Presiden Prabowo Subianto mengganti Menteri Pendidikan Tinggi dan Sains Teknologi, Satryo Soemantri Brodjonegoro, pada Februari 2025. Pergantian itu disebut sebagai salah satu buntut demonstrasi Indonesia Gelap mahasiswa dan masyarakat sipil pada bulan yang sama.
Selain masalah internal kepegawaian di Kementerian Dikti Saintek, Satryo dinilai gagal mencegah demonstrasi. Pemberitaan menyebutkan bahwa Teddy Indrawijaya, Sekretaris Kabinet, menyampaikan kepada Menteri Satryo kesalahan fatalnya menimbulkan kegaduhan yang tidak disukai Prabowo.
Soal “kegaduhan” lain, laporan Tempo pun mengabarkan Prabowo marah atas kegaduhan yang berujung demo besar-besaran di Pati pada 13 Agustus lalu. Keputusan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta pernyataan Bupati Pati, Sudewo, dianggap arogan merespon protes warga.
Berbeda dengan masa awal kepresidenan Joko Widodo yang sempat menikmati bulan madu hingga Jokowi berseloroh ‘rindu didemo’, kepresidenan Prabowo tidak pernah sepi dari demonstrasi. Demonstrasi kelompok buruh yang menuntut perbaikan upah terjadi pada Oktober-November 2024.
Setelahnya, gegar digital menyeruak menanggapi kenaikan PPN pada awal tahun 2025. Unjuk rasa Indonesia Gelap menyoroti pelbagai isu legislasi dan program eksekutif pada Februari. Isu legislasi, terutama revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia, memuncak pada demonstrasi bulan Maret.
Bulan Mei tentu saja diisi oleh demonstrasi hari buruh. Ungkapan protes jalanan pun memenuhi jalanan Aceh pada Juni menyusul polemik Pulau Mangkir Ketek, Pulau Mangkir Gadang, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan dengan Provinsi Sumatera Utara.
Agustus sebagai bulan peringatan kemerdekaan justru meningkatkan frekuensi demonstrasi digital melalui bendera One Piece dan unjuk rasa tingkat lokal akibat isu kenaikan PBB yang bergulir di berbagai daerah setelah masyarakat Pati memberikan sikap tegas kepada Sudewo karena kebijakan dan pernyataannya.
Guliran keprihatinan terhadap kondisi ekonomi masyarakat itu mengonsolidasi rencana demonstrasi 25 Agustus di depan DPR. Tensi tinggi masyarakat akibat tekanan ekonomi itu terpantik oleh gambaran asimetris yang dipertontonkan Senayan dan Medan Merdeka.
Ada pesta dan tarian di kedua tempat itu. Sementara, keseharian masyarakat kebanyakan habis dikoyak guliran berita inflasi, korupsi, dan kenaikan pajak di tengah stagnasi pendapatan selama 10 tahun terakhir. Gambaran asimetris itu bergulir tiap detik di lini masa media sosial.
Rata-rata orang Indonesia menghabiskan waktu tiga jam 11 menit untuk bermedia sosial. Paparan berita kenaikan tunjangan para pejabat dapat menjadi garam yang menambah rasa perih luka. Ditambah lagi tanggapan pejabat publik seperti senada dengan Sudewo dalam merespon protes. Misalnya, tanggapan dari Eko Patrio, Sahroni, Deddy Sitorus, maupun Uya Kuya saat menanggapi protes tunjangan perumahan anggota DPR dan tarian anggota DPR.
Presiden Prabowo menyebut demonstrasi Indonesia Gelap didanai koruptor. Sosok misterius dalam wujud ‘antek asing’ kembali dipersalahkan, seperti yang disampaikan Prabowo pada pidato 22 Agustus lalu.
Bila pun benar demikian, entah koruptor maupun antek asing tersebut pasti memahami psikososial masyarakat. Rekayasa sosial bernilai manjur apabila memiliki faktor-faktor yang selaras dengan kondisi masyarakat yang dituju. Provokasi, ibarat percik api, yang hanya mampu menghasilkan kebakaran bila diarahkan kepada tumpukan kayu kering yang berlumur Pertamax oplosan.
Ada 104 daerah yang menaikkan PBB sama seperti Pati di tengah rencana Sri Mulyani menetapkan pajak di pelbagai sektor untuk mengejar target penerimaan pajak 2026 yang mencapai Rp. 2.357,4 triliun atau naik sebesar 13,5 persen dari tahun sebelumnya.
Kemarahan warga Pati kepada Sudewo atas keputusan dan pernyataannya dapat dilihat bukan fenomena yang terisolasi dari dinamika makro atau nasional. Kepenatan terhadap kabar kenaikan pajak hingga semakin sering dan meningkatnya kasus korupsi dapat menjadi dinamika makro yang terdistribusi melalui gawai masing-masing orang. Media sosial atau internet menjadi penghubung tingkat meso yang memediasi dinamika nasional dengan emosi sosial di tingkat individu.
Krisis kepercayaan yang mengemuka di era Presiden Prabowo bukanlah bara yang muncul tiba-tiba. Krisis itu merupakan akumulasi dari persepsi publik yang terus digosok oleh gambaran asimetris antara elit dan rakyat di lini masa.
Setiap unggahan pesta, tarian, atau tunjangan mewah para pejabat yang bertabrakan dengan berita inflasi, korupsi, dan kenaikan pajak telah menjadi percik api di tengah kesusahan rakyat. Media sosial mempercepat dan mempertajam persepsi ketidakadilan ini.
Baca esai Ubaidillah lain.
