BALIKPAPAN – Setiap pagi di gang kecil Jalan Telagasari III, aroma adonan tepung yang digoreng renyah menyapa udara. Di balik kepulan minyak panas itu, sepasang tangan tua sibuk mengaduk, memotong, dan meniriskan kerupuk berbentuk bundar—kerupuk koin, camilan yang kini jadi ikon kuliner Balikpapan.
Dialah Mukadi (60), perantau asal Blitar yang datang ke Balikpapan lebih dari tiga dekade lalu. Dari dapur sederhana dan semangat pantang menyerah, ia melahirkan camilan gurih yang kini akrab di warung-warung nasi kuning hingga rumah makan besar di kota ini.
Perjalanan Mukadi membangun usahanya dimulai pada 1995, bermodal keberanian dan pengalaman bekerja di industri kerupuk milik orang lain. Ia memulai segalanya dari nol—membuat adonan, menggoreng, hingga menjual hasil produksinya sendiri di pasar. “Dulu, saya yang bikin, saya yang goreng, saya juga yang jual ke pasar,” kenangnya di rumah produksinya.
Sebelum dikenal sebagai pelopor kerupuk koin, Mukadi sudah lebih dulu menapaki kerasnya kehidupan perantau. Ia tiba di Balikpapan pada 1983, bekerja serabutan di proyek kayu, lalu bergabung dengan seorang pengusaha kerupuk pada 1987. Dua tahun bekerja, ia merasa cukup belajar dan mantap membuka usaha sendiri.
Dari pengamatannya terhadap bentuk kerupuk yang umumnya kotak dan memakan waktu lama, Mukadi mendapatkan inspirasi. Ia mengubah bentuknya menjadi bulat menyerupai koin—lebih efisien, mudah dibuat, dan hasilnya seragam. “Bentuk koin lebih gampang dan hasilnya juga lebih seragam. Dari situlah orang mulai mengenal kerupuk koin,” ujarnya.
Pada awalnya, keuntungan yang ia bawa pulang tidak seberapa. Setiap hari, Mukadi menjajakan kerupuknya dengan sepeda ontel, berkeliling ke pasar Pandansari dan Kampung Baru. Sekali jual, ia hanya membawa pulang Rp5.000–Rp6.000. “Kalau dulu, orang mungkin gengsi jualan kerupuk. Tapi saya jalanin saja, sedikit-sedikit produksinya ditambah,” katanya.
Menariknya, hingga kini Mukadi masih mempertahankan cara lama dalam memasarkan produknya. Ia tidak mengandalkan media sosial, hanya berpegang pada jaringan pelanggan dan reputasi yang sudah dibangun selama puluhan tahun.
Usahanya berkembang pesat di masa jayanya. Mukadi mampu memproduksi hingga 2 kuintal kerupuk per hari, dibantu 12–13 karyawan yang berbagi tugas mulai dari membuat adonan, memotong, menggoreng, hingga membungkus. Pasarnya meluas, tidak hanya di Balikpapan, tapi juga ke Penajam dan kota sekitar. “Waktu itu cuma ada tiga pengusaha kerupuk koin di Balikpapan, jadi pasarnya aman,” tuturnya.
Namun, seiring waktu, persaingan makin ramai. Jumlah pelaku usaha bertambah, sementara permintaan menurun. Kini, Mukadi hanya memproduksi sekitar 80 kilogram kerupuk koin per hari. Meski begitu, ia tak mau menurunkan standar. “Biarpun harga bahan naik, komposisi bumbu nggak pernah saya kurangi. Kualitas nomor satu,” tegasnya.
Bertahan selama tiga dekade di tengah perubahan zaman tentu bukan hal mudah. Harga bahan baku yang terus melambung, persaingan yang semakin ketat, dan minimnya dukungan modal menjadi tantangan tersendiri. Namun, Mukadi tak patah semangat. Ia memilih menyesuaikan diri dan berhitung cermat soal ongkos produksi agar pelanggan tetap bisa menikmati kerupuk koin dengan harga terjangkau. “Kalau minyak naik, ya kita berhitung dulu. Nggak bisa asal produksi. Tapi alhamdulillah, sampai sekarang masih bisa bertahan,” katanya.
Kini, ketika usianya menginjak enam puluh tahun, Mukadi belum tahu apakah anak-anaknya akan meneruskan jejaknya. “Kalau mau ya silakan, tapi belum ada tanda-tanda,” ujarnya sambil tersenyum tipis.
Apa pun yang terjadi nanti, ia tetap bangga telah menjadi bagian dari identitas kuliner Balikpapan. “Kerupuk koin ini sudah jadi ciri khas kota. Hampir semua warung makan ada. Bagi saya, itu sudah kebanggaan tersendiri,” ucapnya mantap.
Baca juga :