• Sastra
  • Arsip Pram: Hidup dan Kerdja Sasterawan Indonesia Modern (2)
Sastra

Arsip Pram: Hidup dan Kerdja Sasterawan Indonesia Modern (2)

Pidato Pramoedya Ananta Toer di Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 5 Desember 1954. Arsip untuk mengenang 100 tahun Pramoedya.

100 tahun pramoedya ananta toer, seabad pram
Ilustrasi untuk tulisan Pramoedya Ananta Toer: Hidup dan Kerdja Sasterawan Indonesia Modern (2).
Catatan Redaksi: 6 Februari 2025 merupakan 100 tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer, sastrawan terkemuka yang Indonesia miliki. Redaksi menerbitkan arsip tulisan ini untuk mengenang pemikiran dan kiprah Pram sekaligus untuk tujuan pendidikan bagi khalayak. 

Arsip ini kami tulis ulang sesuai ejaan dan salah ketik yang ada di dalamnya. 

Jika ada pihak yang keberatan terhadap penerbitan arsip ini, kami bersedia berdialog dan siap menurunkan arsip ini jika diperlukan. Sila hubungi redaksi di: propublika.id@gmail.com. 

Tulisan ini kami bagi menjadi tiga bagian. Ini adalah bagian kedua. Lihat seluruh bagian di sini: Mengenang 100 tahun Pramoedya Ananta Toer!

***

BARANGKALI tuan akan bertanja apa sebenarnja alat2 seorang pengarang. Berbeda dengan pekerdja2 lain, maka alat2 pengarang adalah satu, tunggal, jakni pikiran dan perasaannja, suatu kesatuan jang berwadjah dua. Pada suatu waktu mungkin benar alat ini dipergunakan untuk pekerdjaan lain jang tidak produktif, misalnja diganggu oleh keadaan perut, keadaan kantong ataupun keadaan rumahtangga jang berantakan. Dengan sendirinja alat jang hanja satu ini taidak bisa dipergunakan untuk pekerdjaan lain, dan dalam hal ini untuk mentjiptakan hasilsastera. Paksaan jang dilakukan dengan sendirinja mendangkalkan hasiltulisan jang dilahirkannja. Memang tidak begitu salah pendapat umum, bahwa seorang pengarang lebih menjukai tempat jang sunji terutama dimana keindahan alam terhampar dengan damainja. Pada hakikatnja pendapat umum ini tidaklah menjinggung kebenarannja jang chas. Bukan kesunjian dan keindahan alam itulah jang ditjitakan oleh seorang pengarang, tetapi kedamaian hati. Kadang2 sadja seorang pengarang dapat menghargai kesunjian dan keindahan alam, apabila hal2 itu bisa menjebabkan datangnja kedamaian bagi hatinja. Dan pada dasarnja seorang pengarang hidup melalui rangkaian konflik dan kemualan, disamping pesonaan dan pemudjaan. Apabila segala itu tidak menguasai dirinja lagi, tetapi sebaliknja telah dikuasainja, jakni karena pengarang itu telah mampu memiliki kedamaian djiwa, sehingga semuanja itu telah berada diluar dirinja, tidaklah akan sulit baginja untuk melahirkan tulisan jang baik. Dan djustru disini sebenarnja letak kedjenisan seorang jang pada lahirnja hidup dalam kepapaan namun telah kuasa mentjiptakan tulisan gilang-gemilang jang memperkaja kesusasteraan dunia. Tuan dapat deretkan nama2 parapengarang sematjam itu sedjak Junani Antik hingga kini. Djelasnja tekanan sosial atau keuangan bukanlah alasan2 mutlak bagi turunnja nilai karangan seorang pengarang. Alasan2 lahir itu hanja variasi, hanja warna2 tertentu. Jang pokok ialah kedamaian djiwa jang terganggu, ia masih dikuasai oleh tenaga2 jang ada didalam dan diluar dirinja, dan bukan jang sebaliknja daripada itu, jakni: sipengaranglah jang menguasainja.

