• Sastra
  • Mengenang Ignas Kleden #2: Vampir Kebudayaan dan Tabrakan Wacana
Sastra

Mengenang Ignas Kleden #2: Vampir Kebudayaan dan Tabrakan Wacana

Seri polemik sastra bagian #2 antara Ignas Kleden dan Afrizal Malna di Harian Kompas pada 1997. Sumber tulisan ini dari kliping yang dilakukan kerabat kerja ProPublika.id.

Ilustrasi. Foto Daniel Reche: https://www.pexels.com/photo/yellow-bulb-1556704/

Catatan redaksi: Ini merupakan kliping koran Kompas yang dilakukan oleh kerabat kerja ProPublika.id. Seri tulisan ini merupakan polemik sastra antara Ignas Kleden dan Afrizal Malna di Harian Kompas pada 1997. Tulisan Afrizal ini merupakan tanggapan atas tulisan Ignas Kleden pada epilog di buku Cerpen Pilihan Kompas 1997, versi ulasannya ada di tautan berikut ini: Simbolisme Cerita Pendek.

Untuk melihat arsip polemik ini, bisa klik tautan ini.

***

Vampir Kebudayaan dan Tabrakan Wacana

Esai ini terbit di Kompas Minggu, 3 Agustus 1997, pada halaman 21.

 

Oleh Afrizal Malna

SUDAH hampir tiga tahun ini saya merasa kehilangan tema. Saya heran mengapa saya mengalaminya di tengah tingginya reproduksi tema di sekitar saya, yang berlangsung lewat media publik: gerak antara produksi dan konsumsi, merupakan perkalian yang terus melipatgandakan peningkatan kebutuhan, tidak lagi berbatas. Keterlibatan manusia dan alam kehilangan referensi filosofisnya, tidak lagi bermakna. Kebudayaan menjadi vampir yang haus darah. Selalu membutuhkan darah baru untuk menjalankan kontinuitasnya.

Sejak kita berhadapan dengan masalah krisis energi, lingkungan, krisis kemanusiaan yang mewarnai abad yang sebentar lagi berakhir ini, vampir kebudayaan tersebut mulai memperbaiki taring dan cengkeramannya melalui eufemisme budaya. Namun, mesin produksi dan konsumsi dalam perutnya tidak berubah. Vampir ini kini sedang berhadapan dengan krisis tema dan ide. Pluralisasi nilai serta pemahaman sejarah yang non-linier, yang datang dari pemikiran post-modernisme, merupakan representasi filosofis krisis tersebut. Representasi ini pada gilirannya menjadi legitimasi untuk berbagai tindakan eksploitatif pada kawasan dunia teks.

Tema dan ide menjadi kawasan rekreasi dan reproduksi, di mana tindakan daur ulang terhadap teks mendapatkan afirmasinya untuk dilakukan. Hak cipta pertama berlaku relatif di atas kerja pelapisan media. Industri musik, arsitektur dan dunia mode kini paling melakukan daur ulang terhadap lagu dan mode-mode lama. Tema-tema tahun ’30-an, ’50-an, ’60-an bermunculan kembali. Industri film kembali mengangkat narasi-narasi lama.

Film Tromeo & Juliet, sutradara Lloyd Kaufman, kini barangkali yang paling keras melakukan daur ulang terhadap narasi lama dengan cara mengubah keindahan sastra Shakespeare menjadi keindahan dari kekerasan. Romeo diplesetkan, dikaburkan dengan trauma menjadi Tromeo. Dalam film ini, Romeo ternyata seorang pemuda yang suka melakukan masturbasi di depan komputer yang menayangkan compact disk (CD) porno dengan kover wajah Shakespeare. Ayahnya seorang negro. Juliet ternyata seorang lesbian dengan seorang ayah psikopat. Juliet membunuh ayahnya dengan menancapkan tusuk konde ke punggungnya, lalu meledakkan kepalanya dengan kotak alat pemanas. Daur ulang yang sebelumnya dilakukan revolusioner oleh seniman pop-art maupun video- art, kini berlangsung dalam video klip.

Setiap hari ide dan tema harus didistribusi ke masyarakat. Mesin-mesin media harus berputar. Komputer kini merupakan media paling canggih mengatasi keterbatasan manusia dalam mereproduksi tema dan ide. Menyediakan program, menggandakan kemampuan untuk membuka hubungan agar mobilitas tema dan ide bisa berlangsung lebih cepat lagi. Keterbatasan manusia pada tingkat teknis diminimalisir sedemikian rupa.

Bila saya berada di depan program Photo-Paint 7 misalnya, menggunakan fasilitas Julia Set Explorer 2.0 yang dimilikinya, satu garis yang saya buat bisa menghasilkan pelipatgandaan bentuk dengan cara luar biasa dalam sekejap. Digital-art atau computer-art mampu memporak-porandakan proses kualitatif eksistensi seorang seniman. Saya pun menjadi vampir yang kesepian berhadapan dengan istana vampir seperti ini.

