Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, telah membuktikan kolaborasi adalah kunci mempercepat pemulihan pembelajaran. Berdasarkan analisis data rapor pendidikan secara mendalam, disimpulkan bahwa berbagai upaya yang dilakukan telah memberikan dampak positif terhadap peningkatan capaian literasi siswa.
Rapor pendiikan Bulungan naik dari 48,31 pada 2022 menjadi 58,46 di tahun 2023, dan mencapai angka tertinggi 69,32 pada 2024. “Pencapaian ini merupakan hasil kolaborasi kami dengan berbagai pihak,” terang Suparmin Setto, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Kadisdikbud) Bulungan, saat menjadi narasumber talkshow bertajuk Gotong Royong dalam Pemulihan Pembelajaran di Gedung A Kemendikbudristek, Jakarta, Jumat (11/10/2024).
Luas wilayah Bulungan lebih dari 13.000 kilometer persegi. Terdiri dari kota, desa, pesisir, pedalaman, dan pulau di perairan bebas. Dengan luas wilayah dua kali Jakarta, memberi layanan pendidikan bermutu di semua sekolah menjadi tantangan di Bulungan.
Sebab, banyak letak sekolah yang sulit dijangkau karena lokasinya di pedalaman. Bahkan, beberapa sekolah masih kesulitan akses internet.
Sadar akan kondisi ini, kata Suparmin, pihaknya mengambil pendekatan baru dalam berkolaborasi. Bulungan bekerja sama dengan Badan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP), Balai Guru Penggerak (BGP), Universitas Borneo Tarakan (UBT), Program Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (Inovasi) kemitraan pendidikan antara Australia-Indonesia, sektor swasta, dan masyarakat.
Pendekatan kolaborasi ini dimulai tahun 2017 melalui program rintisan peningkatan literasi kelas awal, yani kelas 1, 2, dan 3 SD. Hasilnya siswa lebih cepat menguasai kompetensi literasi dasar. Sebelum berkolaborasi, butuh waktu dua tahun agar siswa lulus kompetensi literasi dasar.
“Setelah berkolaborasi, kami berhasil memangkas waktu penguasaan kompetensi literasi dasar menjadi satu tahun,” tambahnya.
Apa bentuk program yang dijalankan?
![](https://propublika.id/wp-content/uploads/2024/12/Data-1024x754-1.jpg)
Dari analalisis awal, salah satu masalah utama penguasaan literasi siswa SD rendah di Bulungan ada pada metode pengajaran guru. Dengan masalah itu, akhirnya Inovasi kemitraan pendidikan Australia-Indonesia dan pemangku kepentingan lain memutuskan untuk membuat program peningkatan kompetensi guru.
Hal itu diwujudkan melalui pelatihan dan pendampingan berbasis Kelompok Kerja Guru (KKG). Penerapan asesmen diagnostik dan pembelajaran terdiferensiasi memungkinkan guru memberikan perhatian yang lebih individual kepada siswa.
Misalnya, guru diberi pemahaman metode mengajar yang menyenangkan, metode menilai siswa per individu, dan membuat alat ukur agar siswa mencapai kompetensi sesuai jenjang pendidikannya. Suparmin mengatakan, penyediaan buku cerita anak yang beragam dan program pendampingan khusus pun berkontribusi secara signifikan dalam meningkatkan kemampuan literasi siswa.
Hasil ini menunjukkan bahwa program ini dapat menjadi model yang efektif untuk meningkatkan kualitas pendidikan, bahkan dalam situasi krisis seperti pandemi Covid-19. Studi yang dilakukan oleh Kemendikbudristek dan Inovasi menunjukkan kurikulum yang fleksibel mendorong pemulihan pembelajaran dua kali lebih cepat dibandingkan dengan kurikulum 2013.
Metode pembelajaran yang menggunakan asesmen diagnostik, pembelajaran berdiferensiasi, dan penyederhanaan kurikulum yang menitikberatkan pada kemampuan dasar esensial seperti literasi dan numerasi berkontribusi pada pemulihan pembelajaran. Faktor-faktor kunci ini telah menjadi karakteristik dan prinsip utama dalam Kurikulum Merdeka. Studi ini dirangkum dalam buku Bangkit Lebih Kuat; Studi Kesenjangan Pembelajaran (2023).
Suparmin menyatakan literasi adalah kunci pembuka pintu masa depan bagi setiap anak. Kemampuan membaca yang mumpuni bukan hanya sekadar alat untuk memperoleh pengetahuan, tetapi juga modal utama untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan bangsa. Dengan literasi, siswa dapat menjadi pelopor perubahan yang mendorong pertumbuhan ekonomi, memperkuat demokrasi, dan menjaga kelestarian lingkungan.
Sebaliknya, kegagalan membangun pondasi literasi yang kuat akan mengancam masa depan bangsa. Ketidakmampuan membaca sejak dini tidak hanya menghambat prestasi akademik, tetapi juga berpotensi menimbulkan masalah sosial, kesehatan, dan ekonomi yang lebih luas di kemudian hari.
Studi World Literacy Foundation (2022) menunjukkan bahwa rendahnya tingkat literasi di Indonesia mengakibatkan kerugian ekonomi yang sangat besar, setara Rp 200 triliun setiap tahun.
Perhitungan ini meliputi potensi hilangnya pekerjaan dan pendapatan, penurunan produktivitas, berkurangnya kesempatan untuk memiliki aset bernilai tinggi, dan rendahnya kemampuan menggunakan teknologi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi. Pada bidang sosial, perhitungan kerugian ini mencakup subsidi biaya kesehatan, kriminalitas, dan pendidikan yang perlu dikeluarkan lebih banyak.
***
Baca juga:
- Dari Pakan Alami Orangutan Kalimantan, Ada Potensi Produk Perawatan Kulit
- Diskusi AJI Balikpapan: Ciptakan Berita dan Ruang Aman bagi Perempuan
- PLN Siap Layani Jutaan Pelanggan Selama Natal dan Tahun Baru 2025