas Annelies, tetapi juga harus melepas semua usaha yang dibangunnya dengan susah payah selama ini saat bersama almarhum suaminya, Robert Mellema.

Hukum kolonial mengatur bahwa seluruh harta kekayaan Robert Mellema yang seorang Belanda mesti diwariskan ke keluarganya yang sah di Belanda. Kendati Nyai Ontosoroh punya peran besar terhadap usaha yang dibangun keluarganya, ia tetap dianggap gundik dan tak berhak menjadi pewarisnya oleh hukum kolonial.

Jilid pertama tetralogi ini menjadi alegori yang secara faktual tidak hanya berhenti di masa kolonial. Walaupun Indonesia sudah merdeka dan hari ini akan memasuki usia 80 tahun, berbagai tindakan feodal dan sisa-sisa kolonial masih kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.

Kenyataan ini tak bisa dihindari sebab Indonesia gagal membabat habis feodalisme yang menjadi akar berbagai penindasan. Revolusi Indonesia barangkali berhasil mengikis habis kolonialisme formal yang dilakukan oleh Belanda maupun Jepang, tetapi mental feodal—dan mungkin juga kolonial—tak benar-benar hilang. Salah satu sebabnya seperti yang Heather Sutherland simpulkan dalam Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi (Sinar Harapan, 1983) bahwa birokrasi Indonesia mewarisi tatanan birokrasi Hindia Belanda yang sama sekali tak berbeda jauh.

Karena itu, walaupun pada masa Sukarno mulai tampak terkendali dengan baik, tetapi pada masa Soeharto mental feodal itu subur dan menjadi mental “asal bapak senang” (ABS). Bawahan rela melakukan apa pun asal atasan merasa senang dengan harapan bawahan itu bisa naik jabatan. Tidak heran, sikap-sikap feodal di tingkatan birokrasi begitu kental dan menjadi pemicu atas berbagai tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Karena korupsi dan sikap feodal tumbuh subur, maka berimbas pada berbagai hal, terutama soal penegakkan hukum. Hukum hanya menjadi mainan elite yang berkuasa dan hanya tajam ke bawah. Proses hukum pencuri ayam, misalnya, bisa lebih berat dibandingkan dengan hukum pelaku korupsi. Bahkan, pelaku korupsi bisa mendapat cashback yang bisa membuatnya hidup kaya tujuh turunan.

Bumi Manusia sebagai Indonesia

Bumi Manusia ditulis saat Pram menjadi tahanan di Pulau Buru dan terbit ketika konsolidasi kekuasaan Soeharto nyaris sempurna. Saat itu, ia dan karya-karyanya dianggap berbahaya sehingga gerak-gerik Pram dan keluarganya mesti diawasi oleh kekuasaan feodal dan militeristik seperti yang diangkatnya dalam Bumi Manusia.

Puluhan tahun kemudian, sampai hari ini, berbagai persoalan yang diangkat dalam karyanya tak banyak berubah di kehidupan nyata Indonesia. Laku demikian hanya berubah bentuk dan cara. Contoh terkecil, seorang bawahan mesti menyebut “Mohon izin Bapak/Ibu…” kepada atasannya sekadar untuk bicara dalam forum rapat. Selebihnya, berbagai praktik korup dan sikap feodal pada masa kolonial bisa kita saksikan langsung dalam berbagai sendi kehidupan.

Teknologi berganti dan berbagai pernak-pernik kehidupan semakin kompleks, tetapi mental kekuasaan dan birokrasi masih serupa zaman kolonial Belanda. Reformasi gagal memberikan ruang keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Kekuasaan hanya berganti wajah, tetapi rakyat Indonesia masih harus mengalami berbagai persoalan perampasan dan larangan atas hak-haknya sebagai warga negara.

Bumi Manusia menjadi karya modern tentang Indonesia yang sedang mencari identitasnya di hadapan hukum kolonial, sementara Indonesia hari ini adalah kelanjutan berbagai praktik penindasan yang pernah terjadi pada masa kolonial. Barangkali benar jika Indonesia hanya merdeka secara formal, tetapi tidak benar-benar merdeka untuk segenap bangsa yang bertumpah darah hidup di dalamnya. Sekian. [*]

 


 

Baca juga berbagai artikel dan arsip tentang Seabad Pram.

Picture of Suhairi Ahmad
Suhairi Ahmad
Penulis adalah editor lepas di berbagai penerbitan.
Bagikan
Berikan Komentar