• Cerita
  • Cerita dari Taiwan: Gerakan ABK di Negeri Jauh untuk Hak Akses Wi-Fi
Cerita

Cerita dari Taiwan: Gerakan ABK di Negeri Jauh untuk Hak Akses Wi-Fi

Anak buah kapal atau ABK asal Indonesia di Taiwan memperjuangkan hak atas Wi-Fi. Mereka menulis poster "NO WIFI, NO WIFE".

Suasana Dermaga Donggang, Taiwan, pada akhir September 2023. Banyak ABK asal Indonesia bekerja di pelabuhan di pesisir Taiwan ini. (HIRSON KHARISMA)

Catatan redaksi : Kerabat kerja ProPublika.id, Hirson Kharisma, berkesempatan mengunjungi Formosa Island, pulau tempat Taiwan berdiri, beberapa waktu lalu. Ia bertemu banyak anak buah kapal atau ABK asal Indonesia di sana. Mereka berkumpul dan berjuang untuk mendapat hak atas akses Wi-Fi. Simak ceritanya.

Kendati malam tiba, udara tetap saja gerah di Dermaga Donggang, Taiwan. Hari itu, sekitar pukul delapan malam, 22 September 2023, hampir tak ada angin bertiup kendati kawasan itu berada di tepi pantai. Namun, kehangatan begitu tampak di sebuah tempat yang kerap disebut sebagai solaran—tempat distribusi solar milik Pemerintah Taiwan untuk kapal nelayan, memanfaatkan ruang terbuka yang luas.

Puluhan orang berkumpul di sana. Namun, mereka tak mengantre solar. Duduk beralas terpal, mereka menyantap berbagai macam hidangan khas Indonesia. Ada sop iga, pecel Lamongan, dan nasi campur. Tak hanya menggugah selera, tapi juga membangkitkan rindu kampung halaman bagi mereka—perantau yang meninggalkan kampung halamannya—ke negeri jauh ini.

Mereka adalah para buruh kapal, kerap disebut anak buah kapal atau ABK. Orang-orang itu tergabung dalam Forum Silaturahmi Pelaut Indonesia (Fospi), sebuah organisasi ABK asal Indonesia yang bekerja di Taiwan.

Usai santap malam, mereka membahas satu hal yang krusial: hak atas akses Wi-Fi bagi para ABK selama melaut di atas kapal. Hadir di antara mereka Rofiq, sekretaris Fospi yang berasal dari Blora, Jawa Tengah. Turut berbicara dalam pertemuan itu Jonathan Parhusip. Ia mahasiswa asal Medan yang tengah mengambil gelar doktor di salah satu universitas Taiwan.

Jonathan juga relawan Stella Maris, organisasi non-pemerintah (NGO) di bawah naungan Vatikan. Organisasi itu mendampingi kerja advokasi Fospi di Taiwan. Banyak hal yang ia sampaikan mengenai perkembangan kampanye hak atas akses Wi-Fi bagi ABK.

Setahun belakangan Fospi memang mengadvokasi hal itu. Mereka menuntut setiap perusahaan kapal untuk menyediakan Wi-Fi. Itu penting sebagai akses komunikasi dan informasi bagi para ABK yang harus melaut berbulan-bulan dengan tekanan kerja tinggi. Advokasi ini digerakkan Fospi bersama jaringannya yang terdiri dari GLJ ILRF, Stella Maris, Taiwan Association for Human Rights, dan Humanity Research Consultancy.

Ada sebuah foto menggelitik dalam slide yang ditampilkan Jonathan dalam presentasinya. Foto tersebut memotret seorang ABK yang memegang poster saat unjuk rasa. Poster itu bertuliskan “NO WIFI NO WIFE”. Tidak ada WIFI tidak ada istri. Seperti bercanda. Padahal serius dan faktanya memang seperti itu.

Baca juga : Yang Mengerikan dari “Ikam Hanyarkah di Samarinda?”

Bayangkan, sebuah kapal pencari ikan bisa melaut selama empat bulan hingga satu tahun. Selama itu pula para ABK terisolasi, kehilangan komunikasi dengan dunia luar. ABK tidak bisa menghubungi sanak famili, teman, atau pacar. Banyak kejadian yang menimpa ABK ketika pulang melaut. Ada yang pacarnya sudah menikah dengan orang lain. Ada pula yang lebih telak: si ABK ternyata sudah diceraikan istrinya. Ikan kudapat, komunikasi dengan istri tersumbat.

