• Esai
  • Memilih Tujuan Liburan adalah Tindakan Politik
Esai

Memilih Tujuan Liburan adalah Tindakan Politik

Mempersiapkan rencana liburan bukan hanya perkara membuat daftar destinasi yang akan dikunjungi atau memasukkan perlengkapan ke dalama koper, melainkan juga membuat pilihan politik.

Suasana salah satu sudut Pantai Ambalat, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. (Foto: Devi Anggar O)

Oleh: Devi Anggar Oktaviani*

 

UANG dan kekuasaan waktu luang bukanlah penentu seseorang bebas melakukan apa saja terhadap alam. Juga sebetulnya tidak ada penentu pasti yang bisa membuat seorang pelancong bisa berlaku sesuka hati di suatu tempat. Mempersiapkan rencana liburan bukan hanya perkara membuat daftar destinasi yang akan dikunjungi atau memasukkan perlengkapan ke dalama koper, melainkan juga membuat pilihan politik.

Pariwisata merupakan sebuah industri yang berkaitan dengan politik nasional dan internasional. Pada tingkat yang paling dasar, pariwisata dinilai sebagai industri ekspor, sumber devisa, dan dapat membantu menopang keuangan suatu negara.

Suatu jaringan dengan modal besar, katakanlah pengusaha dan pemerintah, cenderung mengendalikan banyak industri pariwisata. Para pengusaha membayar pajak lokal dengan jumlah yang kecil, tetapi penduduk setempat justru memikul beban besar. Misalnya, penduduk setempat harus rela berbagi ruang dengan wisatawan, baik itu fasilitas publik maupun fasilitas warga pribadi.

Para pelancong tidak hanya membawa uang ke tujuan wisata. Mereka juga membawa budaya dan sosial. Di sejumlah tempat, masyarakat adat justru menutup kunjungan turis asing dan domestik. Mereka berpendapat bahwa pariwisata mengancam budaya, merusak ekosistem lingkungan, dan di sisi lain menganggapnya sebagai kolonialisme. Di Hawai, berbagai upaya sedang dilakukan untuk merekonsiliasi masalah yang timbul dari industri pariwisata karena dinilai terlalu mengeksploitasi budaya asli.

Baca juga : Muda, Tak Berbeda, Korupsi Jua

Pariwisata telah dikaitkan dengan liberalisasi, nilai-nilai sosial, pemberdayaaan minoritas, bahkan penyebaran demokrasi. Tempat kita menghabiskan uang liburan, di situlah kita juga berkontribusi untuk melegitimasi politisi tertentu dan kebijakannya. Di Spanyol, misalnya, pertumbuhan pariwisata diinisiasi di bawah diktator Francisco Franco, sebagai sebuah sarana menopang perekonomian negaranya yang sedang lemah.

Dalam 20 tahun terakhir Cina juga mulai mengizinkan rakyatnya bebas bepergian ke luar negeri setelah beberapa dekade mengisolasi paksa mereka. Para politisi cenderung khawatir dengan ide-ide subversif dan pertanyaan aneh yang mungkin dibawa oleh para pelancong. Ketidakpercayaan akan wisatawan membuat politisi menjadikan mereka sebagai kambing hitam.

Suasana salah satu sudut Pantai Ambalat, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. (Foto: Devi Anggar O)

Di Barcelona, sebuah kota yang bergantung pada pariwisata di akhir abad ke-20, pelancong justru menjadi semakin tak diinginkan. Mereka disalahkan karena meningkatkan biaya hidup bagi warga lokal.

Pariwisata juga dinilai sebagai sebuah cara bagi pemerintah untuk menegaskan ideologi mereka—secara internal dan eksternal. Wisatawan Kuba, misalnya, dapat mengunjungi Museum Revolusi sebagai rekomendasi utama untuk bertamasya di Havana.

Selain itu, pariwisata dapat menjadi sarana untuk meningkatkan dan memodifikasi citra negara di panggung dunia. Israel telah bertahun-tahun menggunakan pariwisata gay untuk melunakkan citra internasionalnya. Sedangkan Dubai telah memantapkan dirinya membuat taman bermain mewah yang dipenuhi hiburan dan pemandangan indah.

Namun, komitmen kedua pemerintah negara tersebut terhadap citra wisata yang mereka jual dapat diperdebatkan. Kaum LGBTQ di Israel baru-baru ini dibatasi haknya oleh parlemen untuk urusan operasi kelamin. Sedangkan di Dubai, terkenal karena ada orang-orang yang menghadapi hukuman yudisial berat untuk tindakan yang tidak berbahaya. Misalnya, tidak sengaja menyenggol orang lain.

Baca juga : Transisi Energi di Indonesia, Tiga Hal yang Perlu Kamu Tahu

Di satu sisi, citra yang dijual kepada para pelancong sering kali tidak sama dengan kenyataan yang dihadapi oleh warga lokal di suatu negara. Di sisi lain, wisatawan sendiri diharapkan mematuhi peraturan yang tidak akan mereka setujui atau tidak sesuai dengan yang ada di negara asalnya.

Sebagai pelancong, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan ketika merencanakan liburan. Cari tau apakah agen perjalanan yang kita pilih berkomitmen untuk berinvestasi dalam pajak, adil terhadap pekerjanya, dan menghargai kehidupan warga lokal. Observasi perilaku penduduk setempat terhadap pariwisata agar kita dapat menjadi tamu yang lebih baik. Terakhir, sadari politisi yang menggunakan pariwisata untuk kepentingan pribadi mereka.

8 Juli 2018

*Tulisan ini semula diterbitkan di blog pribadi penulis. Penulis adalah SEO Editor yang kini bermukim di Balikpapan.

Devi Anggar Oktaviani
Devi Anggar Oktaviani
Penulis adalah SEO Editor yang kini bermukim di Balikpapan.
Bagikan
Berikan Komentar