Tulisan ini saya awali dengan dasar pemikiran dan disclaimer bahwa saya mendukung hak setiap warga negara untuk berperan serta dalam beragam aktivitas politik. Kendati demikian, sebagai warga negara saya punya keresahan melihat politik praktis negara kita dewasa ini.
Mula-mula, mari menilik definisi hak politik berdasar konstitusi kita. Hak politik adalah hak yang dimiliki setiap orang yang diberikan hukum untuk meraih, merebut kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan yang berguna bagi dirinya. Menurut Pasal 43 ayat (1) UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Itu mesti sesuai peraturan perundang-undangan dan Pasal 11 UU 2/2008 tentang Partisipasi Politik Warga Negara Indonesia.
Kita baru saja menyelesaikan pesta demokrasi dalam pemilihan presiden dan anggota legislatif. Rakyat memilih langsung ke bilik-bilik suara. Dari sejumlah pemberitaan dan unggahan di media sosial, kita mengetahui wajah para calon legislatif berasal dari berbagai latar belakang profesi, mulai dari pegawai biasa, anggota ormas, buruh, pengusaha, hingga selebriti.
Soal selebriti, ini bukan hal baru di negeri ini. Saya merasakan generasi selebriti awal yang ikut dalam kontestasi politik Indonesia, seperti era M. Farhan, Rieke Diah Pitaloka, hingga Krisdayanti. Di era kekinian, kita menemukan nama Denny Cagur bersama PDI-P di dapil Jabar 2 (Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat), Verrell Bramasta yang sekarang terpilih menjadi anggota legislatif pusat bersama PAN dari dapil Jabar 7 (Kabupaten Bekasi, Karawang, dan Purwakarta), Jihan Fahira dan Alfiansyah Komeng yang terpilih sebagai anggota DPD Jawa Barat dengan suara yang cukup besar.
Saya percaya masyarakat yang memilih nama-nama itu punya pertimbangan cukup. Mungkin, mereka memilih Alfiansyah Komeng atau Verrel Bramasta sebagai wakil mereka karena nama-nama itu punya potensi politik yang saya belum tahu. Masyarakat di dapilnya tentu lebih tahu.
Lalu kenapa mereka bisa terpilih?
Mau tidak mau, suka tidak suka, dunia politik Indonesia sangat ditentukan sosok dan figur yang diusung. Terkadang sosok dan figur ini dinilai lebih penting daripada pengalaman politik, program yang diperjuangkan, atau gagasan politik yang diusung. Selama sosok tersebut sering tampak wara-wiri di media massa atau media sosial, itu jadi keuntungan besar untuk melenggang di dunia politik. Sebab, masyarakat sudah mengenal mereka. Para seleb itu tak butuh waktu lama untuk kampanye. Fase awal untuk dikenal sudah terlewati.
Politik bagi para seleb menjadi menarik karena menawarkan banyak hal, mulai dari menjaga popularitas, menjadi tetap relevan, hingga privilege sebagai pejabat publik. Selebriti yang terbiasa hidup dengan pusat perhatian masyarakat tidak butuh waktu lama untuk menyesuaikan diri dengan gaya hidup sebagai politisi. Mereka yang terbiasa berhadapan dengan publik—sekalipun belum tentu memperjuangkan urusan publik—tinggal alih profesi saja di KTP.
Namun, mari menilik ulang fenomena ini. Kenapa partai politik mengusung para selebriti ini alih-alih kader partai organik yang berpengalaman dan teruji? Fungsi utama partai politik adalah pendidikan politik, bukan hanya bagi kader dan simpatisannya, tapi juga bagi masyarakat luas. Apakah dengan memunculkan pesohor dalam kontestasi politik praktis fungsi itu dijalankan sepenuhnya?
Pada beberapa kampanye digital yang saya lihat, sejumlah pesohor tersebut tidak sekali pun membicarakan visi, misi, atau program yang mereka usung. Kebanyakan hanya konten hiburan, joget, atau memberi santunan. Oh, atau mungkin saya terlewat.
Pertanyaan tersebut menjurus pada pertanyaan kedua, pertanyaan sebagai orang luar: Apakah sudah habis kader partai politik yang memang kompeten? Bagaimana partai politik menanggapi keraguan sejumlah netizen dalam pencalonan kader mereka yang sekaligus selebriti itu?
Sekolah kader partai politik setahu saya diadakan rutin, mulai enam bulan sekali hingga setahun sekali. Sekolah kader politik adalah upaya menciptakan generasi penerus partai yang menyetujui dan menjalankan tujuan partai. Lalu, kenapa partai memilih selebriti daripada langsung mengusung kader partai organik yang punya kemampuan mumpuni untuk melaksanakan program atau strategi partai di lapangan? Cuma partai sendiri yang dapat menjawabnya. Apa mungkin fenomena popularitas pesohor lebih “seksi” dan menguntungkan partai di politik elektoral? Apakah itu bentuk pragmatisme partai?
Melihat cara para seleb itu bermedia sosial dalam komunikasi publik, saya mempertanyakan fungsi partai dalam pendidikan politik publik. Apakah cara dan isi yang disampaikan saat mereka berkampanye semakin mendidik publik dalam berpolitik? Apakah bersikap layaknya di dunia hiburan (joget-joget atau berkomedi) sudah bisa mendidik publik dalam berpolitik? Mungkin cara itu efektif menggalang suara saat pencoblosan. Namun, apakah cara itu mencapai tujuan pendidikan politik bagi warga luas? Bukankah pesta demokrasi pada politik elektoral juga momen pendidikan politik bagi warga negara lainnya?
Publik yang teredukasi dalam berpolitik adalah publik yang mampu mengadvokasi dirinya dan juga masyarakat luas dalam memperjuangkan hak. Muncul pertanyaan kemudian: Apakah dengan bersenandung, berkomedi, berjoget, dan berpose di media sosial bisa menjadi pendidikan politik bagi khalayak luas?
Sebagai cara yang populer, mungkin itu bisa diterima. Namun, soal isi yang disampaikan perlu diukur: Seberapa efektif pesan dan isi pendidikan politik dipahami warga pendengarnya?
Tentu saja tak semua selebriti buruk dalam berpolitik. Setidaknya dari pengamatan saya, beberapa selebriti yang juga kader partai memang kompeten, kredibel, dan layak. Ini didukung latar belakang dan pengalaman mereka dalam hal yang ditangani saat menjadi pejabat publik.
Di negara lain, fenomena selebriti dan politik elektoral sebetulnya bukan hal baru. Kita mengenal Ronald Reagan, presiden Amerika Serikat yang juga mantan aktor; Arnold Schwarzenegger, seorang gubernur yang juga mantan pemain film laga; Donald Trump yang mantan pengusaha sekaligus pesohor televisi; Clint Eastwood pernah menjadi wali kota dua periode. Di Eropa, Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy adalah mantan stand up comedian. Di satu sisi, nama-nama itu punya andil di negerinya. Namun, di sisi lain, tentu saja mereka punya banyak catatan dan kontroversi tersendiri soal mengurus kepentingan publik.
Memang negara kita tidak melarang keikutsertaan selebriti dalam berpolitik. Namun, jika sudah menyamakan dunia politik warga seperti dunia hiburan, yang lebih mengutamakan “sosok/figur terkenal” atau ‘viral’ daripada ‘integritas’ atau ‘kompetensi’, politik negeri ini jauh melenceng dari esensi. Sejauh ini, kredibilitas politikus selebriti melaksanakan tugas politik yang diemban belum pernah ada yang mengukurnya secara holistik. Atau mungkin cuma saya saja yang terlalu lugu jika menganggap jabatan publik melulu tentang kinerja untuk masyarakat luas?
Saya yakin selebriti yang terpilih atau yang sudah dipilih pada pemilihan umum punya kemampuan lebih dalam dunia politik yang mungkin saya luput dalam melihatnya. Staf ahli mereka terlihat akan kerja keras dari awal pelantikan di tahun 2024 ini hingga akhir jabatannya nanti. Terakhir, saya ingin menanyakan pada semua: Bukankah saat ini kita semua menuju capaian Indonesia emas 2045, bukan Indonesia yang semakin viral di dunia populer 2045? [ ]
**) Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. Redaksi menerbitkannya sebagai wadah diskusi, kebebasan berekspresi, dan kebebasan berpendapat.
***
Baca juga: