• Esai
  • Disahronikan:  Memorialisasi Digital Amuk Politik
Esai

Disahronikan:  Memorialisasi Digital Amuk Politik

“Disahronikan” bukan hanya kata, melainkan sebuah prasasti digital yang menuliskan: “Di sini pernah terjadi amuk. Hati-hati dengan kata-katamu.”

Disahronikan: Memorialisasi Digital Amuk Politik - Esai Ubaidillah
Disahronikan: Memorialisasi Digital Amuk Politik - Esai Ubaidillah

Artikel sebelumnya Dinepalkan: Dari Amuk ke Revolusi Terorganisir menganalisis bagaimana amuk politik yang awalnya sporadis dapat bertransformasi menjadi gerakan terorganisir, dengan Nepal sebagai cermin imajinasi politik bagi Indonesia. Fenomena dinepalkan telah menggambarkan bagaimana kata-kata dalam kolom komentar bisa menjadi pertukaran emosi politik kolektif.

Namun, evolusi leksikon politik digital Indonesia tidak berhenti di situ. Kini muncul turunan yang lebih personal dan sarat muatan historis: disahronikan.

Istilah ini berakar pada peristiwa nyata. Ahmad Sahroni, anggota DPR dari Partai NasDem, yang pernyataan kontroversialnya pada Agustus 2024 disebut-sebut sebagai salah satu pemicu langsung demonstrasi besar yang berujung pada kerusuhan dan penjarahan.

Rumah pribadi Sahroni menjadi salah satu sasaran amuk massa, dalam paralel yang nyaris serupa dengan peristiwa di Nepal, di mana rumah-rumah pejabat juga diserang sebagai simbol penolakan terhadap kesenjangan dan ketidakadilan.

Ketika kata “disahronikan” muncul kembali dalam percakapan digital, seperti dalam respons terhadap pernyataan anggota DPR tentang penanganan banjir Sumatera yang akan “disahronikan”, bukan sekadar lelucon atau sarkasme biasa. Kata ini adalah pengingat aktif tentang konsekuensi nyata dari retorika politik yang dianggap merendahkan atau mengabaikan penderitaan publik.

Memori kolektif digital

Tangkapan layar unggahan salah satu netizen di media sosial, menggunakan kata "disahronikan". (Dokumentasi: Ubaidillah)
Tangkapan layar unggahan salah satu netizen di media sosial, menggunakan kata “disahronikan”. (Dokumentasi: Ubaidillah)

Komentar “mau di sahronikan [sic] juga rumahnya kah?” menjadi penanda peringatan ironis yang menyiratkan: “Hati-hati, janji kosong bisa berbalik menjadi amuk politik nyata, seperti yang sudah terjadi.” Tidak lama setelah mengungkapkan pernyataan yang menyindir donasi masyarakat melalui tokoh publik untuk korban bencana Sumatera, akun media sosial Endipat Wijaya mendapat serbuan komentar.

Tindakan spamming ini telah lama menjadi tindakan politik di Indonesia (Ubaidillah, 2024). Viralitas yang dipicu tindakan spamming publik ini akhirnya mengundang media massa untuk menjadi bagian dari pergerakan algoritma dengan menyajikan berita yang menyajikan profiling dari si tokoh yang tengah menjadi sorotan. Bahkan viralitas ini pernah menyediakan contoh bagaimana koordinasi luring dan daring dalam investigasi mandiri publik terhadap kekayaan Rafael Alun yang akhirnya memaksa dia mundur dari Kementerian Keuangan.

Tindakan-tindakan tersebut menjadi rangkaian yang memintal memori kolektif digital. Masyarakat mengingatkan elite bahwa setiap pernyataan mereka dicatat, dikontekstualisasikan dengan sejarah, dan akan diuji dengan konsekuensi material.

Peristiwa Sahroni menunjukkan siklus baru amuk politik di era digital. Pernyataan kontroversial di media atau narasi yang dianggap arogan menjadi narasi menaikkan tensi digital. Kemudian mengalami eskalasi fisik melalui demonstrasi, kerusuhan, dan penjarahan sebagai bentuk kemarahan terorganisasi atau tidak terorganisasi. Terakhir, memorialisasi digital yang mengabadikan peristiwa fisik dalam leksikon, seperti “disahronikan”, yang kemudian hidup kembali sebagai alat kritik terhadap dinamika politik baru.

Dengan demikian, “disahronikan” berfungsi sebagai jembatan antara trauma kolektif masa lalu dan kewaspadaan politik masa kini. Setiap kali seorang pejabat menggunakan diksi yang mirip dengan narasi yang pernah memicu amuk, kata ini muncul sebagai “penanda bahaya” dari ruang komentar.

Jika di Nepal Discord menjadi ruang koordinasi revolusi terorganisir, di Indonesia platform seperti Twitter dan Instagram menjadi arsip afektif yang menyimpan emosi, sindiran, dan peringatan. Kata “disahronikan” adalah entri dalam arsip itu.

Fenomena ini juga menunjukkan bagaimana amuk yang pernah bersifat fisik dapat dialihkan menjadi tekanan digital yang terus-menerus. Alih-alih menjarah rumah untuk kedua kalinya, publik sekarang “menjarah” kredibilitas melalui sindiran yang viral, tagar, dan meme. Ini adalah bentuk disiplin sosial baru di era pasca-kerusuhan.

Kemunculan disahronikan pun menandakan bahwa publik tidak lupa, dan menggunakan setiap momentum untuk mengingatkan elite pada akuntabilitas dan retorika politik kosong semakin tidak efektif karena setiap frasa bisa dibongkar dan dikaitkan dengan sejarah kegagalan atau konflik. “Disahronikan” bukan hanya kata, melainkan sebuah prasasti digital yang menuliskan: “Di sini pernah terjadi amuk. Hati-hati dengan kata-katamu.”

Picture of Ubaidillah
Ubaidillah
Koordinator Tim Riset Keterlibatan Politik Digital Generasi Z, Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN. Tengah menekuni kajian bahasa dan politik digital.
Bagikan
Berikan Komentar