• Esai
  • Politik Digital Anak Muda: Tanggung Jawab Politik Prabowo dan Gibran
Esai

Politik Digital Anak Muda: Tanggung Jawab Politik Prabowo dan Gibran

Prabowo-Gibran mesti bersiap menghadapi dinamika politik digital anak muda yang akan semakin dinamis memengaruhi politik Indonesia.

Orang-orang berbagi konten di internet. Ilustrasi untuk tulisan "Politik Digital Anak Muda: Tanggung Jawab Politik Prabowo dan Gibran"Designed by katemangostar / Freepik

Suatu kali beberapa tahun lalu, saya menjumpai lampu penerangan jembatan penyeberangan di sekitar Pasar Pramuka, Jakarta Pusat, hampir jatuh dengan kabel terjuntai. Tentu hal demikian membahayakan karena bisa menimpa siapa pun yang kebetulan melintas di bawahnya. Saya memfoto dan mengunggahnya di media sosial X sembari menautkan akun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Tak lama kemudian, akun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membalas dengan memberikan nomor aduan dari apa yang saya laporkan. Berselang dua hari, saya kembali melewati jembatan yang sama, lampu penyeberangan itu sudah diperbaiki. Akun tersebut kembali membalas  cuitan saya untuk menginfokan bahwa aduan saya telah diselesaikan.

Media sosial terbukti dapat memediasi hubungan dialogis antara warga dengan pemerintah. Pengawasan dan pengaduan warga dapat menjadi informasi awal untuk melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan publik.

Perbincangan akademik mengenai peran internet di dunia memang awalnya diwarnai optimisme peningkatan partisipasi warga negara dan transparansi penyelenggaran negara. Kemudian, negara mengadaptasi internet untuk kembali mengukuhkan monopolinya sampai ke kehidupan digital. Berbagai regulasi digital diterbitkan untuk memberikan ketertiban dan keamanan, yang sayangnya kadang berimplikasi menimbulkan ketakutan dan sensor diri yang amat kuat karena menghindari aktivitas digital justru berbuah masalah hukum.

Konfigurasi penggunaan internet dalam bingkai bernegara sebenarnya sama-sama dijadikan sarana, baik bagi pemerintah maupun warganya, untuk saling mengawasi. Fenomena gerbang Kendari sampai soal pesawat jet pribadi anak presiden sama-sama berawal dari penyelidikan suka rela warga negara terhadap kejanggalan.

Kita juga bisa mengingat aduan via unggahan Instagram soal mandi lumpur jalanan rusak di Lampung. Namun, ketiga fenomena itu tidak diadministrasi secara formal oleh pihak yang berwenang. Kekuatan ketiga fenomena tersebut hanya mengandalkan viralitas, berbeda dengan laporan yang pernah saya lakukan mengenai jembatan penyeberangan.

Internet masih setengah hati diadaptasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan pengaduan publik. Administrasi berlebihan justru masih ditemukan dalam pengaduan publik, yang sayangnya justru berkebalikan dengan kredo penggunaan teknologi dalam kehidupan manusia yang membuat aduan lebih murah, lebih mudah, dan lebih cepat.

Pemerintah memang perlu menerapkan prinsip kehati-hatian dalam merespon pengaduan publik, terutama mengenai validitas bukti yang disampaikan, agar tidak kontra-produktif dan menjadi sarana memfitnah. Oleh karena itu, menemukan titik keseimbangan antara mewadahi partisipasi publik melalui teknologi dan menjaga prinsip akuntabilitas aduan menjadi tugas penting.

Pembebanan administrasi berlebihan dalam pengaduan publik atau pengabaian terhadapnya justru hanya akan menebalkan resistensi masyarakat yang akan mendelegitimasi prinsip transparansi dalam penyelenggaraan negara. Satire bahkan olok-olok yang beredar di media sosial dapat pula dilihat sebagai buah dari rasa frustasi masyarakat.

Sebab, aspirasi dan pengaduan mereka bukan saja tidak direspon, tetapi bahkan kadang menghasilkan intimidasi, seperti doxing yang menimpa demonstran di gedung DPR Agustus lalu. Padahal hubungan dialektik antara negara dan warganya dalam pengaduan digital berkontribusi positif bagi pemberantasan korupsi di Indonesia.