Sekarang djelaslah bagi tuan, bahwa alat seorang pengarang adalah tunggal. Ia dapat menghasilkan karangan jang baik, apabila alat itu tidak diambilkan untuk pekerdjaan jang lain. Berbeda halnja dengan seorang tukangkaju jang dapat memartil dengan tangan kanan, memegangi paku dengan tangan kiri, menekan kaju dengan kaki kanan, mendjaga keseimbangan badan dengan kaki kiri, pikirannja menghitung2 hutang jang ditanggungnja dan perasaannja merasakan salah sebuah diantara djarinja jang habis kena gergadji—maka pekerdjaan djasmani dan rohani sekian banjak dan dikerdjakan dengan sekaligus pula, tidak bisa diperbuat oleh seorang pengarang. Seorang pengarang hanja beralat satu, sedang jang dikerdjakan hanja satu pula: menggali segala kekajaan djiwanja jang menguntungkan bagi semua orang, dibentuknja dalam susunan bahasa jang sesuai dengan pilihannja.

Teranglah, bahwa tiap hasiltulisan seorang pengarang tidak lain daripada suatu hasilkerdja habis2an. Karangan seorang pengarang adalah pernjataan seluruh kekajaan dan kemampuannja sendiri. Dan teranglah pula pada tuan betapa sakit dan ketjewa hati seorang pengarang, bila tulisannja ini ditolak, tidak mendapat dukungan, tertjela karena keretakan jang tiada berarti, bahkan mungkin dikutuki demi tiadanja toleransi tjita. Mungkin semua itu terdjadi karena kesalahan sipengarang itu sendiri. Tapi sekalipun demikian, satu jang selalu orang lupakan, jakni: tiap pengarang paling mula digerakkan oleh maksud2 jang baik.

Hubungan antara pembatja dan pengarang kadang2 tiadalah begitu mesra. Bagi seorang pembatja, terutama jang tidak tahu ataupun tidak mau tahu tentang djerihpajah sipengarang dan hanja mau melihat apa jang dihasilkan pengarang, terlampau gampang untuk berlantjang mulut mengatakan: Ah, mengapa tiada hasiltulisan baru dari parapengarang kita. Tapi sementara itu seorang pengarang bekerdja mati2an—relatif sebagai pengarang, mungkin hanja mampu menjelesaikan dua alinea dalam sehari, mungkin hanja sebaris dengan amat susahpajah. Dan disamping itu mungkin orang jang, ber-teriak2 mengeluhkan kurangnja hasilkarangan baru, tidak pernah membatja kesusasteraan Indonesia samasekali. Biasanja orangpun menolak hanja didorong oleh kesombonganhati belaka. Dan tuanpun tahu bagaimana sulitnja bagi seorang pengarang melhat sumbangan2nja ditolak, kesulitan keuangan dan mungkin djuga kesulitan kedjiwaan. Tidaklah terlampau berlebihan bila dikatakan, bahwa hubungan antara masjarakat dan batjaan ini banjak melahirkan ketegangan2 kedjiwaan bagi seorang pengarang. Bila tidak, ternjata bahwa ketjintaan sipengarang ini pada pekerdjaannja tidaklah mendalam. Bagi parapengarang dari golongan terachir ini kesulitan kedjiwaan seperti kegelisahan, keterbanan kepertjajaan pada tenaga sendiri diwaktu terachir, rasa penasaran atas diri sendiri, tidak banjak dialaminja. Lagipula kalau diingat, bahwa akibat-akibat kesulitan kedjiwaan tersebut biasanja tiada dimaklumi oleh sipengarang sebelum sendiri mentjeburkan diri digelanggang kesusasteraan. Terutama bagi pengarang jang mana kehidupan dan penghidupannja tergantung pada hasiltulisannja, tolakan masjarakat atas hasiltulisannja dapat dikatakan dengan sendirinja membangkitkan krisis emosi. Tambah besar seorang pengarang menaruhkan seluruh kepertjajaanja pada hasil2 tulisannja, bertambah hebat krisis jang mengantjamnja. Banjak kali krisis ini diikuti oleh perbuatan2 fatal, misalnja utjapat selamattinggal pada kesusasteraan, baik setjara terang2an ataupun setjara diam2, menerbitkan karangan jang lebih banjak bersifat mengamuk dan menghantjurkan, atau mengambil lapangan lain jang tidak mempunjai sangkutpaut samasekali dengan kesusasteraan. Ada jang mengatakan, bahwa tindakan2 fatal ini tidak lain daripada pernjataan sipengarang telah melarikan diri dari medanperdjuangan jang dipilihnja sendiri, untuk menjelamatkan diri daripada krisis emosi, atau hendak menjelamatkan nama agar tak lebih dalam terdjatuh. Djuga dilapangan kesusasteraan ada terdapat pribadi2 jangkuat serta jang lemah. Dan bagi tuan sendiri, apabila merasa letih untuk berdjuang digelanggang ini, lebih baik pagi2 buta telah menarik diri. Gelanggang kesusasteraan adalah medanperang jang dahsat, dimana tiap tembakan jang dilepaskan tak pernah luput, mengenai atau dikenai.

