• Esai
  • Mewayangkan Politik Indonesia
Esai

Mewayangkan Politik Indonesia

Politik Indonesia bisa dipandang melalui lakon wayang. Sudut pandang itu bisa dipakai untuk memahami posisi dan karakter aktor politik.

ubaidillah brin
Ilustrasi mewayangkan politik Indonesia. (propublika.id)

WAYANG bagi masyarakat Jawa bukan hanya sebuah kesenian. Wayang adalah repertoar budaya bagi masyarakat untuk memahami segala aspek kehidupan, termasuk spiritualitas dan politik kekuasaan. 

Nama tokoh dalam pewayangan pernah dalam suatu periode begitu mengilhami masyarakat Jawa untuk menamai anak dan keturunan mereka. Soekarno, sang penyambung lidah rakyat, disadari atau tidak oleh orangtuanya memiliki korespondensi semantik dan simbolik antara nama dan julukan tersebut tatkala melihatnya dalam repertoar lakon pewayangan. Secara semantik, nama Soekarno dapat berarti telinga (Karno) yang baik (Soe).

Hanya telinga yang baik yang bisa digunakan untuk mendengarkan pernyataan orang-orang yang suaranya diartikulasikan kembali. Sebelum menjadi seorang penyambung lidah rakyat, Soekarno terlebih dahulu menjadi seperti namanya. Siapa sangka perbincangan di pematangan sawah dengan seorang petani melahirkan Marhaenisme, aliran perjuangan politik, yang sampai hari ini memengaruhi Indonesia?

Secara simbolik dan semantik pula Soekarno bertaut dengan tokoh Prabu Basukarno, kakak tertua Pandawa yang lahir dari telinga sekaligus salah satu senopati utama Kurawa. Sebagai penyambung lidah rakyat, posisi Soekarno mengandung asumsi semantis bahwa dia melampaui dikotomi atau polarisasi, sama seperti Prabu Basukarno.

Arjuna, disebut pula dengan nama Karno dalam lakon Karno Tanding, bukan hanya karena berwajah mirip Prabu Basukarno, tetapi karena dia pun menjadi penengah Pandawa yang mengelaborasikan kebijaksanaan Puntadewa, kedigjayaan Werkudoro, dan kewelasasihan Nakula dan Sadewa. Menjadi penengah berarti terlatih mengelola gejolak egosentris di tengah suara-suara banyak orang yang berbeda. Maka hanya Arjuna yang layak menghadapi problematika etis tertinggi, yaitu mengalahkan kakak tertua sendiri.

Maka tidak heran pula dalam tata laku Jawa, orang yang berada di tengah bertugas membangun semangat (ing madya mangun karsa). Sebab, ia telah menjangkau keresahan, ketakutan, dan harapan yang berada di lubuk hati orang-orang yang dia semangati. Pidato-pidato Soekarno tidak dapat dipisahkan dengan fragmen perbincangannya dengan orang-orang seperti Pak Marhaen. 

Konfigurasi politik penengah (ing madya) ini pula yang berulang pada era Presiden Jokowi. Tulisan Suwidi Tomo (Kompas, 25 Oktober 2017) dan Agus Darmawan T (Kompas, 13 Juni 2020) sama-sama mengorkestrasi Petruk dadi Ratu untuk memahami penokohan Petruk sebagai orang biasa/kawula yang marah terhadap kelompok elite yang tamak dan tidak becus mengelola kekuasaan.

Petruk adalah wujud intelektualisme yang mampu mengelaborasikan sifat kewaspadaan Gareng dan ketulusan (Bagong). Petruk adalah penengah dari punakawan yang mengejawantahkan sifat kepanditaan Semar. Keterpilihan dan kepemimpinan Jokowi difigurasi sebagai Petruk yang menggambarkan harapan baru rakyat biasa bahwa keresahan dan ketakutan mereka dapat disambung kembali menjadi orientasi bergeraknya kekuasaan.

Namun, setelah gegar pemilihan umum 2024 yang memunculkan istilah politik dinasti, politik sandera, politik bansos, sampai otokrasi legalisme dalam diskursus publik, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengetengahkan lakon Sumantri Ngenger. Hasto Kristiyanto menyebutnya sebagai cermin demokrasi Indonesia yang dibajak pada peringatan 28 tahun peristiwa Kudatuli (Kumparan, 3 Agustus 2024).

Lakon ini sendiri menceritakan upaya Bambang Sumantri mengabdi menjadi punggawa di kerajaan Maespati yang dipimpin Prabu Harjunasasrabahu. Sukasrana, adik Sumantri yang mengikuti dan membantu kakaknya tersebut, akhirnya dibunuh setelah tujuan mengabdi menjadi punggawa itu tercapai.

Sumantri adalah contoh tokoh dalam lakon pewayangan yang gagal mengelola politik penengah. Dia tidak menaikkan martabat adiknya yang membantunya dapat posisi dalam kekuasaan Prabu Harjunasasrabahu. Sumantri justru tergelincir pada perbuatan menginstrumentasi orang lain. Kita pun bisa membayangkan kronik tersebut berlaku dalam situasi elektoral hari ini.

Perbuatan menginstrumentasi tergolong perbuatan tercela dalam nilai keutamaan Jawa bila kita lihat bagaimana orang Jawa mengembangkan ritus-ritus yang bersifat agentif dari keseluruhan unsur yang ada di kehidupannya. Pertanian dan pelayaran melahirkan sedekah laut yang mewujudkan rasa terima kasih kepada tanah dan laut yang telah berkenan memberikan penghidupan.

Terminologi kyai tidak hanya disematkan kepada orang yang berilmu agama, tetapi dapat diberikan kepada gamelan, hewan, atau keris untuk menunjukkan bahwa penghormatan terhadap perkenan mereka membantu kehidupan manusia. Nilai keutamaan budaya Jawa menempatkan tabu bagi segala bentuk tindakan ngasorake (merendahkan), seperti menginstrumentasi itu, dan lebih mengimbau untuk bertindak lungguh ngisor (duduk di bawah). Lungguh ngisor tidak lain ajaran berani mengalah (wani ngalah) dengan menunda ego serta tidak selalu merasa benar dan besar. 

Perbuatan duduk sama tinggi dengan petani yang mencangkul di sawah sambil mendengarkan keresahan dan harapan mereka secara tulus, kemudian mengolahnya dengan intelektualitas menjadi orientasi gerak kekuasaan merupakan wujud dari tindakan lungguh ngisor tersebut. Spektrum kritik Sumantri Ngenger lebih luas dari apa yang disampaikan Hasto Kristanto.

Lakon tersebut adalah repertoar kritik dalam budaya Jawa terhadap peradaban utilitarian yang sangat antroposentris, bahkan elitis. Sebab, instrumentasi untuk kebahagian itu terjadi tidak hanya terhadap alam, tetapi juga terhadap manusia. Manusia menjadi buruh murah dengan ketidakpastian kerja atau terseret sengketa agraria untuk memenuhi ambisi kekuasaan yang luput lungguh ngisor dan cenderung berlaku ngasorake

Baca juga:

Picture of Ubaidillah
Ubaidillah
Koordinator Tim Riset Keterlibatan Politik Digital Generasi Z, Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN. Tengah menekuni kajian bahasa dan politik digital.
Bagikan
Berikan Komentar