Epitaph, sebuah grup musik underground Balikpapan, telah berusia perak. Seperempat abad sudah Epitaph menggerinda gendang telinga penikmatnya yang jumlahnya mungkin tak seberapa. Kendati demikian, melalui musik grindcore yang mungkin tak ramah kuping awam itu, Epitaph sedikit atau banyak punya andil terhadap lingkaran terkecilnya.
Sepak terjang mereka dirangkum dengan elok dalam buku peringatan 25 tahun usia band ini, Grindcore Pogo Rawa: 25 Tahun Perjalanan Epitaph. Tidak melulu soal musik, cerita di dalamnya juga mengulas upaya anak-anak muda yang jauh dari Jakarta mengekspresikan situasi lingkungan tempat tinggalnya.
Saya kira buku ini bisa menggambarkan titik-titik waktu Kota Balikpapan dalam versi tidak resminya sejak era 1990-an awal. Lirik-lirik mereka yang cadas dan kasar, diimbangi gaya hidup yang banyak orang anggap ngawur, tapi sebagian dari mereka punya nilai-nilai yang diperjuangkan.
Buku ini pun menggambarkan upaya sejumlah anak muda di luar Pulau Jawa mendapat referensi musik. Tentu saja dalam konteks sebelum era tsunami informasi: klik-klik ketemu. Karya Epitaph pun di masa silam hanya beredar dari komunitas ke komunitas.
Di buku ini, musik bukan satu-satunya yang dibahas. Ia hanya menjadi pintu masuk untuk melihat cerita pinggiran yang mungkin jarang terliput dan terdengar dari narasi utama sebuah tempat.
Judul buku: Grindcore Pogo Rawa: 25 Tahun Perjalanan Epitaph Penulis: Rendy Asra dan Sucipto Penerbit: ProPublika Genre: Nonfiksi/Musik Halaman: i-viii + 181 halaman
Kolaborasi unik dua penulis yang berbeda latar belakang membuat saya cukup penasaran tentang proses penulisan buku musik underground ini. Rendy Asra selaku karyawan perusahaan barang konsumer yang juga bermusik menulis bersama Sucipto, jurnalis harian.
Latar belakang yang jauh berbeda ini tentu menjadi tantangan tersendiri untuk berkolaborasi. Samanya cuman satu, mereka sepakat untuk menulis yang tidak biasa dan mungkin pembacanya tak banyak: buku ini.
Tidak mudah untuk menulis buku dokumenter tentang sejarah musik non-arus utama. Perlu riset yang cukup karena tak banyak sumber tertulis tersedia. Tak heran jika buku ini terbit lebih lambat beberapa pekan dari momen seharusnya. Tapi keterlambatan penerbitan itu terbayar lunas saat saya membaca.
Cerita Epitaph bersama komunitasnya ini mampu membawa saya menjelajah Balikpapan, tempat yang belum pernah saya kunjungi. Buku ini semacam jadi pelepas dahaga akan “sejarah tak resmi” suatu tempat dari sudut pandang alternatif: warga biasa, bawah tanah, progresif, brutal, konyol, tapi punya kepedulian terhadap lingkungan.
Di dalamnya terselip kekonyolan dan “kebrutalan” laku hidup pemuda yang tertarik dengan dunia bawah tanah. Ia menjadi bumbu penyedap yang menggambarkan pertemanan, kebebasan, dan eksperimen dalam hidup. Sesuatu yang mungkin terjadi di tempat lain, tapi jarang tercatat.
Buku Musik Underground yang Bercerita Sisi Lain Kota Balikpapan
Sebuah kota tumbuh tak hanya oleh orang-orang yang tercatat sejarah resmi. Sebuah tempat, bagaimanapun, turut dibangun oleh orang-orang di tepi jalan, di kampung-kampung, sampai di gang-gang sempit. Di tempat-tempat itu terselip kisah-kisah warga yang bergelut dengan pertemanan, perjuangan hidup, gairah hidup, sampai protes yang dilakukan dengan cara masing-masing.
Di relung itulah buku ini membawa pembaca menyusuri beberapa sudut Balikpapan.