Barangkali lukisan tersebut tidak terasa dahsatnja, kurang mejakinkan. Hanja golongan pengarang sendiri jang mengetahui lebih baik. Tidaklah amat mengherankan apabila dihampir tiap negeri, selain dinegeri2 komunis, dimana kesusasteraan diakui sebagai salahsatu kekuatan disamping politik dan ekonomi, dalam pemungutan padjak parapengarang digarap sebagai domba perahan. Honoraria jang diterima oleh seorang pengarang dianggap mereka sebagai redjeki-tanpa-susahpajah jang bisa dengan langsung dipetik dari pohon, atau djatuh dari langit.

Dan, tuan, bagi seorang beroepsschrijver Indonesia dimasa ini, mempertjajakan penghidupaņnja dari hasiltulisannja adalah menjerahkan diri pada kebinasaan. Sangkutpaut tentang hal ini sudah amat sering dikemukakan dalam karangan2 jang tersebar, namun pedjabat2 resmi tidak pernah mengertinja, barangkali pun tidak sempat membatja, atau djuga memang karena terlampau bodoh untuk mengerti. Bukan sadja tinggi padjak tetapi djuga karena dapat dikatakan sebagian besar dari penerbit jang ada di Indonesia ini tidak lain daripada avonturier. Buktinja ialah waktu anggaran belandja kementerian PPK disunat, kehidupan penerbitan mendjadi murung seperti lalat kehilangan sebelah sajap dan belalainja. Dilihatnja penerbitan buku2 sekolah melulu jang madju, dengan serempak buku sekolah jang djadi sasaran, dan tidak sedikit kaum guru jang meramaikan perang buku sekolah ini, dengan sendirinja paramurid sedikit atau banjak merupakan kekuatan2 jang tak boleh dilupakan. Buku2 kesusasteraan terdorong djauh kebelakang, karena tidak merupakan benda2 jang mesti dibeli. Buat perlengkapan perpustakaan rakjat dari djawatan pendidikan masjarakat, pemerintah hanja mengambil paling banjak 675 exemplar tiap matjam dari buku kesusasteraan jang baik, bahkan kadang2 ditolak samasekali. Puisi Dunia jang lahir atas djasa Taslim Ali dan Anas Ma’ruf pun ditolak, sekalipun barangkali sekarangan telah diambil oleh pemerintah, dan masih banjak lagi jang banjak bisa disebut, sekalipun tak perlu disebut karena mungkin mengakibatkan buntut jang tidak sedap. Gambaran pengambilan pemerintah jang tidak begitu elok ini tjukup mendjelaskan bagaimana posisi keuangan seorang pekerdja kesusasteraan. Dapat dikatakan masjarąkat sendiri tidak beli buku kesusasteraan. Ia lebih membutuhkan makan, pakaian, dan hiburan jang setjara langsung dan sekaligus dapat menjeka kegelisahan posisi sosialnja walaupun untuk waktu jang sangat sementara. Mungkin semua ini hanja bersifat sementara, jakni sementara masjarakat Indonesia kehilangan salahsatu dasarperhubungan jang vital, kehilangan kepertjajaannja pada nilai uang, pada pembagian martabat dan kelas jang selama ber-abad2 lamanjamenolong mempertahankan tatatertib, pada pendemokrasian kehidupan jang dilakukan dengan liar. Sementara itu golongan pengarang dalam kemarjetan penghasilannja terus mentjoba melahirkan tulisan baru: pikiran dan perasaannja ikut mendukung kesengsaraan seluruh umat manusia. Omongan besar! Suara besar! Tetapi hatiketjil tuan mungkin dengan diam2 mengakuinja, bahwa sesungguhnja golongan pengaranglah jang mendukung kesengsaraan tuan sendiri. Mengapa? Karena keinsafan seorang pengarang akan tugasnja selamanja disentakkan oleh kesengsaraan batin jang dideritakannja. Dan kesengsaraan seseorang tidak lain daripada kesengsaraan seluruh umat manusia—dengan isi jang sama, berkulitkan bentuk jang ber-lain2an. Barang siapa dapat dapat merasakan nikmat dan hikmat kesengsaraan, dia kenal akan intinja, dia kenal akan arahnja, dan tanpa ini takkan mungkin orang dapat merasai nikmat dan hikmat kebahagiaan, dia hidup dalam polos tanpa warna, tanpa isi.

