• Esai
  • Anime sebagai Repertoar Politik Digital di Indonesia
Esai

Anime sebagai Repertoar Politik Digital di Indonesia

Meme sawit dan "Shinra Tensei" menandai satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dipahami dalam kerangka anime.

Anime sebagai Repertoar Politik Digital di Indonesia
Anime sebagai Repertoar Politik Digital di Indonesia (Ilustrasi: ProPublika)

Dalam beberapa tahun terakhir, jagat politik digital Indonesia menyaksikan fenomena unik. Kosakata dan simbol dari anime serta manga Jepang telah merasuk ke dalam percakapan politik, menjadi repertoar atau seperangkat tanda, metafora, dan narasi yang digunakan warganet untuk memahami, mengkritik, dan merepresentasikan realitas kekuasaan. Pola ini menandai sublimasi politik yang kompleks sejak masa akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo dan terus bertahan hingga kini.

Fenomena ini paling nyata dalam adopsi besar-besaran istilah dari serial legendaris Naruto. Indonesia sering disamarkan sebagai Konoha di tengah oskestrasi propaganda komputasional menarget suara-suara kritis terhadap pemerintahan. Seturut penyamaran dengan Konoha, presiden pun kerap disebut hokage atau lurah konoha. Presiden Jokowi bahkan merespon sindiran itu pada sidang tahunan MPR pada 2023 dengan menegaskan bahwa dirinya adalah Presiden RI, bukan seorang lurah. 

Seiring perkembangan politik di Indonesia menjelang pemilu 2024 lalu, perbincangan mengenai jalur nepotisme pada pemilihan hokage dari zaman-zaman memiliki resonansi kontekstual dengan skandal konstitusi di Mahkamah Konstitusi mengenai syarat batas usia calon presiden dan wakil presiden atau perombakan peraturan perundang-undangan melalui institusi Mahkamah Agung atau kesepakatan revisi Undang-Undang Pilkada untuk menjadi jalan politik bagi aktor-aktor politik di lingkaran inti kekuasaaan saat itu.  

Oleh karena itu, kita dapat melihat di media sosial Indonesia berbagai kebijakan mendasar atau peristiwa nasional langsung diterjemahkan ke dalam logika “ninja” dan “jutsu”, seperti terlihat dalam meme yang mengaitkan kebijakan tertentu dengan “Shinra Tensei”, sebuah teknik penghancur berskala besar di Naruto masih kalah jauh skala kerusakannya dengan keputusan politik deforestasi untuk mengintensifkan perkebunan sawit. Konstruksi meme ini menunjukkan upaya publik, khususnya generasi muda, untuk mengkerangkakan politik ke dalam bahasa yang mereka pahami dan kuasai.

Fenomena repertoar anime ini menunjukkan ketahanan dan adaptasi. Meme sawit dan “Shinra Tensei” ini menandai satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dipahami dalam kerangka anime.  Hal ini menunjukkan bahwa repertoar ini telah mengkristal sebagai bagian dari leksikon politik digital Indonesia, alat yang fleksibel untuk merespons berbagai peristiwa, mulai dari pesta demokrasi hingga musibah nasional.

Meme sawit dan "Shinra Tensei"
Meme sawit dan “Shinra Tensei”.

Simbolisme lain yang signifikan datang dari serial dan manga One Piece. Bendera Bajak Laut dengan topi jerami Luffy ini telah diadopsi menjadi simbol resistensi di Indonesia. Awalnya muncul dalam unggahan-unggahan kritik sosial, bendera itu dengan cepat bermetamorfosis menjadi ikon perlawanan terhadap berbagai ketidakadilan yang dirasakan.

Yang menarik, gelombang simbolik ini tidak berhenti di Indonesia. Simbolisasi ini menyebar ke berbagai negara, menunjukkan bagaimana repertoar politik digital yang lahir dari anime mampu melintas batas dan menjadi bahasa perlawanan global yang universal. Ini membuktikan potensi soft power budaya pop sebagai alat artikulasi politik generasi digital.

Akar dari fenomena ini dalam dan terletak pada demografi serta pengalaman kultural. Pemilih muda (milenial dan Gen-Z) mendominasi daftar pemilih Pemilu 2024 dan akan semakin besar pada 2029. Generasi ini adalah generasi yang nativized oleh teknologi digital. Masa kecil dan remaja mereka diwarnai oleh tontonan Naruto, One Piece, dan seri lainnya yang ditayangkan bebas di televisi nasional pada era 2000-an.

Anime, bagi mereka, bukanlah budaya asing yang eksotis, melainkan bagian dari imajinasi bersama yang tumbuh seiring dengan internet. Ketika mereka dewasa dan menghadapi realitas politik-sosial yang kompleks, secara alamiah mereka merujuk pada repertoar budaya yang paling mereka pahami untuk membuatnya masuk akal.

Oleh karena itu, memahami dinamika politik Indonesia kontemporer dan masa depan tidak bisa lagi mengabaikan lapisan budaya pop digital ini. Anime sebagai repertoar politik adalah jendela untuk melihat bagaimana generasi muda memetakan kekuasaan, menyuarakan kritik, dan membangun solidaritas. Istilah seperti “Konoha”, “Lurah”, atau bendera One Piece adalah kode-kode budaya yang mengungkap persepsi, harapan, dan kekecewaan terhadap sistem.

Dalam arena politik digital yang semakin cair dan simbolik, siapa pun yang ingin berdialog dengan pemilih masa depan Indonesia harus terbuka untuk mempelajari “bahasa ninja” dan semangat bajak laut ini. Sebab, di situlah sebagian besar percakapan dan perlawanan akan terus berlangsung.

Picture of Ubaidillah
Ubaidillah
Koordinator Tim Riset Keterlibatan Politik Digital Generasi Z, Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN. Tengah menekuni kajian bahasa dan politik digital.
Bagikan
Berikan Komentar