Bahkan, hal lebih mengenaskan bisa terjadi kepada ABK dengan kondisi tersebut. Mereka kerap mengalami ekploitasi berupa jam kerja layaknya kerja paksa, stok makanan yang minim sehingga bikin ABK kelaparan, penganiayaan oleh ABK lain atau kapten kapal, hingga kematian.

Suasana pertemuan Fospi di salah satu area Dermaga Donggang, Taiwan, 22 September 2023. (HIRSON KHARISMA)

Semua terjadi tanpa sepengetahuan dunia luar, baik oleh pemerintah, aparat, dan keluarga. Mereka tak bisa mengabarkan apa yang mereka alami. Mereka tak bisa merekam dan menyebarkan sesegera mungkin kondisi yang menghimpit mereka di tengah lautan.

Di bayang-bayang silaunya industri perikanan Taiwan, armada penangkapan ikan Taiwan telah dikritik karena sejarah kekerasan dan kurangnya perlindungan terhadap pekerja migran.  Nelayan asing sering kali melaporkan bahwa mereka tidak mendapat bayaran, jam kerja yang panjang, serta kekerasan verbal dan fisik yang dilakukan oleh kapten dan petugas mereka—yang seringkali adalah orang Taiwan.[1]

Oleh karenanya, Fospi mendorong agar pemerintah Taiwan mengesahkan undang-undang yang mewajibkan penyediaan akses Wi-Fi untuk seluruh nelayan di laut. Mudzakir, ketua Fospi, mengatakan, Wi-fi berperan penting sebagai sarana untuk berkomunikasi dan memajukan kesejahteraan para nelayan; memperbaiki kondisi kerja dan hak-hak ketenagakerjaan; serta mencegah eksploitasi dan memastikan adanya saluran untuk menyampaikan keluhan.

International Labor Organisation (ILO) juga telah mengatur dengan jelas bahwa seluruh nelayan dan pelaut harus mendapatkan akses internet di laut. Pada November 2017, ”Konvensi tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan” Organisasi Perburuhan Dunia atau yang dikenal sebagai Konvensi ILO No. 188 (C188) mulai diterapkan setelah diratifikasi oleh sepuluh negara anggota. Konvensi tersebut menerapkan standar-standar internasional untuk keamanan di kapal-kapal penangkap ikan dan berlaku terhadap seluruh jenis industri perikanan komersial.[2]

Baca juga : Kapan Kita Layak meng-“cancel” Seseorang Maupun Karyanya Akibat Perilaku Tercela?

Selain menetapkan standar-standar tentang durasi kerja, langkah-langkah keamanan, dan akomodasi, C188 juga mewajibkan penyediaan perlengkapan komunikasi untuk seluruh kru di kapal-kapal perikanan. Saat ini alat komunikasi yang memungkinkan diaplikasikan di atas kapal adalah telepon dan Wi-Fi. Dari dua pilihan itu, Wi-Fi memiliki banyak kelebihan dibandingkan telepon satelit. Wi-Fi memungkinkan para nelayan mengirim pesan atau gambar sesuai kebutuhan kepada keluarga, NGO, hingga serikat pekerja. Dengan Wi-Fi, para nelayan juga dapat mengakses berita, informasi, dan hiburan di tengah kerasnya dunia kerja.

Pemerintah Indonesia sendiri telah memiliki aturan perlindungan buruh migran dalam UU 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.  Beleid terbaru ini menambah aturan mengenai hak-hak yang harus diperoleh buruh migran, salah satunya secara spesifik mengatur bahwa pekerja migran Indonesia wajib memperoleh akses komunikasi.

Seperti yang dipaparkan oleh Jonathan,  selama satu tahun ini, Fospi telah banyak melakukan aksi dan pertemuan, mulai dari tingkat dermaga, tingkat nasional di Taiwan dan Indonesia, hingga kampanye ke luar negeri, seperti Amerika Serikat dan Eropa.