Tambah lama pembitjaraan pokok ini, terasa usaha² mendapatkan kesan dari tuan, bahwa disini sebenarnja tampil kemuka seorang pengarang sebagai pembela dan penterdjemah dari golongannja. Sebenarnja bukanlah demikian, sekalipun mungkin bawahsadar saja mendjuruskan pembitjaraan ini kearah situ. Jang njata: amat sedikit dan kurang efektif tjara menanamkan kesusasteraan disekolah². Padahal dikurun masa jang katjaubalau ini murid²lah jang merupakan teras dari rasa susastera. Kesusasteraan diadjarkan terlampau djauh terlepas dari hubungan dan persoalan jang menjeluruh. Ia hanja matapeladjaran tersendiri jang dibatasi oleh interpretasi² ketjil dari sang guru masing². Akibatnja ialah, bahwa kesusasteraan tetap mendjadi anaktiri dari kekuatan² jang ada didalam masjarakat. Padahal pentingnja kesusasteraan baru nampak apabila ia ditempatkan dalam hubungan dengan keseluruhan segala. Salahsatu kekurangan dilapangan pengadjaran ini pun mendjadi sebab mengapa masjarakat atau orang sedikit sekali mengerti tentang persoalan pengarang, dan hanja kesusasteraannja djua jang djadi buah pertjakapan, bahkan itupun sering luput dari persoalan sewadjarnja. Terutama dimasa ini, dimasa kritikus-kritikus jang sesungguhnja banjak berdiam diri, nampak djelasnja gedjala² tak sehat betapa kesusasteraan hanja dipandang dan dikritik dari djurusan bentuk, dari diurusan selera perseorangan, dari djurusan tetekbengek, dengan melupakan fungsinja, jakni sebagai bapa dinamik bangsa; apa jang bisa dikerdjakan oleh kesusasteraan buat menįelamatkan bangsa manusïa dewasa ini, serta bangsa dalam batas² geografis atau antropologis ataupun politis pada chususnja. Dan tahukah tuan, bahwa penerimaan² salah dari masjarakat ini pada segolongan pengarang jang lebih menjebabkan golongan ini mendjadi putusasa, mereguk keketjewaan demi keketjewaan. Apa jang dapat disumbangkan oleh golongan ketjewa ini buat masjarakatnja tuan pastilah mengetahuinja benar². Sangkutpaut jang ruwet, pandjang, dan tidak sehat ini tidak akan menguntungkan pihak manapun djuga. Dengan ini bukan dimaksudkan agar masjarakat mengumpani golongan pengarang sekenjang mungkin, tetapi hendaknja dikembalikan moral kemasjarakatan pada tempatnja jang benar: biarlah banjak jang diterima oleh mereka jang banjak bekerdja, biarlah bernilai jang diterima oleh mereka jang menghasilkan kerdja bernilai pula. Moral kemasjarakat masih selalu dijanjikan oleh golongan pengarang, sekalipun kenjataan menundjukkan jang sebaliknja, jakni: bagi mereka jang litjin dan litjik sadja bagian jang bernilai dan banjak disediakan. Untuk meretas kesulitan² ini, jang sebenarnja tidak berfaedah apapun djuga dibutuhkan kerdjasama jang erat antara golongan pengarang, golongan kritisi, golongan penjelenggara, sekalipun disaat ini rasa²nja belum mungkin, dan disamping itu terasa perlunja diadakan kampanje besar²an untuk menanamkan pengertian kesusasteraan jang lebih baik didalam dunia pengertian masjarakat. Kritikus² musiman, jang didorong oleh motif gua hadjar lu, atau jang didorong oleh motif gua djangan dilupain jang didalam kritik²nja hanja bitjara tentang dirinja sendiri dan bukan tentang objek jang harus digarapnja, semua ini harus segera menginsafi kewadjibannja sebagai kritikus, atau kalau tidak mempunjai kemampuan harap segera meninggalkan pekerdjaanja jang tidak sehat ini. Pada suatu kali mungkin tuan mengundjungi rebuah restoran, tuan memesan satu porsi mi godog. Mungkin karena tuan memang tidak mempunjai selera makan, mungkin tuan sedang terpikat pada suatu objek jang kaja akan sex-appeal, mungkin djuga karena makanan itu memang tidak enak, maka tuan akan berseru sengit: kurangadjar! Tidak enak! Seruan ini aalah kritik. Dan dibalik dinding, parakoki mentjoba dengan seluruh kemampuannja untuk mentjiptakan rasa jang tjotjok—jakni harmoni antara bumbu dan segalanja sehingga mendjadi mi godog. Tuan bisa pertimbangkan betapa gampangnja seorang kritikus terpeleset pada pertimbanganan-pertimbangan jang tidak sehat, sedang seorang koki, seorang pekerdja jang dimilikinja. Melihat kenjataan iní tidak salahlah dugaan umum betapa kadang² golongan pengarang djemu dan bentji pada golongan kritikus, dan mengerti pulalah tuan lebih djelas lagi mengapa banjak tersiar berita kritikus di-maki² pengarang, atau dilapangan lain kritikus digarap oleh torero atau bokser. Mungkin tuan akan meradang dan menjatakan, bahwa keragamanan masjarakat modern dewasa ini sudah demikian pelik dan tiap² orang berhak menduduki lapangannja masing² dan bahkan wadjib bergerak dilapangan jang dipilihnja sendiri, dan orang tak perlu tjampurtangan baik setjara iseng maupun setjara amaturisme dilapangan jang samasekali tidak mendjadi daerah kejakinānnja. Benar sekali, tetapi dilapangan kesusasteraan, lapangan jang sangat rapuh ini orang tidak bisa berlaku sembarangan dan kasar. Sebab, sebagaimana kesusasteraan ini dilahir oleh perasaan halus manusia, iapun menghendaki diperlakukan setjara halus pula. Antara golongan pengarang dan golongan jang tidak dikaruniai perabaan susastera ada banjak perbedaan jang adjaib. Buktinja, tuan terima tjinta tanpa ingin tahu dari mana datangnja. Golongan pengarang dengan sadar atau tidak bekerdja mentjarikan alasan² kedjiwaan untuk tuan, agar tuan lebih sadar akan tjinta tuan, agar tuan miliki tjinta itu sebagai suatu keseluruhan, kulit bersama isi dan djiwa bersama nafasnja. Kesadaran inilah jang menjebabkan tuan bukan hanja tinggal sebagai hiasan pentjiptaan, hiasan sedjarah belaka, tetapi djustru pembentuknja sekaligus, djuga agar tuan sadar apa guna penderitaan serta kebahagiaan jang tuan tanggungkan bagi kebangunan djiwa tuan sendiri. Ini pulalah sebabnja mengapa saja tidak akan membantah, apabila salah seorang pudjangga mengatakan, bahwa kesusasteraan bekerdja dengan seluruh kemampuannja, dengan bahan, dengan tjara dan thema tersendiri, dengan djurusan dan djiwa jang tersendiri pula. Sembahjang untuk kesedjahteraan djiwa tuan². Dan bagi saja sendiri—sekalipun mungkin suatu hal jang patut dianggap lutju—pekerdjaan mengarang adalah suatu keibadahan.