Pengaduan digital ini membuat pengawasan penyelenggaraan negara tidak hanya dilakukan oleh penegak hukum. Masyarakat terlibat aktif di dalamnya, terlebih kesadaran akan pajak yang ditarik negara dari berbagai aktivitas ekonomi semakin menguat. Masyarakat, terutama anak mudanya, semakin memiliki sense of belonging terhadap pembangunan dan pelayanan publik. Pengawasan partisipatif ini efektif meningkatkan efek panoptikon dalam psikologi penyelenggara negara dan aparaturnya untuk menjunjung akuntabilitas dan transparansi.

Fenomena lapor netizen atau no viral no justice menunjukkan ada ketidakpercayaan serius jalannya pemerintahan terhadap keresahan publik akan hak-hak konstitusional mereka mendapat peningkatan kesejahteraan, rasa aman, dan kepastian hukum. Mereka berkerumunan di media sosial untuk membangun resistensi berjejaring (networked resistance) karena memberikan daya dorong untuk aduan yang dilakukan sembari meningkatkan rasa aman dalam solidaritas kewargaan.

Ilustrasi: Politik Digital Anak Muda: Tanggung Jawab Politik Prabowo dan Gibran.

Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden terpilih mesti bersiap menghadapi dinamika politik digital yang akan semakin dinamis memengaruhi politik Indonesia. Pasangan pemimpin terpilih ini perlu menyiapkan strategi penanganan aduan digital dari publik.

Demografi pemilih Pemilu 2024 lalu didominasi oleh generasi muda, baik milenial maupun Z. Fenomena mandi lumpur di Lampung menunjukkan kreativitas anak muda menyampaikan kritik akan berbeda dari era-era sebelumnya. Apalagi dari pencalonan Gibran, narasi memberi kesempatan anak muda untuk memimpin banyak diartikulasikan.

Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab moral dan politik bagi Prabowo-Gibran untuk mengadaptasikan pemerintahan, paling tidak dalam penyerapan aspirasi dan aduan, dengan anak muda yang lekat dengan kehidupan digital.

Internet akhirnya berkembang menjadi kelanjutan proyek membangun ingatan sempurna yang dapat dilakukan oleh mesin (Mayer-Schönberger, 2009). Anak-anak muda ini setiap hari berselancar dari ingatan satu ke ingatan lain di internet. Mereka dapat dengan mudah memanggil ingatan yang pernah mereka jumpai itu.

Oleh karena itu, dalam politik digital, anak-anak muda dapat menuntut janji-janji kampanye atau aturan yang ada menggunakan jejak digital. Secara politik, mereka memiliki dasar yang kuat untuk mengajukan tuntutan realisasi, sama seperti cuitan akun X Direktorat Jenderal Bea Cukai mengenai pemberlakuan aturan kepabeanan berlaku bagi semua penumpang yang tiba di Indonesia, baik WNI maupun WNA, yang ditagihkan kembali ke mereka.

Indonesia sebenarnya telah memiliki Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4N) – Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat (LAPOR!) sejak 2013 yang dapat diakses melalui berbagai kanal, seperti situs www.lapor.go.id, layanan SMS, akun X, maupun aplikasi. Inovasi pengaduan daring pun dikembangkan di daerah, seperti Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat yang membangun NTB Care sejak 2022 lalu.

Sistem-sistem ini bisa menjadi bekal untuk dikembangkan menjadi dasar strategi penanganan aduan digital yang lebih dinamis dan memberi kepastian penanganan sembari mengurangi beban administrasi pelaporan. Strategi penanganan aduan digital akan meningkatkan relasi dialogis negara dan warganya serta mengurangi ekses, seperti disinformasi, doxing, atau ujaran kebencian yang berada di sekitar protes digital karena negara menyediakan kanal deliberatif yang dapat dipercaya. []

***

Baca juga:

Ubaidillah
Ubaidillah
Koordinator Tim Riset Keterlibatan Politik Digital Generasi Z, Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN. Tengah menekuni kajian bahasa dan politik digital.
Bagikan
Berikan Komentar