Sejumlah pertemuan dan forum penting pun telah dilakukan oleh kawan-kawan Fospi, seperti berdiskusi dengan AFL-CIO (Asosiasi serikat buruh di AS), ILO Jakarta, dan ILO Jenewa. Beberapa waktu lalu Fospi juga mendapat kesempatan bertemu dengan Perdana Menteri Taiwan untuk membahas hak-hak ABK.

Para anak buah kapal atau ABK asal Indonesia berfoto bersama di Dermaga Donggang, Taiwan, akhir September 2023. (HIRSON KHARISMA)

Kampanye ini telah mencatatkan keberhasilan penting. Di awal, Pemerintah Taiwan hanya menyubsidi 80 kapal dalam penyediaan Wi-Fi. Kini, subsidi bertambah menjadi 400 kapal. Asosiasi Tuna Taiwan-Khaosiung telah memberikan pernyataan akan mengimplementasikan dalam empat tahun ke depan. Asosiasi tuna longline Donggang memasang Wi-Fi pada 40 kapal di bulan Desember 2022. Pada bulan Agustus 2023 Wi-Fi telah terpasang pada 150 kapal.

Asosiasi cumi dan samba Khaosiung menginformasikan, 60 kapal sudah memiliki Wi-fi. Perjanjian dagang US-Taiwan pun menegaskan tentang kesejahteraan ABK. Di dalamnya termasuk secara spesifik mewajibkan Wi-Fi. Setiap kapal yang direnovasi juga wajib memasang Wi-Fi.

Di akhir presentasinya, Jonathan menyampaikan rencana yang akan dilakukan ke depan. Perjuangan hak atas Wi-Fi masih panjang hingga tujuan utamanya berhasil dicapai, yakni adanya regulasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Taiwan, serta pentingnya mengawal implementasi regulasi tersebut.

Jalan panjang Fospi

Kisah kemenangan kecil para ABK di negeri jauh itu mencerminkan satu hal: kendati bekerja di negeri asing, hak pekerja mesti diperjuangkan. Itu bisa berbuah keberhasilan ketika para ABK di Taiwan yang senasib berkumpul, berkolaborasi, dan bergerak menuntut haknya. Bagaimana itu bermula?

Taiwan adalah salah satu negara perikanan dan industri pengolahan ikan terbesar di dunia. Lebih dari sepertiga kapal penangkap ikan tuna dunia dioperasikan oleh perusahaan Taiwan. Total armada penangkapan ikan jarak jauh dari Taiwan lebih dari 2.000 kapal.

Capaian itu tidak lepas dari kerja keras para ABK yang hampir seluruhnya merupakan pekerja migran. Sumber resmi Taiwan menyebut jumlah pekerja asing yang berada di kapal Taiwan berjumlah 26.000 orang. Namun, angka berbeda ditunjukkan NGO dan lembaga pemerintah AS. Mereka mencatat angkanya sekitar 160.000 orang. Mayoritas pekerja migran tersebut berasal dari Indonesia, tepatnya daerah pantai utara Jawa.

Para ABK yang berasal dari pesisir utara Jawa tersebut berkumpul di Taiwan dan membentuk paguyuban-paguyuban yang mengindentifikasi daerah asal mereka.  Setidaknya ada 10 paguyuban yang tergabung dalam Fospi. Mereka adalah LPS (Laskar Patih Sampun), PPI (Persatuan Pemalang Ikhlas), Tegal-Slawi, OPS (Tegal Surodadi), Lare Grage, Indramayu, Semarang, Cilacap, ORBAT (Batang), dan Brebes.

Selain sepuluh kelompok ini, ada juga satu kelompok lain yang bergabung, yakni Komunitas Kampoa. Ia adalah satu-satunya komunitas nelayan Indonesia di bawah payung Fospi yang tidak berdasarkan kampung halaman. Nama Kampoa diambil dari nama lain untuk menyebut Pelabuhan Perikanan Yanpu, Donggang. Kawasan tersebut merupakan tempat tinggal komunitas itu di tenda persinggahan sementara yang mereka bangun antara tahun 2010-2015.[3]

Baca juga : Kisah Pahu, Badak Sumatera di Kalimantan Timur yang Dilestarikan melalui Bayi Tabung

Fospi didirikan pada 2008. Awalnya ia sebagai wadah untuk menggalang dana pembangunan Masjid. Mayoritas ABK di sana beragama muslim, sementara di Taiwan hanya ada beberapa masjid dan tidak satu pun ada di daerah Donggang, tempat kebanyakan mereka bekerja. Dengan kondisi tersebut, Masjid menjadi kebutuhan mendesak untuk mereka.

