• Sastra
  • Arsip Pram: Hidup dan Kerdja Sasterawan Indonesia Modern (3)
Sastra

Arsip Pram: Hidup dan Kerdja Sasterawan Indonesia Modern (3)

Bagian ketiga pidato Pramoedya Ananta Toer di Fakultas Sastra UI pada 5 Desember 1954. Arsip untuk mengenang 100 tahun Pramoedya.

arsip pramoedya ananta toer
Ilustrasi untuk tulisan Pramoedya Ananta Toer: Hidup dan Kerdja Sasterawan Indonesia Modern (3).
Catatan Redaksi: 6 Februari 2025 merupakan 100 tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer, sastrawan terkemuka yang Indonesia miliki. Redaksi menerbitkan arsip tulisan ini untuk mengenang pemikiran dan kiprah Pram sekaligus untuk tujuan pendidikan bagi khalayak.

Arsip ini kami tulis ulang sesuai ejaan dan salah ketik yang ada di dalamnya. Jika ada pihak yang keberatan terhadap penerbitan arsip ini, kami bersedia berdialog dan siap menurunkan arsip ini jika diperlukan. Sila hubungi redaksi di: propublika.id@gmail.com.

Tulisan ini kami bagi menjadi tiga bagian. Ini adalah bagian terakhir. Lihat seluruh bagian di sini: Mengenang 100 tahun Pramoedya Ananta Toer!

***

Kadang² dalam pekerdjaannja pengarang memperoleh bahan dari visiun-visiun jang amat rapuh, bahkan djuga amat rapuh sekalipun hanja untuk dikenangkan—visiun² jang tak djarang muntjul dikala sipengarang terajun-ajun antara djaga dan tidur. Begitu djelas ia nampak begitu gilang gemilang dan menakdjubkan, tapi serenta sipengarang lebih banjak memiliki kesadaran, ia lenjap untuk selama-lamanja. Ia lenjap tidak meninggalkan bekas, sakalipun didalam ingatan, sekiranja visiun itu tidak muntjul dalam wudjud jang dahsat. Bekas-bekas jang sedikit, jang tertinggal didalam ingatan sipengarang, oleh sipengarang dengan segala tenaga kedjiwaan jang ada padanja ditjoba untuk direkonstruksikan. Dan apabila tuan tahu, bahwa banjak kala bekas² itu hanja berupa kenikmatan atau sebaliknja kedjidjikan belaka, tidak lebih dan tildak kurang! Tenaga kedjiwaan jang hendak merekonstruksikan ini mesti mentjari bahan” jang mengakibatkan terdjadinja kenikmatan atau kedjidjikan tadi. Dan kalau tuan tahu, bahwa dalam kehidupan manusia ini hanja ada satu matjam kenikmatan dan kedjidjikan, dan apabila ada perbedaan, maka perbedaan itu hanja terletak pada nilai dan warnanja belaka, dapatlah tuan bajangkan sendiri betapa berat pekerdjaan pengarang itu dalam merekonstruksikan bahan-bahan tersebut agar kenikmatan atau kedjidjikan jang dibekaskan oleh visiun itu dapat tuan² terima dalam keadaan jang utuh. Mungkin rekonstruksi ini dilakukan dengan mempergunakan kata² jang langsung, mungkin pula dengan perbandingan², mungkin pula dialirkan kedalam suasana. Ternjata, bahwa dalam segi ini pekerdjaan seorang pengarang tidak banjak berbeda dengan seorang detektif, dan seorang penjelidik, expediteur sekaligus.