Kota ini dikenal sebagai Kota Minyak. Konon, hari jadi Balikpapan saja berpatok pada pengeboran minyak pertama pada 10 Februari 1897. Kalimantan Timur, provinsi yang menaungi Balikpapan, juga punya sejarah panjang dalam pembabatan hutan untuk industri ekstraktif.
Eksploitasi tersebut tentu saja memberikan kesejahteraan bagi warga Balikpapan. Seiring dengan itu, sedikit atau banyak membawa eksternalitas negatif.
Eksternalitas negatif ialah dampak produksi dan atau konsumsi dari pelaku ekonomi (Arsyad, 2022:7.4). Industri berbasis sumber daya alam di Balikpapan dan Kaltim, dalam sudut pandang tertentu, mungkin punya eksternalitas negatif tersebut.
Ekses yang ada tidak bisa banyak diproteskan secara bebas. Beberapa terbenam di bawah tanah atau bisik-bisik. Epitaph, baik secara musikal maupun secara personal, turut menyampaikan kegelisahan tersebut melalui lirik.
Sejumlah personil Epitaph pun mengekspresikannya lewat kegiatan konservasi alam Balikpapan. Mereka bergelut di sekitar hutan yang tersisa, sungai, satwa, dan kampanye atas hal-hal tersebut.
Membaca buku ini, setidaknya saya bisa memahami bahwa musik grindcore yang sulit dicerna awam punya niat yang tak muluk-muluk. Melalui musik yang dimainkan, Epitaph sepertinya ingin berkomunikasi soal kegelisahaan dan gagasan kepada komunitas terkecil yang paling mungkin mereka jangkau.
Dalam gerakan progresif, melawan kerusakan ekosistem adalah laku melawan arus. Saya kira mengikuti arus adalah minus, diam tanpa melakukan apapun adalah nol, dan melawan, sekecil apapun itu, adalah plus. Perlawanan arus bawah yang dilakukan jaringan Epitaph bisa jadi plus.
Dokumentasi ke dalam sebuah buku adalah upaya mendukung plus itu supaya menjadi lebih berdampak. Tidak harus banyak, namun ia bisa menjadi penyala api yang menghangatkan kewarasan ekososial di balik “ketidakwarasan” genre musik.
Buku ini jelas ditujukan kepada para pelaku skena musik bawah tanah Balikpapan. Untuk teman-teman di lingkaran Epitaph, buku ini bisa dibaca dari bab mana saja.
Namun demikian, pembaca umum bisa pula membacanya untuk melihat sisi lain Kota Balikpapan. Pembaca umum saya sarankan membacanya dengan urutan sebagai berikut: Bab II sampai Bab V, kembali ke Bab I, dan melanjutkan ke Bab VI sampai Bab IX. Saya kira dengan cara itu buku ini akan lebih mudah dicerna pembaca umum.
Ketika pembaca tidak bisa menikmati Epitaph secara musikal karena selera tidak mudah berbohong, menikmati Epitaph dan perjalanannya justru lebih nikmat ketika membaca buku ini. Dari sana, pembaca akan mendapat “sejarah” dari pinggir tentang harapan warga, mimpi, perjuangan hidup, dan pertemanan.
Dalam pengantarnya, Sucipto menyitir pernyataan arkeolog senior Truman Simanjuntak bahwa sejarah adalah tindakan yang berangkat dari relung masa lalu, dipelajari untuk masa kini, dan diproyeksikan untuk masa depan. Kita bisa ‘membaca Balikpapan’ dalam versi bawah tanahnya lewat buku ini, Grindcore Pogo Rawa: Perjalanan 25 Tahun Epitaph.
Selamat Membaca! Salam Pogo Rawa!
Sumber Referensi:
- Arsyad, Lincollin. (2022). Ekonomi Manajerial (Edisi 3 Cetakan VI). Tangerang Selatan: Penerbit Universitas Terbuka.
- Rendi Asra dan Sucipto. (2024). Grindcore Pogo Rawa: Perjalanan 25 Tahun Epitaph. Balikpapan: Penerbit Propublika.
- Wikipedia: Kota Balikpapan