Sintuhan jang bersifat menghantjurkan terhadap hasiltulisan amat terasa pedih dihati golongan pengarang. Dengan diam² pengarang ini menjesali kekurangannja sendiri dalam menuangkan tjita kedalam bentuk sastera jang tepat. Ia dengan diam² menangisi kelenaannja dalam menjugukan kemauan-baik dan kejakinannja. Memang, tuan, ada golongan pengarang jang hidupnja tiada lain daripada perangkaian njanjian atau pudjaan. Tetapi dalam hal ini lebih banjak dikemukakan golongan pengarang jang menjadari tempatnja didalam masjarakatnja—masjarakat jang masih hidup dan bergerak—jang menjadari fungsinja sebagai tenaga jang diharapkan tenaga-perbaikannja. Perbedaan golongan diantara  pengarang adalah paralel dengan perbedaan jang terdapat diberbagai lapangan, dan mungkin djuga disemua lapangan. Dan matjam karja jang telah diselesaikan dalam sesuatu kehidupan inilah jang menentukan matjam nilai apakah manusia itu didalam pergaulan besar ini.

Demikianlah serba |sedikit tentang kehidupan dan penghidupan seorang pengarang. Tentang modern atau tidaknja tak ada batas jang bisa menentukan, karena seperti telah dikatakan diatas, kemodernan terletak pada wudjud hasil karja jang telah ada dan kedua pada selera jang dominan didalam masjarakat pada waktu tertentu.

Tentang kerdja seorang pengarang, memang dalam banjak hal tertentu terdapat perbedaan besar daripada pekerdja biasa—buruh dok misalnja. Buruh ini bekerdja pada waktu² dan hari² tertentu. Pengarang tidak! Disaat tuan sedang mendengkur dirandjang dalam hangatan selimut atau benda² lainnja, jang bisa dipergunakan untuk itu, banjak kali seorang pengarang sedang menari-narikan djari diatas mesintulis, atau ia sedang gentajangan kemana sadja kaki membawanja, jang mana diharapkan dapat merumuskan alasan² rangsang perasaan atau pikiran jang sedang berketjamuk didalam djiwanja. Atau ia sedang mengulur angan mentjari sari² kedjadian, tempo atau irama dalam kehidupan. Banjak kala angan itu demikian djauh, berajun antara benda² jang ada untuk segera hilang—hilang dari ingatan, hilang dari angan itu sendiri—benda² jang hanja ada dalam sekedjap sadja dalam hidup manusia dan kemudian hilang lenjap tiada tertemui kembali. Benda² ini tidak bisa diraba bahkan kadang² djuga tidak oleh pikiran dan angan itu sendiri.

Kalau ada untung ia menjelinap kedalam bawah sadar untuk kemudian muntjul dengan tjerlang tjemerlang didalam suatu hasil tulisan tertentu. Tapi bila tidak ia merupakan arwah² jang tidak pernah dilahirkan. Barangkali pada suatu kali ia menitis kedalam angan seorang pengarang lain, barangkali harus menunggu seribu tahun untuk bisa terdjilma diatas kertas, atau—tidak buat selama-lamanja. Begitu banjak benda² itu dan berkilauan, berkedjapan dimasa seorang pengarang mengulur angan. Dalam keadaan demikian ia tidak bedanja dengan pemabok jang tidak menjadari adanja bumi. Seorang pengarang jang tjekatan barangkali mampu mentjatat segala jang, telah dapat dipungutnja dari alam angan ini. Benda² ini kemudian harus dirumuskan dengan kata² jang tepat, sehingga tiap orang dapat membuktikan adanja, dapat mempersaksikan kehadirannja baik dengan pikiran ataupun perasaan. Benar, bahwa pengarang² diwaktu achir² ini banjak jang mendjurus kearah intelektualisme, mengutamakan bimbingan pikiran agung kedalam hasiltulisannja dan bukan berkisar pada emosi dan harusn berlaka, tetapi tuanpun tahu, bahwa dalam dunia kesusasteraan menjakini masih tetap berharga daripada mengetahui. Ada terlampau banjak hal jang tidak terangkum oleh pikiran manusia seisi bumi, bahkan pikiran inipun tidak kuasa menterdjemahkan, dan hanja perasaan sadja dapat merabanja. Tidak djarang hanja kombinasi keadaan atau lukisan jang dilantunkan oleh perasaan dapat menterdjemahkannja dengan tepat, sedang pikiran tak mampu merumuskannja. Sementara itu buruh atau pegawai², bahkan mungkin tuan sendiri, sedak asjik memelihara hal atau barang jang sudah lama ada. golongan pekerdja lain mungkin hanja mengelap-elap atau menjemir kembali dikantor-kantor administrasi atau dibengkel-bengkel.

