Sebuah penelitian gabungan terbaru menyatakan ekosistem gambut dan mangrove bisa menjadi kunci memenuhi target pengurangan emisi bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Lebih dari setengah emisi karbon dari penggunaan lahan di Asia Tenggara dapat dimitigasi melalui konservasi dan restorasi lahan gambut dan mangrove.
“Melestarikan dan merestorasi ekosistem gambut dan mangrove yang memiliki cadangan karbon besar di Asia Tenggara dapat memitigasi sekitar 770 megaton CO2 ekuivalen (MtCO2e) per tahun atau setara hampir dua kali lipat emisi gas rumah kaca nasional Malaysia pada tahun 2023. Meskipun kedua ekosistem ini hanya menempati 5,4% dari luas daratan Asia Tenggara,” ujar Sigit Sasmito, Peneliti dari Centre for Tropical Water and Aquatic Ecosystem Research (TropWATER), James Cook University, Australia, dalam keterangan tertulis, Kamis (13/2/2025).
Temuan itu didapat dari penelitian mengenai perubahan penggunaan lahan dalam kurun waktu 2001-2022 yang berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca (GRK). Asia Tenggara menyumbang sekitar sepertiga emisi karbon global akibat perubahan tata guna lahan. Sebagian besar berasal dari hutan rawa gambut tropis dan mangrove, termasuk akibat kebakaran.
Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wahyu Catur Adinugroho mengatakan, tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Vietnam menyumbang lebih dari 90% emisi di Asia Tenggara dari sumber-sumber emisi tersebut.
Besarnya kontribusi emisi ini, kata dia, sejalan dengan luasan ekosistem gambut dan mangrove, di mana Indonesia memiliki luasan terbesar dari kedua ekosistem ini, diikuti oleh Malaysia.
“Walaupun merupakan penyumbang emisi terbesar, Indonesia juga memiliki potensi mitigasi perubahan iklim terbesar melalui kegiatan konservasi dan restorasi karena negara kita memiliki 3.4 juta hektar hutan mangrove dan 13.4 juta hektar lahan gambut,” ujar Wahyu.
Penelitian ini diterbitkan di Jurnal Nature Communications pada 28 Januari 2025. Judulnya Half of land use carbon emissions in Southeast Asia can be mitigated through peat swamp forest and mangrove conservation and restoration.
Peneliti yang terlibat dari Nanyang University Singapura, James Cook University Australia, Nanyang Technological University Singapura, Queensland University Australia, Institut Pertanian Bogor, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kementerian Kehutanan, dan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN).
Gambut dan Mangrove Ekosistem Vital

Indonesia merupakan salah satu wilayah dengan lahan gambut tropis dan hutan mangrove terluas di dunia. Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Perubahan Iklim yang juga salah satu kontributor dalam penelitian ini, Haruni Krisnawati, menyebutkan, kedua ekosistem tersebut memiliki karakteristik fisik dan ekologi yang serupa. Terutama, tanahnya yang jenuh air serta terbatasnya oksigen dalam jangka waktu yang lama.
“Kondisi ini menyebabkan berkurangnya tingkat dekomposisi bahan organik, sehingga ekosistem ini menjadi penyerap karbon paling efektif di Bumi, menyimpan sejumlah besar karbon di tanah mereka,” kata Haruni
Selain itu, lebih dari 90% cadangan karbon di kedua lahan basah ini tersimpan di tanah, bukan pada berbagai tumbuhan (vegetasi) di atasnya. Artinya, sebagian besar karbon yang tersimpan bersifat irrecoverable atau rentan terhadap pelepasan karbon akibat aktivitas manusia. Jika hilang, ia tidak mudah dipulihkan.
Dengan karakteristik tersebut, lahan gambut dan mangrove jadi ekosistem penyerap karbon paling efisien di dunia. Ekosistem itu jadi solusi alami penting untuk memitigasi perubahan iklim, membantu negara-negara mencapai target nol karbon.
“Namun ketika lahan gambut dan mangrove terganggu, biasanya karena alih fungsi lahan, mereka akan melepas karbon dalam jumlah besar ke atmosfer,” terang Sigit yang juga memimpin penelitian ini.
Nisa Novita, salah satu penulis artikel dan Senior Manager Karbon Kehutanan dan Iklim YKAN mengatakan, melestarikan lahan gambut dan mangrove tersisa serta merestorasi ekosistem lahan basah yang terdegradasi merupakan solusi iklim alami yang hemat biaya. Itu dapat membantu mencapai target komitmen iklim dalam kontribusi yang ditetapkan secara nasional (Nationally Determined Contribution-NDC) oleh negara-negara di Asia Tenggara.
“Hal ini khususnya berlaku untuk Indonesia, di mana potensi mitigasi dari konservasi dan pemulihan lahan basah saja dapat melampaui target pengurangan emisi negara tersebut untuk tahun 2030 dalam skenario mitigasi tanpa syarat,” terang Nisa.
YKAN saat ini terus menyempurnakan perhitungan emisi gas rumah kaca untuk menilai dampak konservasi dan restorasi, terutama di lahan gambut. Pengukuran emisi Gas Rumah Kaca dari tanah dan badan air dilakukan di berbagai jenis tutupan lahan di Kalimantan dan Sumatera.
Dari pemantauan emisi gas rumah kaca jangka panjang selama beberapa tahun, YKAN melaporkan pembasahan kembali lahan perkebunan kelapa sawit bisa mengurangi emisi karbon bersih hingga 34%.
YKAN juga telah mengkaji emisi gas dari lahan gambut yang secara hidrologis tidak terganggu di Muara Siran, Provinsi Kalimantan Timur. Temuannya adalah lahan gambut alami menghasilkan emisi metana secara signifikan dengan emisi CO2 yang rendah.
“Ginjal” Bumi
Lahan basah seperti rawa-rawa, gambut dan mangrove berperan memitigasi perubahan iklim. Selain itu, ekosistem itu pun dikenal sebagai “ginjal” bumi karena mampu memurnikan air.
Lahan basah mampu melindungi kawasan dari erosi. Area tersebut menjadi habitat beragam satwa endemik, yang sebagian di antaranya kini terancam punah. Begitu pentingnya keberadaan Lahan Basah sehingga setiap tanggal 2 Februari diperingati sebagai Hari Lahan Basah Sedunia.
Tipe ekosistem lahan basah di Indonesia lumayan lengkap, seperti lahan gambut, mangrove, riparian, rawa, hingga sawah. Sayangnya, saat ini belum ada data yang terverifikasi mengenai luasan yang sudah terdegradasi.
“Pemulihan dan perlindungan ekosistem lahan basah juga penting di luar manfaat karbon untuk melindungi mata pencaharian masyarakat dan menjaga keanekaragaman hayati yang tinggi serta beragam ekosistemnya,” pungkas Nisa.