• Esai
  • Bendera One Piece dan Penyelamatan Makna Kemerdekaan
Esai

Bendera One Piece dan Penyelamatan Makna Kemerdekaan

Selama negara abai pada luka rakyat, simbol-simbol alternatif akan terus muncul sebagai penjaga gawang cita-cita kemerdekaan.

Bendera One Piece dan Penyelamatan Makna Kemerdekaan
Bendera One Piece dan Penyelamatan Makna Kemerdekaan - Ubaidillah. (Ilustrasi dikolase oleh ProPublika.id)

Gerakan anak muda Indonesia mengibarkan bendera One Piece sebagai pengganti atau pendamping Merah Putih dalam aksi protes bukan sekadar lelucon internet. Tindakan simbolis ini, di mana bendera nasional dianggap “terlalu suci” untuk negara yang “kotor” oleh korupsi dan ketimpangan, dapat dipahami melalui lensa ekonomi afektif Sara Ahmed.

Teori Ahmed membantu kita melihat bagaimana emosi, seperti cinta, kemarahan, dan kekecewaan, bersirkulasi, menciptakan solidaritas, dan membentuk batas-batas politik. Ahmed menekankan bahwa emosi bersirkulasi antar tubuh dan tanda menyatukan atau memisahkan kelompok.

Emosi tidak semata-mata milik individu. Politisasi meme dalam gerakan protes maupun kampanye menjadi bukti ekonomi perhatian atau pertukaran emosi orang-orang terhadap bentuk visual yang merepresentasikan diri mereka.

Bendera Merah Putih, dalam narasi resmi, adalah simbol sakral yang memobilisasi “cinta bangsa”. Namun, ketika negara gagal memenuhi janji kemakmuran dan keadilan, simbol ini justru menjadi sumber ketegangan afektif. Kekecewaan terhadap korupsi, ketimpangan, dan ketidakadilan tidak lagi cocok dengan kesucian bendera yang diidealkan.

Gerakan pengibaran bendera One Piece ini memisahkan diri dari ekonomi afektif nasionalis dominan yang dianggap hipokrit. Bendera nasional, yang seharusnya merekatkan, justru dianggap dibajak untuk akumulasi kekuatan, kesejahteraan, dan kekuasaan secara curang. Protes menggunakan bendera One Piece ini tidak lagi sekadar beredar di laman media sosial.

Bendera tersebut hadir di jalanan depan Kantor Bupati Pati pada demonstrasi besar-besaran di sana pada 13 Agustus  2025 lalu. Protes serupa  kemudian menyebar ke Cirebon, Semarang, dan Bone.

Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan di daerah-daerah ini adalah pemicu material yang mengkristalkan ketidakadilan struktural. Kebijakan ini dirasakan sebagai pengkhianatan terhadap warga yang sudah terbebani.

Pengaktivasi emosi

Dalam teori Ahmed, kebijakan pajak yang dianggap sewenang-wenang ini menjadi signifier (penanda). Ia mengaktivasi emosi kekecewaan, kemarahan, dan rasa dikhianati sebagai emosi yang bersirkulasi antartubuh para warga dan melekat (stick) pada simbol-simbol negara.

Kehadiran Bendera One Piece di Pati membuat perhatian trans lokal kepada protes tersebut. Sebab, demonstran menggunakan elemen simbolis yang terhubung secara digital.

Protes terhadap kenaikan PBB di Pati, akhirnya menjadi perhatian nasional, meskipun protes serupa pernah dilakukan oleh masyarakat Singkawang pada Oktober 2024. Protes di Singkawang gagal menjadi perhatian nasional.

Fenomena pengibaran bendera One Piece dan protes kenaikan PBB di Pati, Cirebon, Bone, dan Semarang pada bulan Agustus yang merupakan momentum puncak sakralitas nasional adalah dentuman ekonomi afektif yang membongkar krisis relasi negara-rakyat.

Melalui lensa Sara Ahmed, aksi ini dapat dilihat sebagai sirkulasi tandingan terhadap kegagalan memenuhi janji kemerdekaan. Bendera Merah Putih menjadi simbol hipokrisi di mata warga yang terhimpit kebijakan pajak.

Kehadiran bendera bajak laut Luffy dan tim ini adalah siasat untuk memutus sirkulasi afektif nasionalis yang dipaksakan. Ini sekaligus membangun koherensi perlawanan melalui simbol populer dan dapat diterima secara hukum.

Ironi Agustus mengkristal dalam paradoks di saat negara memobilisasi emosi “cinta tanah air” melalui upacara dan bendera sakral. Rakyat menjawab dengan mengibarkan alegori bajak laut untuk menyelamatkan makna kemerdekaan Proklamasi 1945 dari cengkeraman ketidakadilan.

Pada akhirnya, kibaran bendera bajak laut di bulan kemerdekaan adalah pertanda bahwa selama negara abai pada luka rakyat, simbol-simbol alternatif akan terus muncul sebagai penjaga gawang cita-cita kemerdekaan.

 


 

Baca esai Ubaidillah lainnya.

Picture of Ubaidillah
Ubaidillah
Koordinator Tim Riset Keterlibatan Politik Digital Generasi Z, Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN. Tengah menekuni kajian bahasa dan politik digital.
Bagikan
Berikan Komentar