Begitu banyaknya etnis di Indonesia membuat bangsa ini punya beragam warisan budaya pangan bernilai tinggi. Di dalamnya terdapat resep kuno, teknik memasak, hingga cara mengolah yang efektif.
Sutamara Lasurdi Noor, Koordinator Food Culture Alliance Indonesia dan Project Coordinator Global Alliance for Improved Nutrition Indonesia, melihat budaya pangan di berbagai daerah Indonesia punya makna mendalam. Misalnya, beberapa kelompok masyarakat menyuguhkan makanan melimpah.
Hal itu, kata dia, merupakan simbol kemakmuran. Melimpahnya makanan juga mencerminkan masyarakat setempat tinggal di daerah yang subur dan warganya mampu mengolahnya.
“Fenomena ini mencerminkan kompleksitas budaya pangan kita: keterbukaan terhadap pangan baru dan keinginan mengeksplorasi rasa dan makna,” kata Sutarma dalam keterangan tertulis, Kamis (19/12/2024).
Budaya pangan Nusantara, lanjut dia, mencakup lebih dari sekadar tradisi; ia mencerminkan bagaimana kita berpikir, menilai, dan menghargai makanan dalam konteks sosial yang lebih luas.
Virginia Kadarsan selama 4 tahun membidangi riset di Akademi Gastronomi Indonesia dan saat ini menjadi bagian dari Gastronomi Indonesia Network. Dengan latar belakang itu, menurutnya budaya pangan Nusantara punya banyak kearifan.
Virginia menilai bahwa gastronomi Indonesia tidak sekadar soal the art of good eating. Ia mengamati ada contoh baik yang tumbuh di masyarakat, tapi sudah jarang dipraktekkan. Misalnya, orangtua di masa silam mengajarkan makan sambil duduk, tidak boleh berdiri.
“Dan, dipandang dari segi kesehatan, memang kita harus duduk ketika makan,” kata dia.
Virginia juga mengamati ada budaya baik yang dilakukan banyak orangtua di masa lampau, yakni memasak bagi anak dan keluarga. Di perkotaan, menurut dia, budaya ini sudah jarang ditemui.
Padahal, dengan masak sendiri, orangtua bisa memastikan bahan terbaik yang juga sehat bagi keluarganya. Persoalan makan akhirnya tak hanya untuk memenuhi kebutuhan kenyang, tetapi juga asupan gizi bagi tubuh.
Roby Bagindo, pendiri Masak TV, bercerita, nenek moyang Nusantara mempraktikkan bahwa makan bukan sekadar memberi makan raga, tetapi juga jiwa. Saat ultra-processed food mengepung dan banyak orang menjadi sakit, kata dia, banyak negara sibuk mempelajari makanan nenek moyang mereka yang bisa menyehatkan.
“Kita beruntung, karena mempunyai makanan purba yang hingga kini masih disantap. Orang masih makan sagu dalam bentuk sagu, rawon yang terkait dengan Prasasti Taji juga masih disajikan dalam rupa yang sama,” ujar Roby.
Makanan Nusantara sarat kekhasan dan gizi lengkap

Khoirul Anwar, Pendiri Yayasan Makanan dan Minuman Indonesia (YAMMI), menyatakan, membahas pangan lokal ada dua aspek yang berkaitan. Pertama, pangan lokal berarti bahan pangan yang menjadi potensi suatu daerah. Kedua, makanan khas daerah tersebut.
Menurutnya, makanan di setiap daerah punya sejarah dan fungsi khas. Itu dipengaruhi oleh faktor lingkungan sehingga bahan-bahan yang ada berbeda dengan tempat lain di Nusantara.
“Karena itu, ketika kita pergi ke suatu daerah, kita akan menemukan makanan khas. Kita bisa menelusuri, apa yang mendasari makanan itu ada. Pasti ada sejarah yang menceritakan kenapa makanan tersebut menjadi khas di daerah tertentu,” kata Khoirul.