Barangkali tuan akan mengatakan, bahwa semua itu hanjalah pekerdjaan routine, dan karenarja tak perlu dibesar-besarkan. Dalam hal ini mungkin ada seorang pengarang jang telah berhasil dapat menganggap pekerdjaannja sebagai routine karena terlampau biasa mengerdjakannja. Tetapi hal demikian terlampau djarang terdjadi, karena situasi pekerdjaan itu selamanja berlainan dan berubah-ubah daripada pekerdjaan jang sudah², dengan urutan dan inti jang djuga berlainan daripada jang sebelumnja. Berbeda halnja dengan motif kedjahatan jang harus ditjari oleh seorang detektif, jang selamanja sematjam, jakni hasrat hidup jang berlebih-lebihan dibandingkan dengan manusia normal. Dan disamping itu suasana hati pengarang dalam kehidupannja sehari-hari mengambil peranan jang amat penting dalam pekerdjaannja. Seorang pengarang jang sedang dalam suasana amarah, berahi, kelengangan, rindu dan sebagainja akan merasa lebih sulit atau lebih mudah melakukan pekerdjaannja, dan perasaan² se-waktu² itupun memberi pengaruh jang merusak ataupun membangun pada karangan-karangannja.

Motif kedjahatan oleh seorang detektif dapat ditjarinja dengan penjelidikan, dan bahan-bahannja direkonstruksikan—bahan² jang njata dan dapat dibuktiķan. Bagaimana halnja dengan pengarang! Keindahan, kebagusan, haruan, jang semuanja bersifat subjektif ini, dan bagi seorang pengarang harus dibuktikan untuk djuga dapat dikenali oleh pembatjanja—adalah pekerdjaan jang lebih rumit daripada pekerdjaan teknik jang serumit manapun djua. Apabila ada seseorang menjatakan, bahwa djustru karena tak dapat dibuktikan dan dikenali itulah pekerdjaan mengarang lebih gampang, tidak bisa dikontrol, dan bisa dilakukan setjara serampangan. Mungkin djuga pernjataan ini benar, tapi kebenaran jang mutlak terletak pada: bagaimana sesungguhnja pengarang² itu bersikap terhadap pekerdjaannja. Terutama diantara paratjalon pengarang sendiri banjak timbul salah duga: jakni, djustru karena tidak bisa dikontrol inilah tiap pengarang boleh mengarang seenak hatinja. Biasa ini disebabkan karena karangan² jang baik dan berhasil selalu memantjar sebagai kebulatan kesederhanaan. Kesederhanaan, karena disebabkan adanja tenaga² jang logis! Djuga salahduga ini banjak kala menjebabkan pekerdjaan pengarang dianggap sebagai pekerdjaan main². Padahal tidak djarang terdjadi seorang pengarang membutuhkan waktu berhari-hari lamanja, bahkan kadang² lebih lama daripada itu untuk menuliskan kalimat² dalam beberapa alinea. Berbahagialah pengarang jang dapat menulis lantjar dengan hasil jang gilang gemilang pula, sekali reguk bisa berpanen sukses dan pengakuan! Tetapi sukses dan pengakuan itu sebenarnja tidaklah bisa diperoleh dengan begitu sadja. Djuga tidak mungkin ia memperolehnja begitu sadja. Sukses dan pengakuan itu hakikatnja telah dipersiapkannja lama sebelum pengarang itu mulai beladjar menulis, jakni sedjak pengarang itu memiliki kesadaran, sedjak ia berumur empat atau enam tahun. Sedang sukses dan pengakuan itu hanja dapat dipaneni pada waktunja jang tepat, sedang ketepatan waktu ini tidak bisa diperhitungkan oleh akal manusia. Tak ada seorangpun diatas dunia ini bisa memperoleh sukses dan pengakuan tanpa persiapan sebelumnja. Dan bagi seorang pengarang, persiapan itu tidak lain daripada gumpalan dan bongkahan² hidup pribadi dirinja sendiri: kesakitannja, keharuannja, kegirangannja, dambaannja, njanjian dan pudjaannja, angan dan tjintanja, asmara dan dendamkesumatnja—pendeknja se-gala²nja jang ada pada dirinja.

