• Sastra
  • Malin Kundang, Batu Menangis di Pantai Air Manis
Sastra

Malin Kundang, Batu Menangis di Pantai Air Manis

Penulisan ulang cerita rakyat Malin Kundang dari Sumbar. Ditulis dengan memanfaatkan akal imitasi (AI) yang diolah ulang oleh penulis.

ilustrasi untuk cerita malin kundang
Ilustrasi: Malin Kundang, Batu Menangis di Pantai Air Manis. (Propublika.id)

Air pantai berbuih dan bau ikan segar menguar saat Mande Rubayah melambaikan tangan ke arah perahu yang menjauh. Ia menerawang. Di tempat ini, sepuluh tahun lalu, Rubayah dapat kabar suaminya hilang diterkam ombak saat mudik. Kini, anak semata wayangnya, Malin Kundang, pergi dengan alasan pamit yang sama dengan suaminya: merantau.

“Aku akan kembali jadi saudagar, Bundo,” kata Malin sebelum pergi.

“Pulanglah dalam keadaan susah atau makmur,” jawab Rubayah terisak.

Ombak dan angin di Pantai Air Manis mengeringkan air matanya. Ia bawa keranjang berisi ikan tangkapan Malin Kundang terakhir. Ia berbalik arah, melangkah, dan kembali ke gubuk kayu di tepi pantai.

Di akhir pekan itu, pengunjung Pantai Air Manis sedang banyak-banyaknya. Salah satu tujuan wisata di Sumatera Barat itu menjadi tumpuan Rubayah hidup.

Rubayah tak mau menyiakan kesempatan. Kesedihannya pagi itu harus dialihkan untuk berjualan. Ia bersihkan ikan-ikan laut dari keranjang, menyiapkan bumbu, dan membuka warung.

Begitulah Rubayah bertahan dengan atau tanpa anaknya. Bedanya, jika sebelumnya ikan ia dapat dari hasil Malin Kundang melaut, kini ia harus membeli dari tempat pelelangan ikan.

***

Tujuh tahun berlalu. Sebuah mobil bergardan ganda seharga satu kilogram emas batangan menepi di Pantai Air Manis. Seseorang keluar dari tempat kemudi dan membuka pintu belakang. Perempuan bergaun putih turun dari mobil, diikuti seorang pria berkumis tipis.

Mande Rubayah kenal wajah pria itu. Ia mendekat. Ya, itu Malin Kundang. Rubayah yakin. Malin menoleh. Matanya menyipit. Ia berlari dan seketika memeluk Rubayah. Malin menangis memeluk wanita berambut kapas itu.

“Aku pulang, Bundo. Mohon maaf aku tidak mengabarkan.”

Keduanya berpelukan lama dan tak ada kata terucap lagi. Istri Malin berdiri memandang mereka, ikut menangis. Keduanya memutuskan bermalam di rumah kayu Rubayah.

Dari obrolan panjang, Rubayah tahu bahwa Malin menikah dengan putri tuan tanah kebun sawit di Kalimantan. Malin jadi orang kepercayaan sang saudagar dan mampu mengembangkan perkebunan jadi lebih luas.

Malin dan istrinya berjanji kepada Rubayah akan kembali lagi ke Pantai Air Manis di bulan selanjutnya. Mereka berjanji akan membangun rumah Rubayah jadi lebih layak dan mengembangkan usaha ikan bakar Rubayah.

“Aku tak perlu rumah atau usaha yang berkembang. Sekarang sudah cukup. Kalian pulang saja dan mengabarkan apa pun kondisimu,” kata Rubayah.

Malin tak bergerak. Matanya menatap laut, seolah-olah ada harta karun yang harus dijaga di sana. “Sekarang, kami sedang menggunakan uang untuk kerja sama usaha di pusat Kota Padang. Bulan depan, kami akan kembali, Bundo.”

“Darahku mengalir dalam tubuhmu, Malin. Susah atau senang, aku tetap Ibumu. Kembalilah sesuai janjimu.”

***

Sebulan berlalu. Malam itu, langit bergemuruh. Mande Rubayah duduk di gubuknya, memeluk baju lusuh Malin kecil yang masih tersimpan. Di luar, ombak menggila, menerjang karang-karang dan pasir bagai semburan naga.

