Orang-orang di lereng Merapi selalu percaya bahwa setiap tanda di tubuh manusia bisa berarti sesuatu, apalagi kalau tanda itu muncul bukan karena luka, bukan karena gigitan nyamuk, bukan pula karena sengatan panas tungku. Maka ketika pada suatu pagi, saat kabut masih menggulung di antara pohon-pohon pinus dan burung-burung kutilang belum sempat berkicau, Mbah Mulyo keluar dari bilik bambunya dengan wajah tertunduk dan segores peta yang aneh di dahinya, penduduk pun berbisik: gunung akan bicara.
Dahi itu seolah menampakkan garis-garis topografi: berkelok, melingkar, turun naik seperti lereng dan kawah Merapi sendiri. Tidak ada yang tahu dari mana asalnya. Malam sebelumnya ia masih menampi beras, bercakap dengan menantunya, dan menutup pintu dapur dengan selamat. Tapi menjelang pagi, tanda itu muncul, samar tapi tegas, seperti tinta yang menembus kulit. Istrinya yang sudah renta menjerit pelan, mengira suaminya tengah kerasukan roh gunung. Namun, Mbah Mulyo hanya duduk diam di kursi kayu tua, menatap ke luar jendela, ke arah puncak yang masih diselimuti abu.
Mbah Mulyo adalah juru kunci keempat yang dipercaya menjaga keseimbangan antara desa dan gunung. Sebelum dirinya, ada Mbah Rono, Mbah Daru, dan Mbah Sastro. Mereka semua meninggal dalam posisi yang hampir sama: duduk bersila menghadap ke utara, mata terbuka menatap arah kawah.
Ia tahu tugas itu bukan kebanggaan, tapi warisan yang berat. Sejak muda ia telah diajari membaca arah angin, mendengarkan suara tanah, dan menafsirkan perubahan warna awan. Ia hafal aroma belerang yang muncul sebelum letusan, dan tahu betapa ganjil nyanyian burung-burung yang turun ke ladang sebelum abu menutupi matahari. Tapi tanda di dahi itu, itu baru pertama kali.
“Wahyu,” kata sebagian warga. “Kutukan,” batin Mbah Mulyo. Sebab, sejak tanda itu muncul, ia tak lagi bisa tidur nyenyak. Dalam mimpinya, ia melihat gunung membuka mata, menatapnya dengan cahaya merah membara. Ia mendengar suara memanggil namanya, pelan tapi menusuk. Ia melihat bayangan manusia tanpa wajah berjalan di ladang jagung. Dan setiap kali ia terbangun, keringat membasahi tubuhnya, dan garis-garis di dahinya kian terang, seperti tinta yang baru dioleskan.
Kabar tentang tanda di dahi Mbah Mulyo menyebar cepat. Para peneliti dari kota datang membawa kamera, mencatat, memotret, bahkan menawar untuk mengambil sampel kulitnya. Ia menolak. Katanya, “Tanda ini bukan untuk dipajang di laboratorium. Ini milik gunung.” Tapi pejabat-pejabat pemerintah yang terbiasa dengan data dan peta, memaksanya untuk menjelaskan. Mereka ingin tahu apakah tanda itu bisa dipakai untuk memprediksi erupsi. Ia hanya tertawa getir.
“Merapi tidak akan tunduk pada manusia,” ujarnya.
Namun, pada malam berikutnya, gunung bergetar pelan. Bumi mendesah seperti perempuan tua yang sakit. Daun-daun di ladang bergerak tanpa angin. Kambing-kambing mengembik gelisah. Dan garis di dahinya kini berwarna merah membara, seperti peta darah yang terbakar di bawah kulit. Warga panik. Mereka memohon agar Mbah Mulyo memberi tanda kapan harus mengungsi. Tapi ia malah mengurung diri di bilik belakang, berdoa dengan suara yang nyaris seperti tangisan. Ia yakin, tanda itu bukan wahyu keselamatan, melainkan pesan kematian.
Pada malam ketiga, Merapi benar-benar bergemuruh. Langit hitam, abu turun seperti hujan. Orang-orang berlari ke bawah, meninggalkan sawah, ternak, bahkan rumah. Hanya Mbah Mulyo yang tetap tinggal, duduk di depan rumah bambunya, menatap arah puncak. Ia tahu gunung sedang marah. Ia tahu ia harus berbicara pada yang tak bisa dilihat.
“Kalau aku harus jadi tumbal, jadikan aku saja,” katanya pelan.
Tak lama, gemuruh semakin keras, dan cahaya merah meledak dari kawah. Desa diliputi pekat dan suara raung yang seolah keluar dari perut bumi. Setelah letusan reda, orang-orang kembali, dan menemukan rumah Mbah Mulyo sudah tertutup abu. Di dalamnya, tubuhnya duduk membeku, matanya masih terbuka, dahi itu bersinar samar, seperti menyalakan sisa cahaya terakhir dari gunung yang telah tenang.
Orang-orang menganggap Mbah Mulyo mati sebagai penjaga sejati. Mereka bangun tugu di dekat rumahnya, tempat orang datang untuk berdoa dan meminta keselamatan. Tapi anak dan cucunya justru menolak semua ritual itu.
“Itu hanya kebetulan,” kata cucunya, Rafi, yang baru pulang dari Yogyakarta setelah menempuh kuliah geologi.
Ia menatap abu bekas letusan dengan cara yang berbeda. Baginya, gunung bukan makhluk hidup, melainkan sistem alam yang bekerja sesuai hukum fisika. Ia menatap foto kakeknya di dinding, memandangi tanda di dahi itu dengan rasa jengkel.
“Tidak ada wahyu. Tidak ada kutukan. Hanya tekanan magma dan patahan,” gumamnya. Tapi pada malam ketujuh setelah pemakaman, saat ia sedang duduk di teras dengan laptop di pangkuannya, Rafi merasakan panas di dahinya. Ia mengira itu gigitan nyamuk. Tapi saat bercermin, ia melihat garis samar berwarna merah kehitaman muncul di sana, melengkung seperti jalur sungai di peta topografi.
Awalnya ia menertawakan hal itu. Ia mengirim pesan kepada teman-temannya di kota: “Lucu, aku kayak punya peta di dahi.”
Tapi malam-malam berikutnya, ia mulai bermimpi aneh. Dalam tidurnya, ia melihat kakeknya berdiri di tepi kawah, menunjuk ke langit. Ia mendengar suara gemuruh yang sama seperti dalam rekaman seismik, tapi kali ini datang dari dalam tubuhnya sendiri. Ia bangun dengan keringat dingin, memegang dahi yang kini terasa berdenyut. Garis itu semakin nyata, dan setiap kali ia mencoba menghapusnya, rasa panas seperti bara menjalar ke seluruh kepala. Ia mencoba menjelaskan secara ilmiah—mungkin reaksi alergi, mungkin efek psikologis. Tapi ketika ia berjalan ke luar rumah dan melihat puncak Merapi berkilau merah di kejauhan, hatinya bergetar oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan logika.
Desa kembali gelisah. Warga yang melihat tanda di dahi Rafi menunduk dengan takut.
“Gunung belum selesai,” bisik mereka.
Rafi menolak percaya, tapi tubuhnya sendiri mulai berubah. Ia bisa merasakan getaran tanah bahkan sebelum alat pendeteksi gempa di pos pengamatan berbunyi. Ia tahu kapan angin akan berubah arah, kapan abu akan turun, kapan kawah mengembuskan asap. Dalam dirinya, ada sesuatu yang bangun—entah ingatan kakeknya, entah suara gunung itu sendiri. Ia mencoba menolak, tapi semakin ditolak, semakin kuat bisikan itu datang. Kadang, di malam sunyi, ia mendengar desisan pelan: “Jangan biarkan mereka membongkar perutku.” Ia tahu suara itu bukan dari luar. Itu dari dalam kepalanya. Dari tanda di dahinya.
Suatu pagi, sekelompok peneliti asing datang, membawa peralatan canggih, drone, dan sensor gas. Mereka ingin meneliti struktur kawah. Rafi, yang semula membantu, tiba-tiba merasa sesak. Ia melihat di matanya sendiri pantulan wajah Mbah Mulyo, dan mendengar gema suara yang dulu ia anggap tahayul: “Gunung tidak boleh dilukai.” Ia menjerit, memukul alat-alat itu, menendang kamera, membuat semua orang panik. Mereka mengira ia gila. Ia berlari ke arah puncak, melewati ladang yang penuh batu apung, menerobos kabut belerang. Orang-orang berusaha mengejar, tapi tak sempat. Saat mereka tiba di pos terakhir, Rafi sudah berdiri di bibir kawah, tubuhnya bersinar aneh dalam cahaya pagi, dan tanda di dahinya memancar merah seperti bara.
“Aku bukan penjaga,” katanya lirih, “aku hanya penanda.” Lalu gunung bergemuruh, dan suara itu menelan semuanya.
Beberapa hari kemudian, letusan kecil terjadi, tapi cukup membuat langit desa gelap. Setelah itu, Rafi hilang. Tidak ditemukan mayatnya, hanya selembar jaket tersangkut di batang pohon dan segumpal abu yang membentuk pola aneh di tanah, mirip garis di dahi Mbah Mulyo dulu. Penduduk menafsirkan itu sebagai perpindahan wahyu. Ada yang mengatakan roh juru kunci memilih tubuh baru. Ada yang percaya gunung sedang menjaga rahasianya sendiri. Tapi ada pula yang berbisik, bahwa setiap kali malam tiba dan angin turun dari puncak, tampak sosok laki-laki muda berjalan di antara ladang, dahinya menyala samar, memandangi rumah yang telah runtuh separuh, seolah mencari sesuatu yang belum selesai.
Di kota, para ilmuwan menulis laporan tentang “anomali geotermal” di lereng Merapi. Mereka mencatat suhu, tekanan gas, dan perubahan warna lava. Tidak satu pun menulis tentang tanda di dahi atau suara dari perut bumi. Tapi bagi warga di desa, setiap kali mereka bermimpi tentang gunung yang bersinar, mereka tahu seseorang sedang berbicara dari balik awan abu. Mungkin Mbah Mulyo. Mungkin Rafi. Atau mungkin gunung itu sendiri yang sedang mencatat ulang peta nasib manusia—dengan garis-garis merah di dahi mereka.