Pada tahun 2016 Fospi berhasil mengumpulkan dana untuk membeli sebuah bangunan berlantai tiga dengan harga NTD 5,5 juta. Itu setara Rp 2,7 miliar (kurs Rp 492,41 per NTD). Bangunan itu lalu direnovasi secara bergotong royong dan difungsikan sebagai masjid dengan nuansa Nusantara. Masjid yang diberi nama An Nur ini menjadi pusat ibadah dan berkumpul, atau sekadar rebahan untuk para ABK yang lelah setelah pulang melaut.

Suasana Masjid An Nur di sekitar Dermaga Donggang Taiwan yang didirikan oleh anak buah kapal asal Indonesia. Foto diambil akhir September 2023. (HIRSON KHARISMA)

Setelahnya, Fospi terus berkembang. Fospi tidak lagi hanya mengurus keperluan masjid, tetapi  hampir seluruh permasalahan ABK. Fospi yang awalnya bermarkas di lantai dua Masjid An Nur kemudian menyewa sebuah bangunan sendiri, tidak jauh dari lokasi masjid. Tempat ini menjadi sekretariat organisasi dan tempat berkumpulnya ABK dan teman-teman jaringan.

Seperti yang diungkapkan Mudzakir, ketua Fospi, di samping untuk menjaga silaturahmi antar sesama pekerja migran Indonesia ABK, Fospi juga berperan memberikan bantuan dan pendampingan kepada para anggota atau ABK yang terkena masalah. Misalnya, Fospi menyelesaikan perselisihan antara ABK dan majikan kapal, masalah kontrak kerja, masalah gaji ABK yang tak dibayar, perkelahian antar-anggota, hingga masalah asmara.

Fospi memiliki mekanismenya sendiri dalam menyelesaikan konflik dengan cara-cara yang sederhana, tetapi tetap demokratis. Dengan semangat persaudaraan dan pertemanan, Fospi dapat bergerak dinamis, kelebihan yang tidak dapat dilakukan sebuah serikat yang kaku dan cenderung birokratis.

Walaupun merupakan perkumpulan yang informal, tapi kerja-kerja yang dilakukan oleh Fospi layaknya sebuah serikat buruh, bahkan melampaui itu. Fospi menjadi perwakilan ABK dalam urusan yang melibatkan lingkungan sekitar, polisi, hingga pemerintah Taiwan, seperti dinas perburuhan atau dinas perikanan.

Fospi kini memasuki masa kepengurusan kelima dan jumlah anggotanya telah mencapai 2.300 orang. Gerakan yang dilakukan oleh Fospi kini tidak terbatas pada penyelesaian kasus atau masalah ABK di sekitar dermaga Donggang, tetapi juga berperan aktif dalam advokasi hak-hak buruh migran yang lebih luas.

Perkembangan kampanye mereka atas akses Wi-Fi bisa diikuti di link berikut : klik. Dalam tautan itu, mereka juga menggalang dukungan dalam bentuk petisi.

Berkunjung dan bermukim beberapa minggu di Taiwan membuka mata saya. Di sebuah pulau yang jauh, di tengah orang-orang yang bahasanya sama sekali asing, saya melihat betapa hak-hak atas pekerja sangat mungkin didapat dengan perjuangan. Para buruh kapal Nusantara di Taiwan itu telah membuktikannya dan terus melakukannya.

 

Senarai referensi:

[1] Aspinwall, Nick. “The Danger to Taiwan’s High Seas Fishermen”www.maritime-executive.com. Maritime Executive. Retrieved 5 December 2019.

[2] Wi-Fi untuk Nelayan di Laut, GLJ-ILRF Briefing

[3] Muhammad, Irfan. bandungbergerak.id, Surat dari Taiwan #6 : Kampung Halaman di Rantau Pelabuhan Taiwan

Hirson Kharisma
Hirson Kharisma
Lulusan fakultas hukum Universitas Padjajaran. Penulis adalah advokat dan pemerhati kebijakan publik yang berdomisili di Balikpapan, Kaltim.
Bagikan
Berikan Komentar