• Esai
  • Menguatkan Asta Brata dalam Asta Cita
Esai

Menguatkan Asta Brata dalam Asta Cita

Kekuatan mendengarkan perbedaan pendapat adalah hal penting guna menguatkan prinsip Asta Brata dalam Asta Cita yang digagas Presiden Prabowo.

Ilustrasi esai "Menguatkan Asta Brata dalam Asta Cita". (Gambar: ProPublika.id) Ubaidillah BRIN
Ilustrasi esai "Menguatkan Asta Brata dalam Asta Cita". (Gambar: ProPublika.id)

Pemerintahan Presiden Prabowo telah merumuskan delapan misi utama yang disebut Asta Cita sebagai fondasi untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Jika ditelaah lebih dalam, Asta Cita memiliki keselarasan dengan filosofi Asta Brata, delapan prinsip kepemimpinan Jawa yang diambil dari sifat bumi, matahari, api, samudra, langit, angin, bulan, dan bintang. Konsep mengenai sifat-sifat dewa ini berasal dari kitab Manawa Dharma Sastra yang ditransformasikan menjadi delapan unsur alam, tercatat dalam naskah Pustaka Raja Purwa, menggambarkan sifat ideal seorang pemimpin untuk membawa kesejahteraan rakyatnya.

Keselarasan program dan filosofi ini menjadi fondasi yang baik bagi perjalanan bangsa Indonesia. Hanya saja, fondasi baik itu masih berbenturan dengan realitas politik saat ini yang diwarnai berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan di berbagai level pemerintahan. Fenomena ini menunjukkan tantangan besar dalam implementasi nilai-nilai Asta Brata dalam Asta Cita. Prinsip kepemimpinan yang seharusnya berorientasi pada kesejahteraan rakyat kerap kali disalahgunakan untuk kepentingan kelompok tertentu dan mencederai demokrasi yang berlandaskan konstitusi.

Seorang pemimpin seharusnya menjadi pijakan kokoh bagi rakyatnya, seperti bumi yang menopang kehidupan. Dalam Asta Cita, prinsip ini tercermin dalam penguatan ideologi Pancasila, demokrasi, dan hak asasi manusia sebagai fondasi stabilitas nasional. Kenyataannya, terjadi pengabaian aspirasi publik yang disampaikan melalui demonstrasi jalan maupun digital, atau bahkan melakukan demonisasi aspirasi itu lahir dari hasutan pihak-pihak yang menginginkan Indonesia bangkit.

Matahari memberikan terang dan kehangatan bagi semua. Ini tercermin dalam penguatan pertahanan dan keamanan nasional, termasuk modernisasi alutsista serta kemandirian pangan, energi, dan air untuk menjaga kedaulatan negara. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan yang mengarah pada militeristik justru memenuhi ruang publik. Kerja bersama membangun Indonesia berpotensi digerakkan oleh rasa takut terhadap pemerintahan yang tidak menerima kritik dan perbedaan pendapat, bukannya didasari semangat bersama.

Api melambangkan keberanian dan ketegasan. Dalam Asta Cita, prinsip ini terlihat dalam penciptaan lapangan kerja berkualitas dan pengembangan kewirausahaan guna menciptakan keadilan ekonomi. Hari-hari ini kita justru dihadapkan pada pemberitaan mengenai pemutusan hubungan kerja besar-besaran di berbagai sektor industri. Kompas (10/3/2025) bahkan menemukan rata-rata warga mengalami perlambatan pertumbuhan gaji selama 15 tahun terakhir atau sepanjang 2010-2024.

Seperti samudra yang luas dan dalam, seorang pemimpin harus memiliki wawasan yang luas dan bersikap inklusif. Hal ini diwujudkan dalam pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan, kesehatan, dan teknologi. Sementara itu, langit melambangkan keluasan ilmu dan kebijaksanaan. Dalam Asta Cita, prinsip ini diwujudkan melalui hilirisasi dan industrialisasi guna meningkatkan nilai tambah ekonomi dan daya saing global. Namun, di era digital, manipulasi informasi dan propaganda politik melalui pendengung (buzzers) dan pemengaruh (influencer) kerap mendistorsi informasi dan tidak ditujukan untuk memberikan wawasan yang objektif.

