• Esai
  • Pergolakan Pemikiran Islam dan Peradaban Islam di Tengah Pusaran Globalisasi, Modernisasi, dan Westernisasi
Esai

Pergolakan Pemikiran Islam dan Peradaban Islam di Tengah Pusaran Globalisasi, Modernisasi, dan Westernisasi

Pergolakan pemikiran Islam di arus globalisasi: menjaga nilai autentik, merespons zaman dengan sintesis kreatif, bukan imitasi.

Pembangunan pusat Peradaban Islam di bawah Kabinet Menteri Republik Uzbekistan, Tashkent. (Foto : iStock/Vera Tikhonova)

Oleh: Andi Wahyuni
Peserta LK III BADKO HMI Papua Barat–Papua Barat Daya

Globalisasi hari ini bukan sekadar proses keterhubungan antarbangsa, melainkan arus besar yang membawa serta nilai, cara pandang, dan standar hidup tertentu. Bersama dengannya, modernisasi dan westernisasi kerap hadir sebagai “paket ideologis” yang secara halus—bahkan terkadang memaksa—membentuk ulang cara umat Islam memahami dunia, agama, dan diri mereka sendiri. Di sinilah pergolakan pemikiran Islam menemukan relevansinya: antara menjaga autentisitas nilai dan merespons tuntutan zaman.

Islam pada hakikatnya bukan agama yang alergi terhadap perubahan. Sejarah peradaban Islam justru menunjukkan kemampuan adaptif yang tinggi. Pada masa keemasannya, umat Islam menjadi pelopor dalam ilmu pengetahuan, filsafat, kedokteran, dan tata kelola sosial-politik. Namun, yang membedakan modernisasi kala itu dengan modernisasi hari ini adalah siapa yang memegang kendali nilai. Modernisasi Islam lahir dari nilai tauhid, sementara modernisasi kontemporer sering kali berangkat dari sekularisasi dan reduksi peran agama dalam ruang publik.

Westernisasi, dalam konteks ini, bukan semata adopsi teknologi atau sistem administrasi, melainkan penetrasi cara pandang yang menempatkan manusia sebagai pusat segalanya, meminggirkan wahyu, dan mengukur kemajuan hanya melalui indikator material. Akibatnya, sebagian umat Islam terjebak pada dua kutub ekstrem: pertama, sikap resistif total yang menolak segala hal berbau Barat; dan kedua, sikap permisif yang menerima tanpa kritik, hingga kehilangan identitas keislamannya.

Pergolakan pemikiran Islam hari ini terlihat jelas dalam perdebatan tentang demokrasi, HAM, ekonomi global, gender, hingga otoritas keagamaan di era digital. Media sosial mempercepat polarisasi: tafsir keagamaan menjadi dangkal, sloganistik, dan sering kehilangan kedalaman etika. Di sisi lain, generasi muda Muslim dihadapkan pada krisis keteladanan intelektual—siapa yang layak dijadikan rujukan di tengah banjir informasi?

Di sinilah pentingnya membedakan antara Islam sebagai nilai transenden dan peradaban Islam sebagai produk sejarah. Nilai Islam bersifat tetap, namun peradabannya dinamis. Kesalahan sebagian umat adalah membekukan peradaban seolah-olah ia bagian dari wahyu, atau sebaliknya, mencairkan nilai wahyu demi menyesuaikan selera zaman. Padahal, tantangan global menuntut sintesis kreatif: pembaruan yang berakar, bukan imitasi yang tercerabut.

Andi Wahyuni

Sebagai kader umat dan bangsa, kita tidak cukup hanya bersikap normatif. Islam membutuhkan kehadiran intelektual yang mampu membaca globalisasi secara kritis. Globalisasi harus diposisikan sebagai arena dialektika, bukan ancaman absolut. Teknologi, demokrasi, dan keterbukaan informasi dapat menjadi instrumen kemajuan peradaban Islam jika dikelola dengan kerangka etika tauhid dan keadilan sosial.

Dalam konteks Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar dan keragaman tinggi, tantangan ini menjadi berlapis. Islam tidak hanya dituntut relevan secara global, tetapi juga kontekstual secara kebangsaan. Westernisasi yang tidak tersaring berpotensi merusak kohesi sosial, sementara konservatisme sempit berisiko menggerus semangat kebhinekaan. Oleh karena itu, pemikiran Islam Indonesia harus tampil sebagai Islam yang berakar kuat, berpikir luas, dan berpihak pada kemanusiaan.

Solusi atas pergolakan ini tidak bisa instan. Pertama, diperlukan revitalisasi tradisi intelektual Islam—membaca ulang khazanah klasik dengan pendekatan kontekstual, bukan sekadar romantisme sejarah. Kedua, penguatan literasi global umat Islam agar mampu memilah antara nilai universal dan agenda ideologis tersembunyi. Ketiga, institusi kaderisasi, termasuk HMI, harus menjadi ruang lahirnya pemikir Muslim yang kritis, moderat, dan berani menawarkan alternatif peradaban.

Sebagai peserta LK III, saya meyakini bahwa Islam tidak kekurangan jawaban, tetapi sering kali kekurangan keberanian intelektual untuk merumuskannya secara kontekstual. Globalisasi boleh melaju cepat, modernisasi boleh berubah wajah, dan Barat boleh mendominasi wacana dunia. Namun, selama umat Islam setia pada nilai tauhid, keadilan, dan kemanusiaan, peradaban Islam tidak akan kehilangan arah—ia hanya menunggu untuk diperjuangkan kembali.

Karena pada akhirnya, tugas kader bukan sekadar menyesuaikan diri dengan zaman, melainkan memastikan zaman tetap berpihak pada nilai.

Yakin Usaha Sampai.

Picture of Propublika.id
Propublika.id
Portal berita dan cerita rintisan yang didirikan di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur pada 2022. Sesuai namanya, kami berupaya menyajikan informasi relevan bagi publik. Selengkapnya lihat laman Tentang Kami.
Bagikan
Berikan Komentar