Sastra juga sedang mengalami vampir kebudayaan, yang oleh Faruk HT disebut sebagai sastra yang telah ditelan kerutinan. Vampir yang kering, kehabisan darah. Tabrakan antarwacana adalah representasi paling fenomenal dalam vampir kebudayaan ini, yang mengguncangkan dunia teks. Identitas teks kian sulit dibatasi dari dalam maupun dari luar. Melakukan eksteriorisasi terhadap teks, berisiko terhadap pembesaran konteks. Melakukan interiorisasi terhadap teks, juga berisiko membuat teks menjadi eksklusif dan sempit.

***

SAYA akan memotret salah satu peristiwa tabrakan wacana ini lewat pembahasan Ignas Kleden terhadap cerpen Usaha Membuat Telinga dalam kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 1997, Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan, yang didiskusikan di Bentara Budaya, Jumat (27/6/1997). Tabrakan yang bisa terjadi pada siapa pun. Sebuah tontonan menarik bagaimana teks mengalami kecelakaan. Dengan sebuah penggaris akademik, Ignas Kleden membuat ukuran untuk membaca 18 cerpen dalam kumpulan tersebut. Penggaris akademik ini dibentuk lewat dua ujung. Ujung pertama dinamakan sebagai peristiwa, ujung lainnya dinamakan makna.

Penggaris itu digunakan untuk mengukur cerpen dengan konsekuensi teoritis seperti ini: bila peristiwa tekstual lebih tinggi dibandingkan dengan makna tekstual dalam sebuah cerpen, maka cerpen itu tidak lebih sama dengan laporan jurnalistik. Sebaliknya, bila makna tekstualnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan peristiwa tekstualnya, maka cerpen itu tidak lebih sama dengan puisi. Inilah wacana yang digunakan Ignas Kleden dalam membatasi cerpen, tanpa mempersoalkan kembali status wacana tersebut. Apakah sebuah wacana bebas dari kemungkinan telah kadaluwarsa, konservatif, diperlakukan lebih tinggi di atas wacana lainnya?

Ketiga penggaris akademik itu mulai digunakan untuk mengukur cerpen Usaha Membuat Telinga, kesimpulan Ignas adalah: “Peristiwa tekstual dalam cerpen ini sangat lemah, bagaikan caption, gambar-gambar fotografi. Kalau teks ini memiliki makna yang kuat, maka teks ini akan menjadi sangat simbolik. Teks ini rupanya sebuah puisi dalam prosa. Tetapi karena maknanya lemah, ia menjadi mirip puisi yang prosais.” Deskripsi Ignas terhadap teks tersebut jelas: peristiwa tekstualnya lemah, makna tekstualnya juga lemah. Kesimpulannya juga seharusnya jelas: Teks ini tidak ada nilainya sama sekali. Tidak ada cerpen. Tidak ada puisi dalam prosa, juga tidak ada puisi yang prosais.

Status teks itu lebih hancur lagi ketika Ignas membandingkannya dengan cerpen Putu Wijaya yang dianggapnya melakukan pemaknaan sangat kuat. Maka tumbanglah teks Usaha Membuat Telinga itu dengan tragis. Pertanyaan yang tersisa adalah: bila peristiwa dan makna sudah dianggap lemah pada teks yang dibahas Ignas itu, apakah yang masih tersisa dalam teks? Hanya serangkaian caption. Apa yang tersisa dalam caption ini? Apakah tidak ada sama sekali makna referensial pada caption, tindakan signifikan yang berlangsung di dalamnya? Memotret tidak lagi sekadar memotret. Penggandaan obyek berlangsung di dalamnya: satu obyek hidup dalam obyek yang lain.

Dalam diskusi Ignas menjelaskan, novel Harimau-Harimau Muchtar Lubis menjadi karya sastra sebab ada pesan bermakna di dalamnya, yaitu pesan untuk memburu harimau dalam diri kita sendiri sebelum memburu dan membunuh harimau sebenarnya. Sementara pada sisi lain, Ignas juga sempat mengutip salah satu sense dalam teks Usaha Membuuat Telinga, yaitu mengenai tokoh ‘saya’ yang melihat adanya langit yang lain pada telinga Ogaga, seorang penyair Nigeria. Langit yang tidak lagi berbau darah.

Pembandingan antara dua sense teks itu seharusnya memperlihatkan adanya personifikasi pemaknaan yang sudah jauh berbeda satu sama lainnya. Yang satu merupakan pesan yang disampaikan lewat peristiwa dan dialog, pesan lewat manusia yang utuh di antara pemburu harimau. Teks yang lain justru menyampaikan pesan pemaknaannya lewat caption telinga. Wacana personifikasinya sudah berbeda. Apakah tidak ada makna referensial dari langit yang tidak lagi berbau darah, yang terdapat dalam telinga Ogaga? Apalagi itu adalah telinga seorang penyair Nigeria yang puisi-puisinya dijadikan dialog dalam cerpen ini, yang merepresentasi kekerasan politik di negerinya.

Yang menarik dari kerja Ignas Kleden bukanlah pada penggaris yang digunakan, melainkan pada bagaimana fleksibilitas penggaris itu digunakan, yaitu tingkat fleksibilitas dalam menerapkan peristiwa dan makna dalam dialektika sense of reference dari Paul Ricoeur yang digunakan Ignas. Dialektika peristiwa-makna memang kerangka teori yang kukuh untuk mengukur identitas tekstual karya sastra. Tetapi apakah karya sastra selamanya mengabdi pada bagaimana wacana peristiwa dan makna dipraktikkan secara konservatif, hidup sebagai formula tunggal?

Cara menggunakan penggaris itu merepresentasi semacam etika akademik yang meletakkan peralatan teorik sebagai otoritas ilmiah yang berada di atas karya sastra. Seakan-akan peralatan teoritis lebih pasti dibandingkan karya sastra sebagai fiksi. Padahal peralatan teoritis pun sebuah fiksi. Matematika, bentuk-bentuk penggaris dari segitiga sampai penggaris panjang juga adalah fiksi: hal yang tidak pernah ada dalam kehidupan nyata. Hanya sebuah rekaan yang disepakati untuk mengukur atau menghitung sesuatu.

Hal yang tragis lagi saya alami ketika Toeti Heraty menganggap cerpen Menanam Karen di Tengah Hujan sebagai mirip dengan puisi Danarto Mencangkuli Istri Setiap Malam, tanpa mengutip satu baris pun puisi tersebut sebagai pembuktian terhadap publik. Seakan-akan publik memang tidak ada, sementara pernyataan Toeti itu berada dalam sebuah media publikasi, yaitu buku Cerpen Pilihan Kompas 1996, Pistol Perdamaian. Saya jadi hadir sebagai seorang pencontek tanpa bukti.

Saya pernah tanya soal ini langsung kepada Danarto, dan Danarto merasa tidak pernah membuat sajak seperti yang dimaksud Toeti Heraty. Apa yang dimaksud Toeti justru ada pada sajak Darmanto Jt, tetapi dengan judul Istri, yang di antaranya terdapat ungkapan seperti ini: Istri sangat penting untuk ngurus kitaIa kita cangkul malam hari dan tak pernah ngeluh walau cape. Sajak ini sama sekali tidak memiliki hubungan referensial dengan cerpen di atas. Saya tidak tahu apa dasar etik kritik yang dilakukan Toeti Heraty seperti ini.

Kedua cerpen di atas, baik yang dikritik Ignas maupun Toeti, memang adalah teks yang saya buat. Antitesis ini saya lakukan justru sebagai tanggung jawab saya terhadap publik sastra, terutama karena kedua kritik di atas bukanlah kerja penafsiran yang sah bisa menghasilkan berbagai tafsir. Kerja di atas justru tindakan ilmiah yang mengukur wacana satu di atas wacana lainnya. Kerja ilmiah seperti itu akan menjadi salah satu representasi vampir kebudayaan selama tidak meletakkan otoritasnya sejajar dengan obyek yang diteliti.

Status wacana dalam kerja ilmiah seharusnya berada dalam otoritas sejajar, tidak mengatasi satu sama lainnya. Kesejajaran antarwacanalah yang akan menghasilkan fleksibilitas untuk saling mengukur, sebuah dinamika kritis untuk saling memeriksa dan menguji otoritas masing-masing, saling melakukan aktualisasi. Kritik sastra dan karya sastra sama seperti dekorasi dalam pemahaman arsitektur Blondel, yang mendistribusi korespondensi antara ruang interior dengan ruang eksterior dalam mengkonstruksi ritme arsitektur.

Tabrakan antarwacana, kian relatifnya batasana antarteks, sebagai akibat tingginya tingkat reproduksi yang dijalankan berbagai media transportasi dan komunikasi, akan menghasilkan semacam kebingungan referensial, kekacauan signifikansi. Dunia teks seperti kehilangan identitas tekstualnya sendiri. Ini adalah kondisi tragis untuk kembali menerima keyakinan, menerima kelahiran kembali hati nurani. Hanya hati nurani yang bisa kembali menerangi fenomena vampir kebudayaan, melihat ke mana ia sedang melangkah, untuk merekonstruksi kehidupan bersama kita kembali di bawah cahayanya.

*) Afrizal Malna, pekerja seni.

 

Propublika.id
Propublika.id
Portal berita dan cerita rintisan yang didirikan di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur pada 2022. Sesuai namanya, kami berupaya menyajikan informasi dan kisah warga yang suaranya jarang mendapat tempat di media massa. Selengkapnya lihat laman Tentang Kami.
Bagikan
Berikan Komentar