Beberapa waktu lalu, kantor Tempo mendapat teror dengan dikirimnya kepala babi dan bangkai tikus. Ini bukan sekadar aksi iseng atau teror biasa, tapi bisa dibaca sebagai fenomena mikrofasisme, konsep yang diperkenalkan oleh Gilles Deleuze dan Félix Guattari (G&D).
Biasanya, ketika mendengar kata “fasisme,” yang terbayang adalah kediktatoran, polisi rahasia, atau propaganda negara. Tapi menurut G&D, fasisme tak selalu berbentuk besar dan terorganisir. Ia juga bisa muncul dalam skala kecil—di lingkungan kerja, komunitas, bahkan dalam pola pikir individu. Mikrofasisme adalah fasisme yang menyusup ke dalam kehidupan sehari-hari, mengatur perilaku tanpa perlu aturan resmi atau represi terang-terangan.
Dalam kasus Tempo, pengiriman kepala babi dan bangkai tikus bukanlah represi yang datang langsung dari pemerintah. Ini adalah cara lain untuk menciptakan rasa takut tanpa harus ada aparat yang turun tangan. Ada pesan tak kasatmata yang ingin disampaikan: “Jangan melewati batas.” Ini cara kerja mikrofasisme—menggunakan ancaman simbolik untuk menekan kebebasan berekspresi, tanpa harus ada sensor resmi.
Menariknya, pelaku aksi semacam ini sering kali bukan bagian langsung dari kekuasaan formal. Mereka bisa siapa saja—kelompok yang merasa punya kepentingan, individu yang sudah menginternalisasi pola pikir otoritarian, atau bahkan orang-orang yang percaya mereka sedang melakukan sesuatu yang benar. Deleuze dan Guattari menyebut ini sebagai desiring machines, di mana orang-orang justru menghendaki penindasan tanpa perlu dipaksa.
Fasisme tak hanya di rezim politik besar
Guattari dan Deleuze berargumen bahwa fasisme tidak hanya ada di rezim politik besar, tetapi juga di dalam cara kita berpikir dan bertindak. Mikrofasisme terjadi ketika individu atau kelompok mulai menormalisasi mentalitas fasis, misalnya dengan melihat jurnalisme investigatif sebagai ancaman dan merasa berhak melakukan tindakan intimidasi ini.
Kalau dulu fasisme identik dengan pemimpin diktator yang mengendalikan segalanya, sekarang mekanismenya lebih cair. Orang-orang bisa menjadi “polisi” bagi satu sama lain, menegakkan batas-batas yang tidak tertulis. Ancaman, tekanan sosial, dan simbol-simbol kekerasan seperti ini adalah contoh nyata bagaimana ketakutan diproduksi dan disebarkan tanpa perlu aturan resmi.
Aksi semacam ini menunjukkan bahwa represi terhadap kebebasan pers tidak selalu memerlukan kebijakan negara yang eksplisit. Ia bisa dilakukan oleh dan/atau melalui individu atau kelompok yang menginternalisasi logika otoritarian, dan mengeksekusinya secara spontan. Ini adalah contoh bagaimana mikrofasisme bekerja: tidak memerlukan diktator tunggal, karena banyak orang bersedia menjadi fasis dalam skala mikro.
Kasus ini, dengan demikian, bukan sekadar aksi teror biasa, tetapi bagian dari pola lebih besar di mana represi dan ketakutan diproduksi tanpa harus menggunakan kekerasan negara secara langsung.
Inilah fasisme versi modern: tak perlu ada larangan tertulis atau pasukan keamanan yang bertindak. Cukup satu aksi kecil—sebuah kepala babi, bangkai tikus, atau ancaman samar di media sosial—dan kebebasan pun mulai menyusut, pelan-pelan, tanpa banyak yang menyadari.
Fenomena ini adalah cerminan di mana kebebasan berekspresi atau berpendapat menghadapi laku barbar dalam bentuk lain. Mungkin, ini tumbuh akibat perilaku dan tindakan elite yang juga menerapkannya di ruang dan juga bentuk lain.
Baca juga: