• Esai
  • Rumah Kaca Pramoedya Ananta Toer
Esai

Rumah Kaca Pramoedya Ananta Toer

Meski karya-karya Pramoedya dihilangkan, dilarang terbit di negerinya sendiri, dan mengalami pe-rumahkaca-an, ia tak dapat dikategorikan sebagai orang yang kalah oleh vandalisme kekuasaan.

seabad pram, 100 tahun pramoedya ananta toer, rumah kaca pramoedya, lentera dipantara
Kolase Rumah Kaca Pramoedya Ananta Toer. (Dikolase oleh ProPublika.id dari berbagai sumber)

Majalah sastra Horison tahun XXXXI, No.8/2006, Agustus 2006 menampilkan edisi khusus bertajuk “Pramoedya”. Majalah ini terbit berselang empat bulan setelah Pramoedya, 81 tahun, berpulang dan dimakamkan di pekuburan Karet Bivak, Jakarta, 30 April 2006. Di edisi tersebut, redaksi Horison memuat tujuh tulisan tentang Pramoedya yang terbagi dalam tiga rubrik, yakni catatan kebudayaan, obituari, dan wawancara.

Redaktur senior Horison, Taufiq Ismail, menyumbangkan tiga buah naskah yang secara berurutan sebagai berikut:

  1. Catatan kebudayaan berjudul “Mengenang Pramoedya Ananta Toer (1925-2006): Sisa Rantai Dendam Puing Perang Dingin” (4-9),
  2. Wawancara “Hoedaifah Koeddah dan Titik Ananta Toer: Haji Kanak-Kanak, Sisa Tahayul, dan Presisi Rapi” (24-29),
  3. Wawancara “H. Agus Miftach: Pram, Pejuang Keadilan Tanpa Tuhan” (30-32).

.

Empat tulisan lainnya berupa obituari yang membentangkan kesan tertentu terhadap hayat dan karya Pramoedya, termuat dalam tulisan berikut ini: “Mengenang Pramoedya Ananta Toer (1925-2006): yang Muncul di Layar” (H. Rosihan Anwar, 10-13), “Gagal Membabat Total” (Bokor Hutasuhut, 14-15), “Kenangan 52 Tahun” (Ajip Rosidi, 16-21), dan “Belajar Bekerja pada Pramoedya” (Eka Budianta, 22-23).

Dimata-matai dari dekat

Majalah sastra Horison tahun XXXXI, No.8/2006, Agustus 2006, rumah kaca pramoedya ananta toer - abdul aziz rasjid
Majalah sastra Horison tahun XXXXI, No.8/2006, Agustus 2006. (Dokumentasi Abdul Aziz Rasjid)

Dalam wawancara Taufiq Ismail dengan H. Agus Miftach, terinformasikan bahwa selepas Pramoedya lepas dari pengasingan di tahanan kamp konsentrasi Pulau Buru, ia tak seutuhnya menjadi manusia bebas meski mengantongi surat pembebasan secara hukum. Pramoedya hidup dalam pengawasan.

Agus Miftach, yang pernah bertugas sebagai Asisten Khusus Wakil Kepala Bakin/Ketua Opsus pada tahun 1979-1988, mengakui bahwa selama dua tahun mengamati gerak gerik Pramoedya. Ia mencuri informasi ke orang-orang dekat Pramoedya dan memata-matai Pramoedya dari dekat. Agus Miftach menyusun laporan intelijen yang disebut Laporan Khusus mengenai Pramoedya Ananta Toer.

“….kontak pertama saya melalui Pak Dr. Hudaifah, yang dikenal pernah mengobati Pak Pram dan anaknya. Caranya harus sedemikian rupa sehingga tidak seperti interogasi, tapi datang sebagai tamu yang ingin kenalan”.

Di tahun pertama, Agus melaporkan sejumlah kesimpulan bahwa Pramoedya bukan ancaman terhadap negara. Pasalnya, Pram dianggap tidak punya kemampuan menggalang kekuatan, mengorganisir, karena cenderung egois dan individualis. Di tahun kedua, laporan Agus ditinjau kembali.  Sebab, muncul isu mengenai aliran kiri baru di mana Pram dianggap terkait. Alasan pendukungnya berupa bukti bahwa Pram menerima anak-anak muda yang membentuk Partai Rakyat Demokratik (PRD).

“…Di kalangan intelejen [sic!] ada yang ingin menjebloskan dia lagi. Prosesnya lumayan ruwet, banyak perdebatan di dalam.”

Agus Miftach berhasil menyelesaikan laporan itu dengan meneruskan secara final kepada Presiden Republik Indonesia saat itu, Soeharto. Pada masa itu, Soeharto sempat meminta waktu 5 menit untuk membaca buku-buku Pram yang dibawa oleh Agus, yakni tetralogi pulau buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

Soeharto, kata Agus dalam wawancara dengan Taufiq, berkata begini: “Wah, bagus isinya, ya Gus. Betul-betullah dia Kaisar”. Soeharto pun lalu menandatangani memorandum, yang menyatakan bahwa laporan khusus mengenai Pramoedya Ananta Toer dinyatakan selesai.

Politik pengarsipan

Di tahun 1988, Pramoedya menerbitkan bagian terakhir Tetralogi Buru berjudul Rumah Kaca (Jakarta: Hasta Mitra). Bagian keempat Tetralogi Pulau Buru yang dilarang oleh Jaksa Agung di tahun yang sama ini menceritakan usaha-usaha kekuasaan kolonial Belanda mengawasi gerak-gerik penduduk pribumi secara menyeluruh.

Di novel Rumah Kaca, pusat cerita berkisar pada seorang polisi juga juru arsip, Jacques Pangemanann. Ia ditugaskan memata-matai Minke, tokoh utama dalam Bumi Manusia (1980) yang memilih untuk menulis tragedi yang dialami pribumi sebagai manusia terjajah, cendekia yang tergugah dengan gerakan kebangkitan bangsa-bangsa pada awal abad ke-20 sebagaimana dikisahkan dalam Anak Semua Bangsa (1980), dan terlibat sebagai penggerak dalam kemunculan organisasi modern pribumi dalam novel Jejak Langkah (1980).

Pangemanann dengan dua n melakukan kegiatan politik arsip yang diistilahkan Pramoedya sebagai kegiatan pe-rumahkaca-an. Rincian kegiatan politik pengarsipan itu dapat disimak dalam kutipan berikut:

Sebagai hamba negeri telah kususun kertas kerja atas perintah atasanku, menulis, menganalisa, memperbandingkan, merentangkan kemungkinan-kemungkinan dan akibat-akibat segala sepak terjangnya terhadap Gubermen. Dan sekarang aku sendiri yang harus laksanakan kesimpulan dan saranku sendiri. Ini tidak lain berarti aku harus memata-matai langsung, bertindak langsung terhadap pribadi yang aku hargai dan hormati. Memata-matai dan bertindak langsung dari dekat, harga dan hormat dari jauh”. (Rumah Kaca. Lentera Dipantara. Cetakan I, September 2006. Hal.13)

Ujung kegiatan politik pengarsipan ini adalah penumbangan. Tak mendapat celah untuk menjebak Minke, Pangemanann dengan telaten mencari dan mempelajari informasi orang terdekat Minke. Rencana licik Pangemanann, menjebak orang terdekat Minke pada suatu konflik yang berujung pada pembungkaman Minke. Usaha Pangemanann membuahkan hasil. Minke pun diasingkan sampai dilarang berkegiatan dan semua asetnya dibekukan.

Akhir hayat

Akhir hidup Pramoedya mungkin tak setragis Minke. Bila Minke begitu sepi saat kematiannya, diangkut ke tempat peristirahatan terakhir di kuburan Karet oleh penggotong upahan, dan hanya diiringi seorang kenalan, Pramoedya sebaliknya: meninggalkan kemasyhuran sebagai maestro sastra. Hal ihwal yang mungkin serupa, bila Jacques Pangemanann mengiringkan dari jauh saat pemakaman Minke; Pangemanann dalam wujud yang lain juga mengiringkan Pramoedya saat diturunkan ke liang lahat.

Pramoedya Ananta Toer lahir pada 1925 di Blora, Jawa Tengah. Pada Februari 2025 publik akan memperingati 100 tahun lahirnya Pramoedya. Kurang lebih Pramoedya telah menulis 53 buku yang telah diterjemahkan dalam 40 lebih bahasa asing.

Sumbangsih Pramoedya dalam kesusastraan Indonesia yakni menghidupi estetika sastra realis dalam bentuk novel sejarah. Pramoedya, melalui tetralogi pulau buru, dianggap membawa pembaruan yakni memberi gagasan dan identitas baru terhadap sejarah, ketika sebagian novel sejarah yang muncul di Indonesia lebih membicarakan kejayaan dan kepahlawanan tokoh-tokoh sejarah (Prof. Koh Young Hun. Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. 2011. hal.99-100).

Sedang pemikiran Pramoedya dalam sastra terurai, misalnya, dalam Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (Lentera Dipantara. 2003). Pramoedya mencatat poin-poin penting ihwal tumbuh dan berkembangnya sastra bergenre realisme sosialis serta melakukan pembabakan sastra Indonesia dari periode sastra asimilatif sampai periode sastra borjuis-patriotik dengan timbangan realisme sosialis.

Pramoedya telah menulis sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Meski karya-karya Pramoedya mengalami nasib dihilangkan, dilarang untuk beredar di negerinya sendiri dengan tuduhan subversif, dan mengalami pe-rumahkaca-an, gema karya-karya Pramoedya hidup sampai hari ini.

Pramoedya yang beberapa kali meringkuk dalam belenggu karena karya dan aktivitasnya bersastra—dipenjarakan sembilan bulan pada masa Orde Baru karena menerbitkan buku Hoa Kiau di Indonesia yang dianggap membela golongan peranakan China di Indonesia, diasingkan selama empat belas tahun pada masa Orde Baru sebab mengasuh rubrik Lentera di Koran Bintang Timur tanpa proses pengadilan—tak dapat dikategorikan sebagai orang yang kalah oleh vandalisme kekuasaan. [*]

Cilacap, 2025

***

Catatan redaksi: Propublika.id menerbitkan serangkaian tulisan dan arsip untuk merayakan seabad Pram. Baca artikel lainnya di: 100 Tahun Pramoedya Ananta Toer.

Picture of Abdul Aziz Rasjid
Abdul Aziz Rasjid
Esais dan jurnalis. Buku kumpulan esainya yang telah terbit adalah Sebelum Lampu Padam (Pelangi Sastra. 2020). Bergiat di Komunitas Seni Nyawiji, Cilacap.
Bagikan
Berikan Komentar