Ia menatap pantai, menatap sekeliling, dan tak ada yang datang. Keesokan pagi, ia tak berjualan. Ia duduk di atas batu tepi pantai. Ia menunggu Malin. Hari berganti dan anaknya tak kunjung datang.

Begitulah hari-hari Rubayah berlalu. Kadang ia berjalan berkeliling pantai. Ia susuri jalan sampai ke pintu masuk wisata yang juga dikenal sebagai Pantai Aie Manih tersebut.

Teman-teman sesama pedagang bingung dengan perubahan perilaku Rubayah. Tatapan mata perempuan tua itu sayu, tak pernah menjawab segala pertanyaan yang diajukan kepadanya, dan tak pernah berjualan kembali.

Sesama pedagang akhirnya memberinya makan bergantian. Rubayah memakannya, tapi tetap bergeming.

Suatu malam, masih di tepi pantai, seorang nelayan yang baru membereskan kapalnya mendekati Rubayah. Entah kenapa, kepada lelaki muda itu, Rubayah untuk pertama kalinya berbicara.

Nelayan itu hanya mendengarkan cerita panjang Rubayah. Di akhir cerita, Rubayah menangis dan tiba-tiba tersungkur tak bernapas.

***

Pantai Air Manis semakin ramai. Kisah Rubayah yang menunggu anaknya pulang sampai akhir hayat itu menjalar cepat seperti virus.

Dasril Bayras dan Ibenzani Usman, dua seniman patung, turut penasaran. Mereka berkemah di pantai itu berhari-hari dan mewawancarai banyak warga.

Sampai akhirnya mereka bertemu dengan nelayan muda yang mendengar langsung kisah Rubayah sebelum mangkat.

Sang nelayan bercerita, pada suatu malam, setelah penantian panjang kepulangan Malin, Rubayah mendengar nyanyian dari batu karang besar di tengah pantai—suara lirih, parau, seperti anak kecil menangis.

Mande Rubayah berjalan. Angin menerpa, merobek sarungnya. Tapi ia terus melangkah. Di depan karang itu, ia melihat bayangan: tubuh Malin kaku, perlahan berubah menjadi batu. Matanya masih bergerak, lidahnya bergetar ingin bicara, tapi mulutnya sudah membatu.

“Kau pilih jadi batu atau menepati janji sebagai anakku?” bisik Mande Rubayah.

Malin tak bisa menjawab. Batu merambat dari kaki ke lehernya.

“Kalau begitu,” kata Mande Rubayah, suaranya tiba-tiba dingin dan menyayat, “jadilah batu yang menangis. Supaya setiap nelayan yang lewat ingat bahwa durhaka itu semudah ditunggu ibunya, tapi seperti batu yang diam tanpa kabar.”

Tangan keriputnya diangkat. Petir menyambar. Rubayah melihat batu karang di hadapannya retak dan tubuh Malin bersujud kaku jadi batu. Sejak itu, setiap malam badai, Rubayah mendengar karang itu mengeluarkan suara liris: “Ikan teri di laut seberang… anak durhaka jadi batu karang…”

Mendengar kisah itu, kedua seniman seperti mendapatkan permata di tepi pantai. Mereka seketika membuat coretan gambar, sketsa dengan pensil dan kertas putih.

Entah bagaimana, beberapa bulan kemudian, sketsa itu terwujud menjadi susunan batu dan semen di tempat Rubayah menghembuskan napas terakhir. Di sana terdapat batu mirip manusia bersujud, kapal yang rusak, lengkap dengan tali dan jangkar—seperti kisah yang dituturkan Rubayah kepada nelayan.

Cerita yang mewujud itu bikin Pantai Air Manis semakin ramai. Mereka ingin melihat langsung wujud Malin Kundang yang durhaka terhadap ibunya.

Dan, hingga kini, jika kau ke Pantai Air Manis, duduklah di karang saat bulan purnama. Kadang, batu itu bernyanyi—suaranya seperti tangisan penyesalan, sedikit teriakan, ratapan, atau suara seorang anak meminta ampun—entah kepada siapa.

***

Baca juga:

Picture of FX Jarwo
FX Jarwo
Jurnalis dan penulis konten ProPublika.id. Menggemari isu lingkungan, masyarakat adat, dan hak asasi manusia. Ia pun menulis hal-hal ringan mengenai perjalanan, tips, dan pengetahuan umum dari berbagai sumber.
Bagikan
Berikan Komentar