Selain itu, ia menyebut secara alami makanan tradisional memiliki gizi yang baik. Kita bisa ambil contoh dalam sepiring masakan Padang yang saat ini mudah ditemui di berbagai kota. Di dalamnya terdapat sumber gizi yang bervariasi, seperti protein, serat, karbohidrat. Di beberapa tempat bahkan disajikan pula buah.
Begitu juga bubur manado dan bubur tinutuan yang memiliki komposisi gizi lengkap. Sebab, karbohidrat, protein, dan lemak disajikan dalam satu hidangan. Itulah kenapa Khoirul memandang bahwa makanan lokal berpotensi memiliki gizi yang seimbang.
Menurutnya, masyarakat Papua memahami bahwa mereka tak cukup hanya mengonsumsi papeda. Maka, mereka menyantapnya dengan sumber gizi lain, seperti ikan laut yang sangat melimpah yang disajikan dengan kuah kuning dan sayuran yang dipetik dari kebun sendiri.
Dengan begitu, kebutuhan gizi masyarakat setempat terpenuhi. Jaqualine Wijaya, CEO Eathink, menambahkan, Papua bahkan punya buah endemik, yaitu matoa yang semakin langka. Juga ada sayur swamening yang terbuat dari daun gedi.
Melihat contoh-contoh tersebut, dari sisi tradisi, setiap makanan tradisional punya karakteristik tersendiri. Contohnya, menyantap ketupat dengan berbagai opor saat Lebaran sudah menjadi budaya yang melekat di Nusantara.
Hanya saja, orang kini semakin sadar akan kesehatan. Dengan alasan kesehatan pula sejumlah orang menghindari makan ketupat dan pelengkapnya. Padahal, kata Khoirul, menjaga kesehatan tubuh bukan berarti melarang orang makan ketupat, lalu menggantinya dengan oat.
Makan apa pun, kata dia, diperlukan kesadaran tentang kata ‘cukup’. Dengan mengonsumsi makanan secukupnya dan tak berlebihan, setiap makanan lokal adalah sumber gizi yang baik.
Atau, jika punya masalah kesehatan sehingga dilarang dokter mengonsumsi sesuatu, masyarakat dianjurkan mengonsumsi bahan pangan lokal lain yang sesuai. Misalnya, banyak masyarakat Indonesia mengonsumsi sayur pakis yang mudah tumbuh di berbagai tempat.
Menurut Roby, sayur pakis punya khasiat menurunkan tekanan darah tinggi karena mengandung tinggi kalium. Menurut dia, jika ditilik lebih detail, segala yang diberikan alam sudah sesuai dengan gaya hidup dan gaya makan masyarakat.
Hanya saja, ketika banyak orang pindah ke kota, ujar Roby, gaya hidupnya berubah, tapi pola makannya sama. Hal itu membuat seseorang rentan sakit. Misalnya, dari yang mulanya berkebun, kini bekerja di kantor, sementara pola makanya tetap sama.
“Ini akan menimbulkan masalah kesehatan baru. Sebab, ada yang tidak seimbang dalam pola makan mereka,” kata dia.
Ia menyarankan asupan makanan disesuaikan dengan pola kerja seseorang. Atau, jika seseorang tak melakukan banyak gerak saat bekerja, ia menyarankan untuk olahraga rutin agar energi dari makanan tak menumpuk jadi penyakit.
Nilai kearifan dalam budaya pangan

Yang menarik, setiap etnis di Nusantara punya kearifan tersendiri, misalnya tentang berbagi makanan kepada orang lain dan berhenti makan ketika sudah merasa cukup. Virginia mencontohkan, sejak lama masyarakat Yogyakarta gemar mengonsumsi makanan dan minuman manis.
Salah satu kebiasaan khas masyarakat Yogyakarta adalah menyesap teh poci hangat di waktu khusus, yakni di sore hari. Di balik kebiasaan tersebut tersembunyi filosofi, bahwa setelah seharian bekerja, tiba waktunya untuk beristirahat dan sejenak menikmati hidup.
