Korrie Layun Rampan adalah legenda sastra Indonesia yang menorehkan namanya melalui karya-karya multidimensi: cerpen, novel, puisi, kritik, esai, sampai ensiklopedia. Lahir di Samarinda, 17 Agustus 1953, dari pasangan Paulus Rampan (pensiunan tentara) dan Martha Renihay, darah kreativitasnya mengalir sejak dini.
Prestasinya di sekolah dasar membuatnya meraih beasiswa dari Pemda Kalimantan Timur, mengantarnya menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi. Sejak kelas IV SD, Korrie sudah terpikat pada dunia literasi.
Novel Tenggelamnya Kapal van der Wijk karya Hamka, misalnya, sudah ia baca sejak usia sekolah dasar. Di masa SMP, ia rajin membaca majalah sastra Horison. Saat SMA, puisi-puisinya menghiasi majalah dinding sekolah, sementara suaranya mengudara lewat acara Pancaran Sastra di RRI Samarinda.
Dari Yogyakarta ke Panggung Nasional
Setelah lulus SMA tahun 1970, Korrie merantau ke Yogyakarta. Awalnya mengambil Jurusan Keuangan dan Perbankan, lalu beralih ke Fakultas Sosial Politik Universitas Gadjah Mada. Di kota pelajar ini, ia bergabung dengan Persada Studi Klub (PSK) di bawah bimbingan Umbu Landu Paranggi.
Kelompok studi itu melahirkan banyak intelektual, budayawan, dan penulis terkemuka di Indonesia. Beberapa di antaranya Emha Ainun Nadjib, Agus Dermawan T., dan Yudisthira ANM Massardi. Bakat Korrie semakin terasah di sini, ditambah pergaulannya dengan penulis di berbagai bidang.
Sejak 1972, tulisannya mulai menghiasi media nasional: Kompas, Sinar Harapan, hingga Horison. Karya-karya itu kemudian dibukukan dalam Perjalanan Sastra Indonesia (1983), menjadi pintu masuk bagi pembaca mengenali visi sastranya.
Korrie Sebagai Penulis dan Pengarsip
Korrie Layun Rampan bukan sekadar penulis. Ia mendirikan Yayasan Arus untuk menerbitkan buku sastra dan mengoleksi sekitar 25.000 judul buku, arsip pribadinya, termasuk roman Melayu-Tionghoa pra-abad XIX.
Koleksi ini mendukung risetnya dalam menulis ensiklopedia, kritik, dan esai. Salah satu hasil arsipnya ialah buku Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia.
Buku ini terdiri atas dua jilid, masing-masing menampilkan dan memuat karya sekitar 100 sastrawan Angkatan 2000. Buku ini tak hanya berisi profil sastrawan, tetapi juga karya pilihannya.
Hal ini bisa menjadi pijakan untuk melihat karakteristik karya sastrawan yang disebut Korrie sebagai “Angkatan 2000”.
Di dunia jurnalistik, ia pernah menjadi redaktur senior di Sinar Harapan (1980–1982) dan Pemimpin Redaksi Sarinah. Ia pun menjadi pemimpin redaksi Sentawar Pos di kampung halamannya di Kutai Barat, Kalimantan Timur.
Di ranah pendidikan, ia mengajar di Universitas Sendawar. Ia pun merintis Rumah Sastra Korrie Layun Rampan (KLR) yang fokus pada dokumentasi dan akses terhadap sastra di Kutai Barat. Bahkan, ia sempat terjun ke politik sebagai anggota DPRD Kutai Barat (2004–2009) dan aktif di Dewan Adat Dayak.
Karya-Karya yang Mengukir Sejarah
Korrie Layun Rampan melahirkan karya dalam berbagai genre. Novel Upacara (1982) dan Api Awan Asap (1978) memenangkan Hadiah Sayembara Roman DKJ.
Kumpulan cerpennya, seperti Matahari Makin Memanjang (1986) dan Tak Alang Kepalang (1993), kerap menyoroti dinamika sosial dengan narasi khas Kalimantan.
Puisi-puisinya, seperti Cuaca di atas Gunung dan Lembah (1984), meraih penghargaan Yayasan Buku Utama. Ia juga produktif menulis kritik sastra, seperti Cerita Pendek Indonesia Mutakhir (1982), yang menjadi rujukan akademis.
Tak ketinggalan, karya anak-anak seperti Nyanyian Tanah Air (1981) menunjukkan dedikasinya pada literasi sejak dini. Di luar karya-karya tersebut, Korrie menginisiasi sejumlah penerbitan buku di Kalimantan Timur. Ia berlaku sebagai editor dan penulis.
Sedikitnya, ia telah menulis 58 novel, 62 kumpulan cerpen, 8 kumpulan puisi, 42 buku esai dan kritik, dan terbitan lain.
Prestasi dan Warisan Abadi Korrie
Hingga 2012, Korrie mengantongi 16 penghargaan, termasuk Anugerah Seni dari Pemerintah RI (2006) dan Penghargaan Citra Darma Pustaloka (2010). Aktivitasnya sebagai duta budaya dan jurnalis memperkuat karyanya melalui penggabungan kekuatan riset lapaangan, arsip, dan imajinasi.
Kisah hidup dan karya Korrie Layun Rampan membuktikan bahwa akar budaya lokal bisa menjadi pondasi karya universal. Dari Samarinda ke panggung nasional, ia membawa semangat Kalimantan dalam setiap tulisannya.
Kiprahnya di berbagai bidang—sastra, pendidikan, politik—menunjukkan bahwa literasi bukan sekadar kata, tapi aksi nyata.
Korrie Layun Rampan meninggal di Jakarta pada Kamis, 19 November 2015, di Rumah Sakit PGI Cikini, Jakarta Pusat. Pria berdarah Dayak Benuaq ini berpulang di usia 62 tahun. [*]
Sumber:
- Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Korrie Layun Rampan. Diakses pada 2 Maret 2025.
- R. M. Sunny, Mira Nurhayati, dkk. Ensiklopedia Sastra Kalimantan Timur. Penerbit: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2009.