Akibat dari salahduga paratjalon pengarang ini selamanja melahirkan hasil² tulisan jang djauh lebih banjak daripada hasiltulisan jang berhak dinamai hasilkesusasteraan. Ini terdjadi dan akan terdjadi dimanapun djuga tuan berada, terutama didaerah-daerah, dimana norma² kesusasteraan hantjur atau belum terbentuk. Mereka ini membandjiri tiap kesempatan jang ada dengan tulisan²-nja. Dan kurangnja bimbingan rasa susastera, baik dikalangan penerbit maupun pembatja di Indonesia dewasa ini, mengakibatkan: jang pahit dan tidak diharapkan menimpalah pada golongan pengarang jang pertjaja, bahwa satu²nja pengutjapan hidupnja, jang menghubungkan dirinja dengan pergaulannja, dengan masjarakatnja, hanja satu—tulisannja. Kehilangan ini untuk tuan² mungkin tidak berarti apa², barangkali tuan memandangnja sebagai serdadu jang tewas dimedan pertempuran kemudian tjukup dihibur dengan sebutan pahlawan atau didirikan tugu untuknja. Tapi bagi pengarang itu sendiri kehilangan ini, walaupun diutjapkan setjara kiasan, berarti kehilangan hubungannja, hidup terpentjil disegumpal tanah jang bukan lagi mendjadi buminja, karena djiwanja terputus dari alat² perhubungannja dengan masjarakatnja.

Tuan, seorang biksu, biksuni atau pertapa, bila meninggal dunia, maka ia meninggal setjara kudus, karena ia jakin, bahwa segala darmanja telah dibaktikannja pada sesuatu jang dipudjanja. Ia mati dengan kerelaan, karena kejakinannja, bahwa ia telah kerdjakan segala jang ia rasa djadi kewadjibannja, baik terhadap manusia, dunia dan sesuatu jang dipudjanja. Tetapi berbeda dengan seorang pengarang seperti dilukiskan tadi. Bila ia mati, ia mati dalam keadaan penasaran. Ia tahu masih banjak jang harus dikatakan dan diperbuatnja, tetapi orang tidak mau menerimanja. Ia menjesali kelambanan sesamanja, barangkali djuga ia menjesali djamannja. Ia tak ubahnja dengan pendjahat terkutuk jang mati dalam pelarian dan persembunjiannja dibelukar, diketemukan sesudah mendjadi busuk dan tiada berharga. Suatu utjapan jang mengerikan mengatakan, bahwa terdjadinja pengarang adalah permulaan suatu kutukan jang harus, dipikul terus menerus—seorang pengarang adalah kudabeban jang selalu menghamba pada manusia, tetapi tidak selamanja menerima terimakasih jang sewadjarnja. Sukses keuangan jang mungkin diterimanja selamanja tidak seimbang dengan segala jang telah diberikannja, ia tidak lain daripada suatu hiburan jang murah dan bersifat sementara, dan sementara itu ia telah banting segala kartunja, ia tidak membutuhkan atau labih tepat dikatakan tidak mempunjai perlindungan sebenangpun terhadap amarah dan tjatjian masjarakat. Setjara kiasan dapat dikatakan, seorang pengarang adalah seorang jang vogelvrij verklaaard. Karena itu, tanpa sesuatu kejakinan jang pasti, lebih baik djangan mendjadji pengarang. Mungkin tuan akan bertanja: bukankah sementara itu pengarang mendapat kemashuran? Ah, tuan, kemashuran bisa diperoleh tiap orang dengan setjara gampang. Tjontoh untuk ini terlampau banjak terdapat dalam sedjarah. Pembunuh Willem van Oranje djuga termashur. Tetapi saat² terachir dari kematian pengarang djauh lebih mengharukan. Kengkan kematian Chairil, Tolstoi, Allan Por, Zola, Babel, Amir Hamzah, dan dapat tuan sebutkan puluhan nama lagi kalau kurang tjukup.

