Esai

Politik (dan) Babi

Kehadiran teror babi dalam politik cerminan bahwa kekuasaan bisa berubah jadi alat represi, alih-alih sebagai alat kebebasan dan keadilan.

Ilustrasi: Tempo dan Politik di Balik Simbol Babi. (Oleh: ProPublika.id)
Ilustrasi: Tempo dan Politik di Balik Simbol Babi. (Oleh: ProPublika.id)

Di saat jalanan Jakarta riuh oleh protes, Kantor Tempo di Palmerah menerima kiriman paket misterius berisi kepala babi. Tak lama setelahnya, enam bangkai tikus dengan kepala terpenggal dikirim dengan cara serupa. Tak ada nama atau kontak pengirim, hanya pesan tersirat dalam bentuk teror. Teror semacam ini bergantung pada dua hal: kerahasiaan pelaku dan keterlihatan dampaknya. Dalam kasus ini, peristiwa tersebut diduga berkaitan dengan sikap kritis Tempo terhadap pemerintahan, baik di era Presiden Jokowi maupun Presiden Prabowo.

Fenomena ini menggambarkan bagaimana simbol tertentu digunakan dalam politik untuk menyampaikan pesan tersembunyi. Dalam hal ini, babi bukan sekadar hewan, melainkan simbol dengan makna berlapis. Untuk memahami lebih dalam peran politik dari simbol babi, kita dapat melihatnya dalam dua perspektif: representasi alegoris dalam karya sastra serta penggunaannya dalam dinamika sosial dan politik di berbagai wilayah.

Salah satu representasi paling terkenal dari babi dalam politik terdapat dalam novel Animal Farm karya George Orwell. Dalam novel tersebut, babi digambarkan sebagai makhluk yang cerdas, manipulatif, dan ambisius dalam meraih serta mempertahankan kekuasaan. Karakter Major Tua, babi yang membawa ajaran revolusi, mengingatkan pada Karl Marx atau Lenin, yang gagasannya menginspirasi perubahan besar.

Namun, setelah revolusi berhasil dan para binatang menggulingkan manusia, babi-babi penerus seperti Napoleon dan Snowball malah berubah menjadi tiran. Mereka mengeksploitasi hewan lain, menjalin kerja sama dengan manusia yang dulu mereka lawan, serta membentuk rezim otoriter yang semakin menindas.

Melalui alegori ini, Orwell mengkritik bagaimana idealisme revolusi sering kali dikorupsi oleh mereka yang berkuasa. Kontradiksi serupa juga terlihat dalam negara-negara demokrasi, di mana pemimpin yang terpilih melalui sistem demokratis justru berusaha membongkar institusi demokrasi itu sendiri demi mempertahankan kekuasaan.

Tidak hanya dalam dunia fiksi, peran babi dalam politik juga dapat ditemukan dalam praktik politik lokal, terutama di masyarakat yang memiliki hubungan erat dengan hewan ini. Marvin Harris, dalam bukunya Cows, Pigs, Wars, and Witches: The Riddles of Culture, mengklasifikasikan masyarakat berdasarkan sikap mereka terhadap babi: ada yang membencinya dan ada yang menjadikannya bagian dari budaya.

Di Papua, misalnya, babi memiliki nilai sosial tinggi dan sering menjadi bagian dari ritual politik. Veronika Kusumaryati dalam artikelnya Pig-Feast Democracy menggambarkan bagaimana festival bakar batu yang menggunakan daging babi bukan sekadar perayaan adat, tetapi juga sarana politik. Dalam konteks pemilu, kandidat sering memanfaatkan acara ini untuk membangun dukungan, menunjukkan kemurahan hati, dan memperkuat hubungan dengan komunitas. Dengan demikian, politik di Papua menunjukkan bagaimana simbol babi dapat berperan sebagai alat membangun legitimasi dalam sistem yang berbasis adat dan tradisi.

Di sisi lain, di masyarakat yang menolak babi karena alasan kepercayaan, hewan ini justru sering digunakan sebagai alat provokasi dan politik identitas. Contohnya, insiden di Bima, Nusa Tenggara Barat pada tahun 1979, ketika ditemukannya kulit babi di dalam masjid memicu konflik antaragama. Belakangan terungkap bahwa kejadian ini bukan insiden spontan, melainkan bagian dari siasat Kapten Samadi untuk menjatuhkan pejabat Dandim Bima saat itu. Akibat aksinya, ia dihukum 20 tahun penjara oleh Mahkamah Militer dan dicabut haknya sebagai anggota ABRI.

Kasus serupa terjadi di Bitung, Sulawesi Utara pada 2015, ketika kepala babi ditemukan di area pembangunan masjid, yang ditafsirkan sebagai bentuk intimidasi agar pembangunan tempat ibadah tersebut dibatalkan. Tren penggunaan babi dalam kejahatan berbasis kebencian juga terjadi secara global. Kasus serupa tercatat di Malaysia, Prancis, Korea Selatan, dan Inggris.

Dari alegori dalam Animal Farm, praktik politik di Papua, hingga insiden provokasi berbasis kebencian, babi terus menjadi simbol yang mencerminkan ketegangan politik dan sosial. Dalam berbagai konteks, babi digunakan sebagai metafora kekuasaan yang korup, alat politik patronase, hingga senjata dalam konflik identitas.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana simbol-simbol budaya dapat dimanfaatkan untuk tujuan politik, baik dalam membangun kekuasaan maupun dalam menciptakan perpecahan. Demokrasi, yang seharusnya menjunjung inklusivitas dan kesetaraan, justru sering kali tergerus oleh praktik intimidasi, manipulasi, dan kekerasan simbolis. Kehadiran babi dalam politik menjadi cerminan bagaimana kekuasaan dapat berubah menjadi alat represi dan pengucilan, alih-alih menjadi instrumen keadilan dan kebebasan. [*]

 


 

Baca tulisan lain Ubaidillah.

Picture of Ubaidillah
Ubaidillah
Koordinator Tim Riset Keterlibatan Politik Digital Generasi Z, Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN. Tengah menekuni kajian bahasa dan politik digital.
Bagikan
Berikan Komentar