Di suatu negeri yang pernah dikuasai tentara, ada wacana untuk mengubah aturan mereka. Ada upaya merevisi Undang-Undang Ke-tentara-an. Tujuannya? Biar tentara bisa lebih banyak berperan di luar tugas utama mereka. Bisa ikut urus proyek sipil, bisa masuk lebih luas ke lembaga pemerintahan, bisa punya bisnis sendiri.
Sekilas, ini terdengar biasa saja. Tapi kalau kita melihat sejarah, justru hal-hal yang “biasa” inilah yang sering menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar.
Dulu, di zaman sebelum negeri ini memasuki fase reformasi, tentara bukan cuma pasukan yang menjaga pertahanan negara. Mereka ada di mana-mana. Mereka duduk di parlemen, memegang jabatan di kementerian, mengelola bisnis, bahkan mengatur pers dan pendidikan.
Hasilnya, negara dijalankan dengan cara yang seragam. Semua keputusan mengikuti satu suara: suara penguasa yang dijaga oleh militer. Masyarakat sipil kehilangan ruang untuk berbeda pendapat. Sebab, siapa pun yang melawan bisa dianggap musuh negara.
Setelah Reformasi, peran tentara dikembalikan ke tugas intinya. Tidak boleh lagi mereka ikut dalam politik atau bisnis. Tapi sekarang, revisi UU Ke-tentara-an ingin membuka lagi celah itu.
Tentara diberi lebih banyak wewenang, dengan alasan membantu negara. Sekilas ini terdengar masuk akal, dan biasa aja. Tapi, sesuatu yang sekilas tentu tak punya kedalaman, dan justru di sinilah letak bahayanya.
Seorang pemikir bernama Hannah Arendt pernah bilang tentang sesuatu yang berbahaya, tapi terlihat biasa saja. Ia menyebutnya “banalitas kejahatan.” Menurutnya, yang menyeramkan bukan hanya orang jahat yang sengaja ingin merusak, tapi justru orang-orang biasa yang merasa mereka cuma “menjalankan tugas.”
Mereka taat aturan, tapi tanpa berpikir. Mereka patuh, tapi kehilangan hati nurani. Seperti dulu, ada seorang pejabat Nazi bernama Eichmann yang mengurus pengiriman manusia ke kamp kematian—ia tidak merasa bersalah, karena ia hanya “mengikuti perintah.”
Kalau dipikir-pikir, mirip dengan apa yang akan terjadi ketika tentara diberi terlalu banyak ruang dalam kehidupan sipil. Mereka akan diberi tanggung jawab, mereka akan menjalankan perintah, mereka akan bekerja dengan sistem yang mereka pahami: disiplin, hirarki, taat komando.
Tapi masalahnya, kehidupan sipil tidak seperti barak militer. Di dalam kehidupan biasa, orang bebas berpikir, bebas memilih, bebas salah dan belajar. Tapi kalau semua diatur seperti tentara, siapa yang bisa membantah?
Arendt juga bicara tentang totalitarianisme, sistem yang membuat kekuasaan menjadi begitu besar sampai-sampai orang-orang di dalamnya tidak punya pilihan selain tunduk. Dalam sistem seperti ini, hukum tidak lagi dibuat untuk melindungi, tapi untuk memastikan mesin kekuasaan tetap berjalan.
Semua hal bisa dianggap “demi kepentingan negara,” bahkan jika itu berarti membatasi kebebasan orang-orangnya sendiri.
Jadi, kalau tentara mulai masuk terlalu dalam ke urusan sipil, kalau aturan yang membatasi kekuasaannya mulai dilonggarkan, kalau mereka bisa berbisnis, mengurus proyek sipil, bahkan mungkin akan ikut dalam pemerintahan daerah, bukankah itu artinya kehidupan sehari-hari kita mulai diatur dengan cara yang sangat militeristik?
Bukankah itu artinya kita sedang bergerak menuju sesuatu yang lebih total, lebih terpusat, lebih menyerupai apa yang Arendt takutkan?
Mungkin ada yang bilang, “Ah, ini cuma aturan biasa, cuma perubahan kecil.” Tapi justru di situlah letak bahayanya. Segalanya selalu dimulai dari sesuatu yang terlihat kecil dan biasa. Kejahatan yang paling berbahaya bukan yang datang dengan suara keras dan wajah seram, tapi yang datang dengan tenang, perlahan, dan tampak (seolah-olah) masuk akal.
Baca juga: