Pin mugiwara, logo pada bendera tengkorak memakai topi jerami, yang menjadi ikon serial anime One Piece, pada 24 Januari 2024 tersemat di kemeja biru langit yang dipakai Gibran Rakabuming Raka saat debat calon wakil presiden putaran kedua pada Pemilihan Presiden 2024 lalu.
Di jalanan Yogyakarta pun terpampang dua baliho raksasa bergambar karakter Naruto mengacung dua jari berlatar biru langit. Animeisasi politik Indonesia saat pilpres lalu jadi strategi guna menarik perhatian generasi milenial dan Z yang mendominasi proporsi daftar pemilih tetap.
Lebih jauh, artikel saya yang ditulis bersama tim mengajukan bahwa sentimen intergenerasional lebih diusung Gibran guna menjangkau mayoritas pemilih. Oleh karena itu, apropriasi budaya meme maupun joget ala Tiktok menambah daftar realisasi strategi politik riang gembira yang digagas tim kampanyenya.
Digital nativism
Apropriasi tersebut mengubah wajah populisme digital di Indonesia yang semula menautkan sentimen kelas sosial pada era Jokowi menjadi politik intergenerasional, lebih spesifik lagi digital nativism.
Dalam lanskap digital nativism politics demikian, kemunculan bendera mugiwara pada Agustus 2025 sebagai simbol resistensi daring dan luring sebenarnya tidak mengherankan. Ini bisa dilihat sebagai sikap generasi muda mengklaim kembali kepemilikan modal kultural yang dulu dieksploitasi secara elektoral.
Mereka mendayagunakan simbol tersebut untuk menagih janji yang beredar pada pilpres lalu. Sebab, generasi muda menjadi bagian dari kelompok yang mengalami stagnasi pendapatan selama 10 tahun terakhir.
Mereka pula yang berebut masuk dalam job fair karena sempitnya lowongan pekerjaan dan kepastian jenjang karir dalam pekerjaan karena sistem alih daya. Jika ditengok ke belakang, padahal mereka menjadi sasaran janji 19 juta lapangan pekerjaan yang diutarakan Gibran.
Sebesar 48,72% kelas menengah Indonesia diisi oleh generasi milenial dan Z. Oleh karena itu pula, mereka menjadi sasaran kebijakan perpajakan Indonesia yang ekspansif untuk menutupi defisit APBN karena sempitnya ruang fiskal.
Di tengah situasi tersebut, pagelaran para elite justru sibuk mempertontonkan pertarungan kekuasaan di antara mereka sendiri. Di sisi lain, generasi muda susah membeli rumah karena pendapatan mereka mesti bertarung sengit dengan laju harga, inflasi, dan pajak. Relasi asimetris antara realitas politik dan guncangan ekonomi yang dihadapi anak muda ini yang dapat membuat politik digital Indonesia akan sangat dinamis.
Gelombang protes kepada rezim
Belum genap satu tahun pemerintahan Prabowo, tetapi rezim ini sudah menghadapi gelombang protes luring dan daring beruntun. Mulai dari protes PPN 12%, Indonesia gelap, kabur aja dulu, pertamax oplosan, kisruh empat pulau Aceh, atau protes terhadap penambangan Pulau Gag.
Meski kemudian Prabowo menyebut protes ‘Indonesia gelap’ dan ‘kabur aja dulu’ dibiayai koruptor, bilapun klaim Prabowo itu benar, koruptor tersebut tentu telah melihat tumpukan jerami kering terhampar di siang hari yang terik. Percik api sudah cukup membuatnya menyala. Apalagi, warganet Indonesia disebut bersikap emosional dan impulsif dalam bertindak secara digital.
Keberlanjutan politik digital intergenerasi di Indonesia akan ditentukan oleh kemampuan kekuasaan dalam merespons tuntutan substantif di balik simbol dan meme yang viral. Politisi yang hanya terampil mengapropriasi budaya populer tanpa diikuti kebijakan konkret menjawab persoalan pokok hanya akan menuai bentuk protes digital yang semakin kreatif dan masif.
Generasi milenial dan Z, sebagai mayoritas pemilih dan kelas menengah, telah menunjukkan kecanggihan mereka dalam memanfaatkan ruang digital. Itu tidak hanya untuk hiburan atau kampanye elektoral, tetapi juga untuk artikulasi kritis dan mobilisasi sosial-politik.
Masa depan politik Indonesia akan sangat dinamis, bahkan mungkin turbulen, jika jurang antara performa politik elite dan realitas ekonomi-sosial yang suram terus melebar. Politik apropriasi simbol populer tanpa disertai pemenuhan janji substansial berpotensi mempercepat siklus dukungan menjadi kekecewaan dan perlawanan. Medium digital sebagai panggung utamanya.
Berbeda dengan pendekatan saat kampanye Pilpres 2024, berkibarnya bendera One Piece yang banyak diunggah di media sosial kini malah dibarengi dengan narasi “makar” oleh elite politik. Ketangguhan rezim saat ini diuji untuk menjawab jeritan ekonomi yang diwakili oleh bendera mugiwara di jalanan dan lini masa. [*]