Memang kerja² seorang pengarang biasanja diikuti oleh perkembangan namanja didalam masjarakat. Seorang pengarang jang baru mentjoba merebut “pasaran” pembatja sanggup mengurbankan segala-galanja untuk mendapat nama. Dapat dikatakan, ia sanggup menderitakan segala-galanja. Inilah romantik masa perdjuangan pertama—hakikatnja romantik dari semua idealis. Djiwanja lebih besar, dapat mengalahkan kebutuhan²-nja akan material² praktis buat kehidupannja. Tidak salah bila tuan banjak melihat pengarang² baru jang hidup moratmarit, segala tidak terurus, tetapai bila dalam pembitjaraan bersama persoalan menjangkut pada selukbeluk kesusasteraan, maka sekali sulap mereka ini mendjadi manusia² lain. Lihat matanja jang menjala-njala, gerak-geriknja jang hidup, suaranja jang lantjar meluntjur dari lubuk kepertjajaannja. Dalam keadaan demikian seakan makan, minum, kesehatan dan pakaian hanja barang² sambil lalu dalam hidup, dan djustru demikian bagi kurun romantik mereka ini. Tetapi tuanpun tahu, bahwa tiap pengarang adalah idealis jang tidak berhenti pada satu tjita sadja. Tjita jang telah terebut mendhadi kenjataan akan diikuti oleh tjita lain jang harus direbut pula, dan seterusnja. Artinja, bahwa tambah lama mereka ini tambah menjadari kebutuhan² material untuk kehidupannja.

Tambah djauh berdjalan, tambah berkurang masa romantik ini. Dan bila seorang pengarang telah mendapat nama didalam masjarakat, mautakmau ia harus pertahankan nama ini, seperti djuga dalam ketentaraan. Tetapi bila dalam ketentaraan ketegangan uratsaraf ini berlaku hanja untuk sementara sadja, seorang pengarang mengalaminja sepandjang hidupnja, selama ia masih merasa diri pengarang. Dan tuan tahu sendiri, mempertahankan selamanja lebih sulit daripada menjerang atau merebut.

Seorang pengarang jang telah berpengalaman mengetahui benar, bahwa kritik² daripada parapengarang baru, jang pada hakikatnja kritikan mereka ini sedikit-banjaknja tidak lain daripada usaha menaikkan nama sendiri setaraf dengan orang jang dikritiknja, dan karenanja tak perlu benar mendapat perhatian. Tetapi musuh seorang pengarang adalah kemundurannja sendiri! Terutama bagi para pengarang Indonesia jang dilahirkan dalam usia muda, kemunduran ini amat tjepat datangnja sebagaimana djuga amat tjepat kelahirannja sebagai pengarang. Para pengarang atau peminat jang romantis sering mentertawakan masalah umur seseorang sebagai pengarang. Namun dipandang dari sudut manapun, umur merupakan faktor penting jang tidak bisa diabaikan.

Suatu kali tuan menghadapi buku kesusasteraan, mungkin tuan terpikat oleh tjeritanja, kagum pada gajanja, tetapi bila dihubungkan buku itu dengan segala jang telah dikurbankan oleh pengarangnja, tuan akan memasuki alam kehidupan pengarang itu sendiri, mungkin hanja dengan sajup² sadja terasa oleh tuan bahwa segala-galanja telah dipertjajakan oleh pengarang itu didalam tulisannja. Dengan ingatan pada kehidupan pengarang, mungkin tuan bisa mentjintai kesusasteraan, sebagaimana tuan mentjintai segala jang memberi tuan harapan jang indah², jang menguntungkan dan jang menjenangkan. [*]

*

Arsip lain soal Pram bisa dibaca di sini: Pram.

Picture of Propublika.id
Propublika.id
Portal berita dan cerita rintisan yang didirikan di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur pada 2022. Sesuai namanya, kami berupaya menyajikan informasi relevan bagi publik. Selengkapnya lihat laman Tentang Kami.
Bagikan
Berikan Komentar