Perbedaan dasar pekerdjaan ini, jang mana jang segolongan hanja memelihara jang telah ada, dan golongan pengarang melahirkan dari tiada keada, inilah jang memberanikan saja mengatakan, bahwa kesusasteraan adalah bapa dinamik sesuatu bangsa manusia, baik dipandang setjara apapun djuga. Lahirnja bangsa² besar selamanja dimulai oleh kesusasteraannja. Kesusasteraan telah mendahului ber-tahun² berpuluh tahun sebelumnja. Tjita sosial, tjita pergaulan antara bangsa, pendeknja tjita pembentukan moral baru kemasjarakatan tidak mungkin lahir dengan mendadak dengan adanja revolusi ataupun perang kelahiran bangsa. Terlebih dahulu ia ditanamkan oleh pengarang dibumi kehidupan kemasjarakatan. Dan masjarakat inilah mendukungnja, jang memupuk dan memperdjuangkannja. Revolusi atau peperangan telah djauh terdahulu dimulai oleh sipengarang.

Barangkali tuan akan menuduh saja terlampau enthusias memperkenalkan pekerdjaan pengarang. Tapi, bila benar demikian, ini tiada lain daripada obrolan seorang jang terlampau mentjintai pekerdjaannja. Dan saja kira, semua pengarang akan sependapat dengan saja.

Alasan² tersebutlah, jang membangkitkan keheranan golongan pengarang, mengapa kesusasteraan dimasa merdeka ini terasa amat dianaktirikan. Mungkin ini disebabkan karena kurangnja pengenal sastera diantara kita, jang mengabarkan tuah-tuah jang terkandung didalamnja. Djangan tuan heran apabila dikatakan, bahwa djuga seorang pengarang beladjar dari hasil tulisannja sendiri!

Apabila pekerdja² dilain lapangan bergaul dengan bahan² pekerdjaan jang dapat diraba atau setidak-tidaknja dapat dibuktikan, maka pengarang bergaul dengan bahan² jang teramat halus dan tak djarang memang tak dapat atau susah untuk dibuktikan, apapula diraba. Ia hidup didalam pertentangan² besar antara tjita satu dengan lainnja, berbagai matjam tjita jang simpangsiur datang dari segala benua, pertentangan antara nafsu² rendah dan, kehendak untuk meningkat kearah kerohanian jang lebih tinggi, pendeknja segala matjam pertentangan jang sifatnja boleh dikatakan abstrak, sehingga keriuhan didalam djiwanja itu banjak kala menjebabkan ia lupa pada kenjataan² ketjil diselingkungan dirinja sendiri. Tidaklah begitu mengherankan apabila umum berpendapat, bahwa seorang pengarang tidak mungkin bisa berdagang, tidak mungkin mempunjai disiplin pegawai apabila ia bekerdja sebagai pegawai. Apabila tidak ada kekuatan² lain jang memaksa, barangkali pendapat umum terebut benar belaka. Tjontoh dari kekuatan lain ini misalnja tangis anak ketjil, dan anak ketjil itu adalah anaknja sendiri, dan anak itu sakit, ia lapar. Keadaan atau kekuatan sematjam itu memaksa sipengarang untuk menjadari kelilingnja, dan ia dipaksa berkompromi dengan kelilingnja. Tetapi ada pula golongan pengarang jang tidak mau berkompromi. Golongan ini jang biasa dinamai bohemien, ia enggan berbagi dengan siapapun djuga, nafsu menjatakan dirinja lebih kuat daripada kekuatan² kemasjarakatan diselingkungannja. Dan para pengarang dari golongan terachir ini dapat dikatakan selamanja tewas dimedan kemasjarakatan, dapat kehidupan pentjiptaan ia mungkin telah memberikan segala jang ia punja, mengajakan mereka jang menderita kemiskinan kedjiwaan, tetapi didalam kehidupan kemasjarakatan ia terpaksa mesti djadi pengemis, atau setidak-tidaknja berkekurangan.

***

Bagian terakhir tulisan ini bisa dibaca di sini: Pramoedya Ananta Toer, Hidup dan Kerdja Sasterawan Indonesia Modern (3) Arsip lain soal Pram bisa dibaca di sini: Pram.

 

Picture of Propublika.id
Propublika.id
Portal berita dan cerita rintisan yang didirikan di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur pada 2022. Sesuai namanya, kami berupaya menyajikan informasi relevan bagi publik. Selengkapnya lihat laman Tentang Kami.
Bagikan
Berikan Komentar