Angin mungkin tak terlihat, tetapi keberadaannya dirasakan. Ini tercermin dalam pembangunan dari desa untuk pemerataan ekonomi, memastikan pembangunan merata dan mengentaskan kemiskinan. Meski demikian, berbagai realitas penyelewengan ekonomi berskala makro tidak dapat diterima akal sehat keadilan, seperti pengkaplingan laut dan sungai, kecurangan penjualan BBM dan minyak goreng, atau hasil pertambangan. Realitas ini menggambarkan distribusi kekayaan Indonesia dikuasai segelintir kelompok elit dan bukan diorientasikan untuk kesejahteraan rakyat.

Bulan bersinar lembut dan membawa kedamaian. Dalam Asta Cita, prinsip ini diwujudkan melalui reformasi politik, hukum, dan birokrasi serta pemberantasan korupsi dan narkoba untuk menciptakan masyarakat yang aman. Namun, komunikasi publik yang sarat dengan kekerasan verbal, baik oleh pejabat negara maupun pendukungnya, justru menciptakan ketegangan sosial.

Bintang menjadi panduan di tengah kegelapan seperti yang dimanfaatkan pelaut Nusantara dulu dalam mengarungi samudra. Hal ini tercermin dalam harmoni lingkungan, budaya, dan toleransi beragama, yang bertujuan membangun masyarakat yang inklusif dan harmonis. Akan tetapi, kepemimpinan yang tidak berpegang pada nilai-nilai integritas sering kali menciptakan disorientasi moral dalam masyarakat dan melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan.

Di Semarang, dua orang anggota polisi digerebek warga tatkala memeras pengendara mobil. Di Puncak, Kabupaten Bogor, petugas polisi patroli digeruduk warga setelah dianggap bersikap arogan terhadap pengendara sepeda motor. Puncaknya, kelompok masyarakat sipil menerobos ruang rapat di hotel yang menjadi tempat melakukan kerja legislasi.

Peristiwa-peristiwa ini tidak dapat dipandang sederhana karena justru menunjukkan ketidakpercayaan publik sudah mengarah pada tahap koreksi sepihak. Tindakan sepihak ini mengandung nuansa batin yang tidak lagi berharap ada perbaikan oleh institusi itu sendiri seperti halnya penyaluran kritik dan aspirasi melalui demonstrasi. Rakyat mengambil tindakan sendiri terhadap segala penyimpangan yang ada. Peristiwa yang semula mikro dapat menjadi public statement dengan mendapatkan persetujuan umum melalui viralitas yang dimediasi media sosial.

Kontradiksi eksternal maupun internal yang melingkungi program Asta Cita membutuhkan kepekaan moral untuk mendengarkan sumbang saran dalam menjalankan Indonesia sebagaimana muasal Asta Brata yang merupakan nasihat yang diberikan Sri Rama kepada adiknya saat menjadi raja. Kepemimpinan ideal bahkan dalam khazanah cerita tradisional pun telah menempatkan fragmen mendengarkan sebagai laku pertama pelaksanaan kekuasaan untuk menghindarkan diri dari sikap menyombongkan kekuatan, kekuasaan, dan kepandaian yang dimiliki.

Terlebih di negara demokrasi, pemimpin yang alergi terhadap diskusi, demonstrasi, maupun aspirasi adalah sebuah anomali. Meningkatkan kekuatan mendengarkan perbedaan pendapat ini menjadi usaha penting menguatkan prinsip-prinsip Asta Brata yang sudah terkandung dalam Asta Cita yang digagas Presiden Prabowo. [*]

Baca juga:

 

Picture of Ubaidillah
Ubaidillah
Koordinator Tim Riset Keterlibatan Politik Digital Generasi Z, Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN. Tengah menekuni kajian bahasa dan politik digital.
Bagikan
Berikan Komentar