Sastra

 … – – – …*

Sebuah cerpen Sasti Gotama, salah satu penulis fiksi yang dimiliki Indonesia. Selamat membaca, teman-teman!

Cerpen Sasti Gotama.
Ilustrasi Cerpen Sasti Gotama. (Propublika.id)

KULIHAT DASAR laut ungu kental. Burung layang-layang berenang, menyisip di antara terumbu karang. Sekumpulan janin kukang meringkuk di antara tentakel koral. Suara dengung terompet kerang. Dan aku di sana hanya sebagai penyaksi. Damai, tapi bisa kurasakan isyarat akan terjadi badai. Lantas kail keemasan menyambarku dan aku terangkat ke permukaan. Kulihat cahaya terang benderang: lampu kamar 23 Watt, menggantung gelisah di langit-langit.

Delusi sialan! umpatku sambil memiringkan tubuh. Kulihat di atas meja kecil, keranjang rotan berisi mangga dan jambu lengkap dengan pisau buahnya serta segelas susu yang sudah berbuih, bersisian dengan ponsel yang terhubung pengisi daya. Aroma susu itu membuatku ingin muntah. Puluhan semut hitam mengambang di permukaan: mereka semua mati. Tapi aku hidup. Hidup! Mengapa aku tetap hidup? Dasar pil-pil merah muda tak berguna! Setelah ini aku harus mencoret cara nomor tujuh dari buku tutorial yang kusimpan di balik bantal.

Jam berapa ini? Tanganku menggapai-gapai ke meja sebelah untuk meraih ponsel, tetapi malah menyenggol gelas susu hingga jatuh, pecah, berceceran di lantai. Kuabaikan susu itu dan kuraih ponselku. Angka 03.03 tertera di layar. Itu berarti hari ini adalah dua hari setelah aku lelap-melelapkan diri. Itu berarti sudah tiga hari aku tak berbicara dengan manusia mana pun yang bernapas.

Kulihat kotak perpesanan. Hanya ada satu pesan. Dari Mama.

Minggu depan Lisa, sepupumu yang spesialis anastesi itu, menikah. Calon suaminya spesi

Pesan itu terpenggal dengan bulatan berisi angka satu. Untuk membaca penuh, aku harus menekan pesan itu, tetapi aku tak mau. Tepatnya, belum ingin.  Kugulirkan perpesanan ke bawah, menuju pada satu nama: Beliau. Aku ingin mengirim pesan kepada Beliau, menangis di dadanya yang cokelat itu, dan menceritakan bahwa aku bertemu burung layang-layang, kukang, dan koral yang ganjil.

Aku mengetik. Panjang sekali, hampir-hampir seperti prosa. Namun, mendadak jemariku terhenti. Jeda. Lalu kuhapus semua, mengetik, lantas kuhapus lagi. Karena, tentu saja aku ingat, selalu ingat, bahwa pada pukul tiga pagi aku tak bisa, tepatnya tidak diperbolehkan, mengirim walau satu huruf saja kepada Beliau. Sebab, kata Beliau, bisa jadi Beliau sedang mengiris uterus seseorang atau mengeluarkan hasil persetubuhan yang menangis menjerit-jerit mendamba udara. Karena itu, kulempar ponselku ke meja, lantas berbaring, menatap nyamuk yang berdenging.

Aku teringat buku tutorial yang ditulis Baka Aho itu. Kutarik buku itu dari balik bantal: lecek dan terlipat di beberapa bagian. Kubuka lembarannya. Nomor 7 jelas gagal total. Aku belum mati. Tampaknya cara nomor 9 menjanjikan. Di halaman 73, Nyonya D, berusia 33, menyampaikan testimoni cara ini: nuansa trans yang legit. Ia tersesat ke sebuah pesta, menari dan menjadi gasing yang berputar usai kesadarannya terbang. Ia sebutkan kakinya ngilu seolah berdansa di atas padang jarum. Namun, damai dan tenang bertunasan dalam dirinya hingga ia merasa menjadi satu-satunya orang yang teramnesti dari kiamat dunia. Angin musim semi berembus. Hangat. Alunan rebana mendeburi membran timpani. Merdu. Lalu, padang jarum itu menjelma bulu-bulu angsa halus. Segala macam cahaya warna-warni berkilau, memanjangkan bayangan tangan, kaki, kepala. Seharusnya Nyonya D akan berhasil melewati pintu itu jika suhu rektalnya anjlok di bawah 35 derajat setelah memajankan tubuh telanjangnya pada titik beku. Sayang sekali, Nyonya D gagal dan karena itu bisa membagikan testimoni.