Contoh lain adalah rendang yang berasal dari kata marandang. Di balik kenikmatan rendang yang mendunia ini, terkandung makna yang direpresentasikan oleh santan, rempah, dan cabai merah.
Virginia melihat rendang yang dalam sejarahnya dibuat dengan proses memasak panjang, diolah dengan bahan-bahan terbaik, merupakan tanda kasih yang disiapkan orangtua untuk anak-anak yang merantau.
Sebab, rendang bisa awet dalam waktu lama. Kondisi ini memungkinkan rendang disiapkan untuk keluarga yang datang. Bahkan, rendang bisa tahan kendati dikirim ke luar kota.
Kearifan lokal lain yang sebenarnya sudah membudaya di berbagai etnis adalah makan bersama. Contohnya, Bajamba di Sumatra Barat, sebuah tradisi yang mencerminkan prinsip kebersamaan dan saling berbagi.
Makanan yang disajikan dalam porsi besar dan dimakan bersama sehingga tidak ada yang terbuang. Pengaturan porsi yang tepat dan saling berbagi memastikan makanan yang dihidangkan bisa dihabiskan oleh mereka yang hadir.
Tanpa disadari, tradisi ini mengurangi pemborosan makanan atau food waste. Khoirul menyebut, solusi agar makanan tidak menjadi food waste bukan memaksakan makan sebanyak-banyaknya sampai habis.
Melihat tradisi Bajamba, yang dianjurkan adalah food sharing, yang bisa membantu mengurangi sampah makanan, sekaligus mengontrol porsi makan.
Keberlanjutan pangan

Sutamara berpendapat, keselarasan antara pola makan gizi seimbang dan budaya pangan Nusantara menjadi kunci keberlanjutan pangan. Selain mendukung diet berkelanjutan, pola makan tersebut mendukung kelestarian alam karena memutus rantai distribusi yang panjang.
Hal itu, misalnya, masyarakat di Papua tak perlu mesti mengonsumsi nasi yang berasal dari Jawa. Sebab, mereka punya sumber karbohidrat lokal yang melimpah seperti sagu.
“Seandainya beras tidak tersedia di Nusa Tenggara, kenapa masyarakat Nusa Tenggara harus membeli beras dari Jawa? Distribusi yang panjang akan menyumbang gas emisi rumah kaca,” kata dia.
Melihat kembali ke belakang, Roby bercerita, kebiasaan makan nasi dibentuk secara politik sejak era Kerajaan Mataram. Hal ini punya implikasi panjang.
“Padahal, yang dimakan nenek moyang kita adalah sagu. Ketika diberi nasi, tubuhnya tidak bisa memecah insulin secepat itu,” kata Roby.
Di zaman kolonial, cerita Roby, yang mengonsumsi nasi adalah orang-orang kelas atas dan dianggap keren. Padahal, negeri kita kaya akan berbagai sumber karbohidrat lain.
Namun, orang yang makan jewawut dianggap mengambil jatah makanan burung, sementara yang makan tiwul dibilang ndeso. Virginia juga mengungkap pendapat serupa. Orang yang makan ubi atau singkong akan diberi label kampungan.
Padahal, itu hanya stereotipe dan tak ada hubungannya dengan kesehatan. Tiwu, jewawut, ubi, dan singkong, punya kandungan gizi yang baik bagi tubuh.
Bicara soal pangan lokal, Jaqualine menyebutkan dua sumber. Pertama, bahan pangan yang ditanam, lalu hasilnya dipanen. Kedua, bahan pangan yang sudah tersedia di alam, misalnya hutan.
Jika ingin mencapai pola pangan sehat, kata dia, harus ada keseimbangan di antara keduanya. Hasil hutan pun harus diambil dengan bertanggung jawab, jangan sampai merusak ekosistem sekitarnya.
Sementara dari segi pertanian, kita bisa menerapkan agroekologi yang mendukung biodiversitas. “Apalagi, sumber makanan yang beragam akan membantu menambah bakteri baik dalam tubuh yang berguna dalam menjaga kesehatan,” kata Jaqualine.
***
Baca juga: