Oleh : Wawan Eko Yulianto, Universitas Ma Chung
Awal tahun ini, penulis Okky Madasari merilis buku anak yang berjudul Mata di Tanah Melus.
Buku ini bercerita tentang petualangan seorang gadis berusia 12 tahun yang diajak oleh ibunya berlibur ke satu kawasan terluar Indonesia yang berbatasan dengan Timor Leste dan menemui bangsa Melus yang menutup diri dari dunia luar.
Ketika buku anak Okky Madasari ini muncul, para kritikus menunjukkan berbagai tanggapan, mulai dari rasa penasaran hingga mempertanyakan keputusan menulis cerita anak tersebut. Rasa penasaran yang paling terasa berkaitan dengan pilihan latar, yaitu salah satu kawasan terluar Indonesia. Kritikus lain mempertanyakan apa yang menyebabkan Okky, seorang penulis yang kuat mengkritisi permasalahan sosial, akhirnya memutuskan menulis cerita anak.
Saya yang meneliti sastra populer dan khususnya sastra anak melihat buku ini merupakan wujud bentuk sastra progresif bagi anak-anak dengan menggabungkan aspek-aspek realis dan utopis dalam bangunan petualangan si tokoh utama.
Berikut saya akan jelaskan apa yang membuat Mata di Tanah Melus begitu berbeda dengan bacaan anak lainnya.
Nilai-nilai progresif di Mata di Tanah Melus
Mata di Tanah Melus adalah salah satu bentuk sastra progresif karena novel ini mengandung sejumlah nilai-nilai yang menentang status-quo dan menjunjung kebebasan, kebenaran dan keadilan.
Nilai-nilai progresif tersebut tampak dalam berbagai bentuk. Yang paling menonjol, pembaca akan melihat bagaimana ibu Mata bertindak tegas ketika dia mendapati pendidikan di sekolah Mata dia rasakan tidak kritis dan mengajarkan disiplin melalui rasa takut atau represi.
Terkait nilai keadilan, pembaca mendapat sajian pertemuan Mata dengan bangsa Melus yang saat ini menjadi bangsa tertutup karena telah tersisih dan terdesak oleh kelompok-kelompok sosial lain.
Yang juga perlu disoroti, dalam kaitannya dengan keseteraan gender, kita akan mendapati bagaimana novel ini menunjukkan persahabatan antara Mata dan seorang bocah laki-laki suku Melus yang mencerminkan sikap saling peduli, bukan sikap berjarak, atau saling memusuhi.
Dalam novel Mata di Tanah Melus nilai-nilai progresif ini dihadirkan oleh Okky Madasari melalui gabungan antara menghadirkan elemen-elemen realis dan utopis.
Elemen realis paling menonjol yang tidak lazim muncul dalam karya sastra anak adalah persoalan rumah tangga orang tua dan persoalan sosial yang menyebabkan tersisihnya bangsa Melus.
Konflik rumah tangga lazimnya tidak muncul dari cerita-cerita anak yang seringkali fokus pada petualangan anak. Namun, dalam cerita ini, seorang anak digambarkan mengalami petualangan dengan dibayang-bayangi oleh konflik rumah tangga orang tuanya. Hal ini seolah tidak menutup mata si anak dari kenyataan dunia luar.
Sementara itu, terkait tersisihnya bangsa Melus, Mata menyaksikan bagaimana dampak dari konflik horizontal dalam masyarakat dalam menyisihkan kelompok-kelompok tertentu hingga menyebabkan trauma sosial sehingga bangsa Melus menutup diri dari dunia luar.
Terkait elemen utopis, novel Okky Madasari menyajikan usaha seorang ibu memperjuangkan pendidikan anaknya dan bagaimana hubungan antara bocah laki-laki dan perempuan disajikan dalam harmoni.
Tokoh ibu Mata digambarkan sebagai seorang yang kritis. Dia berani mengambil sikap mempertanyakan gaya ajar guru agama di sekolah Mata yang terlalu menekankan pada kengerian siksa neraka. Namun, ketika akhirnya Mata belajar di sekolah yang tidak lagi dihantui pelajaran agama yang penuh kengerian, ibu Mata juga tetap bersikap kritis terhadap budaya hedonis di sekolah tersebut. Di lingkungan sosial kita, sikap orang tua yang seperti ini masih tidak banyak, dan bahkan masih utopis karena banyak orang tua tidak berani mengambil tindakan tegas dan vokal terkait kebijakan atau tradisi di sekolah yang kurang tepat.