Kucoret nomor 9.  Jika Nyonya D, yang tinggal di subtropis, gagal, apalagi aku, yang jelas-jelas tak bisa menemui musim bersalju. Kusisipkan buku itu kembali ke balik bantal dan kembali memandangi kipas angin yang berpusing-pusing di langit-langit.

Entah berapa lama aku bengong seperti itu ketika akhirnya kudengar pintu kamarku diketuk dari luar.

“Mbak Nina, ada londri?”

Dengan malas, aku bangkit dan menyibak selimut. Tubuhku pegal sekali seperti habis digebuki orang satu bangsal.

“Besok saja, Ning. Masih sedikit ini.”

Kujawab dengan suara yang diriang-riangkan macam kerasukan arwah komedian yang mampus di atas panggung. Kudengar suara sandal diseret menjauh. Kusandarkan punggung, menggeliat sedikit, lantas membuka ponsel. Pesan dari Mama masih bertengger di nomor satu. Hanya saja lingkaran di sebelah kanan berisi angka tiga, pertanda ada pesan tambahan. Kubuka pesan itu, membacanya, lantas menelepon.

Iya, Nin akan pulang Minggu besok. Pesta pernikahannya minggu depan, ‘kan?”

“Hahaha, iya, Ma. Maaf, Nin kerja kelompok bikin tugas dan ponsel ketinggalan di kos.” Kuakhiri dengan tawa dan kuharap terdengar meyakinkan.

“Iya, ini juga mau berangkat. Ada praktik jaga di Poli Anastesi.”

“Ya, Nin janji. Tahun depan mungkin sudah bisa Sumpah Dokter.” Dusta itu terasa mencair di ludahku.

Telepon kuakhiri. Kutatap layar itu dengan muram. Tak ada pesan baru. Tidak ada pesan belum terbaca. Tidak ada panggilan tak terjawab. Padahal sudah sejak dua malam lalu, sebelum aku menelan pil-pil merah muda itu, aku telah mengunggah status WA yang hanya bisa dilihat Beliau: warna hitam, hanya hitam pekat, yang kuharap Beliau mengerti sebagai kode Morse tiga titik tiga garis panjang tiga titik: SOS. Apakah Beliau tak melihat statusku? Kugulirkan perpesanan ke bawah, ke nomor Beliau. Tidak ada pesan. Hanya ada artefak pesan bertuliskan: pesan ini telah dihapus, pertanda pesan-pesan itu telah dihilangkan oleh Beliau yang sebelumnya berisi kata “rindu” dan “kangen” dan “sayang”. Sebuah ritual patologis dan melankolis yang dilakukan Beliau terhadap pesan-pesan kami dengan alasan agar tak menghabiskan memori.

Kulirik ponsel. Pukul tujuh. Tampaknya aku telah bengong selama 60 menit tanpa berbuat apa pun yang berguna. Padahal pukul tujuh seharusnya aku sudah ada di poli, atau jika tidak, akan dihajar hukuman kondite. Sekarang pun, jika berangkat, aku akan diomeli “Mereka”. Aku tak ingin menyebut nama orang-orang itu dan cukup menyebutnya Mereka: residen-residen sok kuasa yang menganggap koas tak lebih mulia dari keset bertuliskan “Welcome”.

Aku menatap langit-langit. Lampu belum kumatikan, padahal di luar telah binar dan cahaya mulai memendekkan bayangan meja kamar. Tiga puluh menit lalu mulai kurasakan kalau kandung kemihku penuh. Walau ada kamar mandi dalam, aku enggan bangkit untuk kencing. Tetapi sekarang kantung itu terasa ingin meledak, sehingga kuputuskan pipis di ranjang saja sambil tetap berbaring. Kurasakan air hangat mengalir di sela pahaku. Baunya super pesing.

Kudengar denting dari ponsel. Berulang-ulang. Mungkin Beliau. Walau air kencingku masih mengalir, kugulingkan badanku ke kiri. Kubuka ponsel. Bukan dari Beliau. Dari Shiro—bukan nama sebenarnya. Kupanggil seperti itu karena kulitnya begitu putih seperti anjing milik Sinchan.

Kau dicari Dokter Gal dan Dokter Sing. Katanya disuruh menghadap. Cito. Kangen kali!  

Aku membalas dengan emotikon wajah tertawa yang menggelinding hingga berurai air mata. Tujuh bulatan kuning.

Mau bilang rindu saja, mereka cari gara-gara, ya, balasku. Emotikon ngakak lagi. Bilang aku sakit perut. Kolik menstruasi. Ebola. Atau apalah. Karang saja penyakit menular paling mematikan.

Kusisipkan emotikon terbahak-bahak.

Aku tak tertawa. Tersenyum pun tidak. Tentu saja “Mereka” tidak kangen. Yang ada mereka ingin menyiksaku lahir batin dengan berbagai tugas non-akademik. Tapi sebetulnya aku cukup paham mengapa Mereka begitu, karena residen-residen senior Mereka pun merundung Mereka, menyuruh Mereka membelikan makanan mewah untuk dihidangkan di ruang jaga atau menjemput istri-istri senior dari bandara atau mengantar anak senior les piano. Agar tetap waras, tampaknya Mereka melimpahkan sebagian pekerjaan gila itu kepada koas-koas yang tak pandai menggeol sepertiku.

Bisa kurasakan selangkangan dan ketiakku terasa lengket, tetapi satu-satunya yang ingin kulakukan adalah menatap ponsel. Tak ada pesan baru dari Beliau. Belum. Beliau pasti sedang sibuk mengiris dinding perut, memotong umbilikus bayi, dan menjahit uterus.

Ponselku berdenting. Beliau kah?

Ternyata Mama.

Sambal terimu masih ada? Mama mau bikin banyak. Mama paketkan, ya?

Tidak usah, Ma. Jangan repot. Nin bisa beli di warung. Nin banyak makan. Gendut sekali macam Sinterklas, hohoho. (Tidak lupa emot ngakak.)

Pukul 2 siang. Aku bau pesing seperti kakus yang tak disiram dan sekarang malah kebelet boker. Belum ada pesan dari Beliau. Apakah operasi sesarnya belum selesai? Atau mungkin Beliau sedang cuti dan menghadiri resital piano putrinya? Padahal aku ingin menelepon. Aku ingin sekadar mendengar Beliau. Tidak. Itu terlalu berisiko. Aku selalu ingat peraturan pertama: tidak menghubungi lebih dulu, karena siapa yang tahu Beliau sedang berada di mana dan sedang bersama siapa.

Namun, aku butuh Beliau. Tanpa Beliau, aku serasa berada di lorong gelap panjang. Aku tak bisa melihat ujungnya. Begitu masuk kamar, sendirian, aku ditubruk kesedihan. Bibirku pegal karena setiap bertemu orang, aku harus memaksa bibirku untuk tersenyum lebar. Aku ingin menangis, tetapi mataku kering.  Setiap saat, kepalaku dipenuhi hasrat mencari tali, korek api, atau pisau tajam yang baru diasah. Pernah terpikir naik ke lantai tertinggi rumah sakit lalu terbang, tetapi sudah banyak pasien yang kutemui di IGD usai melompat dan gagal tewas. Kaki patah, iga rekah, panggul rumuk, tapi mereka masih hidup dengan selang, dengan kursi roda, dengan penyesalan. Sempat juga terpikir listrik tegangan tinggi, tapi kubaca di buku tutorial lengkap itu kalau itu supernyeri, merepotkan, dan letalitasnya rendah. Lagipula aku benci sengatan listrik.  Lalu aku harus memilih yang mana?

Sudah banyak cara dalam buku itu yang kusilangi karena terbukti gagal ketika kucoba. Ada beberapa yang tak kucoba karena tertulis peringatan bahwa itu begitu menyakitkan. Aku memang pengecut. Aku tak tahan nyeri. Aku ingin mati tanpa rasa sakit dengan damai.

Ponselku berdenting. Dari Mama.

Tak apa. Mama senang memasak untuk Nin. Mama kirim, ya. Tunggu dua hari sudah sampai.

Kubalas: Baiklah. Asyiik. (Emotikon tertawa lebar tidak ketinggalan.)

Siapa yang tertawa dalam pesan itu? Yang jelas bukan aku. Mungkin aku yang lain, yang pandai berpura-pura. Mama ingin aku jadi penyembuh. Tapi aku tidak ingin. Itu terlalu melelahkan. Isi kepalaku tak secemerlang sangkaan Mama. Aku gagal di tujuh lab dan harus mengulangi penderitaan itu lagi. Hanya di lab obgin nilaiku gemilang—tentu karena ada Beliau di sana. Namun, lab lain tak ubahnya neraka. Nama penghuni Animal Farm kerap menyembur dari mulut Mereka. Kawan sekelompokku sering mangkir dan harus kugantikan jaga. Teman-teman sesama koas tersenyum di depanku, tapi menusuk punggungku dari belakang lewat gosip murahan. Belum lagi pandangan sinis perawat dan bidan jaga yang melihatku selalu gagal memasang jarum infus. Bayangan kantong urin, penampung tinja, botol infus, selang, kateter, kabel, berputar-putar di mataku.  Di telingaku berdenging bunyi tut tut tut peralatan di ICU, seperti kereta yang meluncur bolak-balik dalam sirkuit di kepalaku. Bising!

Bagaimana jika melompat? Bagaimana jika melingkarkan temali? Bagaimana jika—

Ponselku berdenting. Semoga itu Beliau. Aku perlu Beliau. Beliau tidak seperti Papa yang irit bicara, tapi sekalinya bicara, mencerca dan memakiku, mengataiku anak tak berguna, hanya menghambur-hamburkan uangnya untuk dugem, bukannya kuliah dengan baik. Tetapi Papa tak tahu kesedihanku sehingga aku begitu. Lalu di lab obgin, aku bertemu Beliau, dokter senior yang bisa memahamiku. Beliau selalu dengan lembut berkata bahwa aku anak baik, bahwa aku boleh menjadi apa pun yang aku mau, dan aku tak perlu khawatir jikalau dunia hancur karena Beliau akan selalu melindungiku.

Karena itu, sekarang aku butuh beliau. Duniaku sedang tak baik-baik saja. Aku ingin bilang kepada Beliau bahwa duniaku menjelma palung ungu pekat. Aku butuh terisak di dada Beliau yang beraroma apel itu dan mendengar bahwa semua akan baik-baik saja.  Jika begitu, mungkin aku tak harus tenggelam, tak harus tersengat, tak harus memecah kepala dan menyemburatkan gumpalan otak.

Lalu kulihat ponselku berkedip. Sebuah pesan, dan itu memang dari nomor Beliau. Aku tersenyum, tapi hanya sebentar, karena langsung luruh laiknya lilin usai dinyalakan semalaman.

Kubaca makian di pesan itu. Aku tahu pasti itu bukan ketikan Beliau karena Beliau tidak pernah memaki.

Makin ke bawah makian itu makin brutal. Seseorang itu, yang membajak ponsel Beliau, mengataiku perempuan tak tahu diri, perebut suami orang, dan sudah sepatutnya dikeluarkan dari fakultas kedokteran. Lalu aku paham, siapa yang telah mengetik pesan itu.

Dulu, Beliau pernah berkata, beliau telah berpisah. Beliau berkata, pasangannya dulu seperti Medusa berkepala ular yang membuatnya menjadi batu dan tak bisa berkata-kata setiap terjadi pertengkaran. Beliau berkata, betapa beruntungnya Beliau akhirnya bertemu denganku. Sepertinya semua itu omong kosong.

Padahal saat ini aku membutuhkan Beliau. Hanya beliau satu-satunya akar bakau yang bisa kupegang ketika ombak ganas menggulungku. Kini, tanganku kosong. Aku berpegang pada apa? Sementara itu kulihat gelombang besar hitam kelam bersiap menggulungku.

Kulihat sesuatu yang tajam berkilauan memantulkan cahaya lampu, tergeletak di sebelah mangga dan jambu. Aku merayap di kasur yang basah dengan urinku, menjulurkan tanganku, dan meraih benda berkilauan itu. Persetan dengan buku tutorial yang membuatku ragu memilih yang mana. Dengan begini, selesai sudah. Jika aku lihai dan menusuk tepat pada arteri karotis, semua akan selesai dengan cepat.

Ponsel berdenting. Persetan! Berdenting lagi. Persetaaaan! Berdenting lagi. Ingin kulempar ponsel itu agar tak menggangguku. Kuraih ponsel itu, dan sekonyong-konyong pop up yang muncul di layar menayangkan pesan dari Mama: Nak, jaga badan, ya. Jangan sakit. Mama sayang Nina. 

Tanganku gemetar. Benda tajam itu jatuh berdenting ke lantai.  Jariku menekan layar ponsel. Terdengar nada dering. Diterima.

“Mama … Halo ….”

Tangisku tak habis-habis. []

 

*Sandi Morse untuk SOS: tiga titik tiga garis panjang tiga titik.

Editor: Dadang Ari Murtono (IG: @dadang_ari_murtono)

***

Baca juga:

Picture of Sasti Gotama
Sasti Gotama
Sasti Gotama adalah Emerging Writer UWRF 2022 serta Pemenang I Hadiah Sastra “Rasa” 2022. Naskah novelnya berjudul “Rahim” masuk dalam kategori Naskah Menarik Minat Dewan Juri Sayembara Novel DKJ 2023.
Bagikan
Berikan Komentar