BALIKPAPAN – Tim riset dari Institut Teknologi Kalimantan (ITK) dan BRIN bersama Yayasan Mitra Hijau berkolaborasi dalam inovasi Kompor Berbasis Biobriket Alternatif (KOBRA). Inovasi ini menjadi jawaban atas kebutuhan penggunaan kompor yang memanfaatkan limbah sawit yang melimpah di Kalimantan Timur.
Ketua Tim Riset KOBRA, Yunita Triana, memaparkan bahwa biobriket atau bahan bakar untuk kompor ini berasal dari limbah kelapa sawit yang direkatkan dengan limbah kulit singkong. Ide pemanfaatan limbah kelapa sawit ini berangkat dari besarnya potensi limbah di Kalimantan Timur.
“Sebanyak 33 persen produksi kelapa sawit di Indonesia berasal dari Kalimantan Timur,” kata dia dalam diseminasi KOBRA pada Kamis, 5 Juni 2025.
Ia menambahkan, limbah tandan kosong kelapa sawit (TKKS) bisa mencapai hampir 17 juta ton per tahun. Sedangkan limbah pelepah kelapa sawit (PKS) bisa mencapai 10–15 ton per hektare dalam setahun. Di Kalimantan Timur sendiri terdapat 1,3 juta hektare lahan sawit. Maka dari itu, pasokan bahan bakunya akan lebih mudah.
Lebih lanjut, Yunita memaparkan cara kerja kompor setelah biobriket dibuat. Biobriket awalnya terbakar dengan mudah di dalam tungku dan menghasilkan panas. Lalu, alat Thermoelectric Generator (TEG) yang dipasang di kompor akan mengubah energi panas menjadi listrik untuk menggerakkan kipas. Kipas inilah yang memaksimalkan nyala briket. “Jadi, tidak perlu capek-capek mengipas-ngipas kompor lagi,” sambungnya.
Kompor ini bisa menghemat energi hingga 437,562 kWh per tahun dengan biaya produksi sekitar Rp350 ribu. Inovasi ini pun tidak berhenti di situ. Masih ada kemungkinan pengembangan lebih lanjut, seperti pemanfaatan tenaga surya. KOBRA menjadi alternatif kompor yang praktis sekaligus solusi untuk menumpuknya limbah sawit.
Tim inovasi riset ini tidak dikerjakan Yunita sendiri. Ia dibantu oleh tim yang terdiri dari dosen dan mahasiswa ITK. Anggota dosen periset yaitu Riza Hudayarizka, Widi Astuti, dan Riza Hadi Saputra. Sementara dari mahasiswa ITK antara lain M. Bintang Adiputra, M. Ihsan Noor Isnan, Yosua Situmeang, Yurischa Deify Utami, dan Hana Fadhillah.
Dalam inovasi ini, Yayasan Mitra Hijau (YMH) turut berkolaborasi. Ketua Dewan Pembina YMH, Dicky Edwin Hindarto, memaparkan bahwa Indonesia memiliki potensi bioenergi sebesar 57 gigawatt. Namun hingga 2022, yang termanfaatkan baru 2.284 megawatt atau sekitar 2 gigawatt. Penemuan ini menjadi harapan dalam upaya pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT).
Sementara itu, kondisi iklim saat ini kian mengkhawatirkan. Bumi semakin panas. Pada September 2023, tercatat sebagai hari terpanas di dunia. Rekor itu bahkan terpecahkan lagi pada 2024. “Apakah rekor ini akan dipecahkan pada 2025?” sambungnya.
Peningkatan suhu ini berdampak pada berbagai bencana iklim. Dicky menjelaskan, sepanjang 2023 misalnya, tercatat sekitar 5.400 bencana terjadi di Indonesia. Gempa bumi terjadi sebanyak 31 kali dan empat kali letusan gunung merapi. Sisa bencana lainnya merupakan bencana iklim seperti kebakaran hutan, banjir, longsor, kekeringan, cuaca ekstrem, dan sebagainya.
Artinya, kondisi ini sangat mengkhawatirkan. Diperlukan langkah nyata agar dunia mulai beralih ke energi-energi ramah lingkungan. Maka dari itu, inovasi seperti KOBRA menjadi oase di tengah krisis iklim saat ini, sekaligus alternatif agar ketergantungan energi tidak hanya berasal dari energi fosil saja.
Baca juga :