Tentang cerita anak yang progresif
Dalam kajian sastra, istilah sastra progresif banyak diasosiasikan dengan gerakan sastra di kawasan Asia Selatan yang menentang imperialisme dan kolonialisme pada paruh pertama abad ke-20, ketika wilayah tersebut masih di bawah imperialisme Inggris.
Menurut Rakshanda Jalil dalam bukunya Liking Progress, Loving Changes, karya-karya sastra Urdu pada paruh pertama abad ke-20 itu menyodorkan nilai-nilai kesetaraan, keadilan, dan menentang keterbelakangan pikir.
Dalam karya-karya sastra umum, nilai-nilai progresif ini cukup mudah ditemukan. Dalam sastra anak, nilai-nilai ini muncul hanya secara sporadis. Contoh-contoh yang bisa diambil antara lain novel The Adventures of Huckleberry Finn yang mementahkan argumen rasis yang menjustifikasi perbudakan di Amerika Serikat.
Salah seorang ahli yang menyoroti pentingnya memasukkan nilai-nilai progresif ke dalam sastra anak adalah Gloria Jean Watkins yang lebih dikenal dengan nama penanya bell hooks, seorang feminis Afrika-Amerika. Dalam penjelasannya tentang buku anak yang ia tulis, Be Boy Buzz, hooks menyatakan pentingnya mengajarkan nilai-nilai kasih sayang dan keseteraan gender kepada anak laki-laki. Dengan mengajari anak-anak, hooks yakin kita bisa bisa mencegah tumbuhnya manusia dewasa yang patriarkis.
Akhir-akhir ini, gagasan-gagasan kemajuan yang mirip dengan sastra progresif tersebut semakin banyak bermunculan dalam cerita anak di Amerika Serikat, seiring semakin kencangnya polarisasi yang mengiringi naiknya Donald Trump. Karya-karya semacam ini juga semakin banyak ditemukan dalam cerita-cerita untuk anak dalam bentuk film animasi, misalnya Coco dan Moana.
Mengapa kita butuh sastra progresif
Ahli sastra anak dari Skotlandia, Matthew Grenby, dalam bukunya Children’s Literature mengatakan bahwa cerita anak selalu dilandasi oleh harapan mempersiapkan seorang anak untuk menjadi manusia dewasa yang baik.
Usaha ini didukung dengan berbagai cara untuk membuat anak tertarik, menyajikan petualangan, makhluk-makhluk ajaib, dan sebagainya. Yang pasti, pada akhirnya adalah bagaimana anak akhirnya menjadi manusia dewasa yang baik.
Sekilas, kisah Mata di Tanah Melus tidak banyak berbeda dengan cerita-cerita anak lainnya. Banyak elemen di dalamnya bisa dengan mudah ditemukan di teks-teks anak lainnya, seperti kisah yang terjadi saat liburan, plot yang penuh imajinasi, dan karakter yang memang anak-anak. Namun, ada beberapa hal lain yang menjadikan cerita ini menarik.
Salah satunya adalah penyajian unsur realis dan utopis yang seimbang. Di satu sisi, novel ini begitu terasa realistis dengan adanya berbagai elemen yang dimasukkan untuk menjadi bahan diskusi. Namun, ada juga elemen-elemen utopis, misalnya nilai-nilai progresif yang saat ini baru dalam proses perjuangan oleh sebagian kelompok dalam masyarakat.
Paduan antara dua hal ini akan tetap bisa membuat novel anak Mata di Tanah Melus ini menjadi karya sastra anak yang progresif. Novel ini pun berpotensi untuk disejajarkan dengan karya-karya sastra anak yang menghibur, mendidik, tanpa harus menjadi simplistik.
Yang tak kalah pentingnya dari kecenderungan progresif dan utopis ini adalah peran yang dimainkan cerita anak.
Bila pada awal abad ke-20, cerita anak dilandasi oleh asumsi bahwa pembaca cerita adalah anak-anak yang perlu disiapkan untuk menjadi orang dewasa, tidak demikian halnya Mata di Tanah Melus.
Buku ini termasuk ke dalam cerita anak mutakhir, yang dilandasi kesadaran bahwa ada sejumlah masalah dalam kehidupan orang dewasa. Yang utama bagi cerita-cerita progresif ini adalah menuju manusia yang ideal, yang bahkan lebih baik daripada orang-orang dewasa saat ini, yang masih perlu menyelesaikan persoalan patriarki, eksploitasi alam, marginalisasi kelompok-kelompok tertentu, dan beberapa persoalan lainnya.
Wawan Eko Yulianto, Dosen Sastra Inggris, Universitas Ma Chung
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.