Gibran Rakabuming Raka, wakil presiden Indonesia hasil Pemilu 2024, menjadi legitimasi beberapa penggunaan budaya digital sebagai wujud protes. Padahal, sebelum menjabat, budaya digital justru dimanfaatkan Gibran untuk kampanye.
Tim kampanye Prabowo-Gibran secara strategis memakai karakter Naruto untuk baliho di Jogja. Gibran sendiri memakai pin berlambang bendera One Piece pada debat Pilpres 2024. Ia seolah ingin menunjukkan representasi anak muda yang mendominasi suara pemilih waktu itu.
Bertahun sebelumnya, Gibran aktif memproduksi dan mendistribusikan meme dari berbagai akun media sosialnya saat masih menjabat walikota Solo. Adegan-adegan debat Pilpres 2024 pun menunjukkan apa yang disebut Merlyna Lim meme-ability sehingga menopang viralitasnya tersirkulasi dalam media sosial, terutama Tiktok.
Kepiawaian Gibran menghadapi media ini diakui oleh Rosiana Silalahi dalam suatu siniar. Gibran berhasil mengompensasi kritisisme yang diterima dalam pemberitaan media massa karena skandal putusan Mahkamah Konstitusi yang memuluskan jalannya menjadi calon wakil presiden meski masih di bawah umur yang dipersyaratkan Undang-Undang Pemilu dengan mengoptimalisasi media sosial.
Arus balik performatif
Sepuluh bulan Prabowo dan Gibran menduduki tampuk kepresidenan Indonesia justru menandai semacam puncak arus balik performatif yang ditapakinya sebagai jalan politik. Gibran justru menjadi rujukan dan sasaran kritik menggunakan budaya digital. Sebuah lubang nyata dari prinsip performatif yang selalu terbuka untuk berbalik arah.
Dulu Gibran memakai wajahnya untuk dikombinasikan dengan tubuh Patrick Star dari serial Spongebob. Kini segala pernyataan atau visual dirinya bernilai meme-ability sebagai protes digital.
April 2025 lalu Gibran mengunggah video monolog menguraikan pandangannya mengenai bonus demografi dan masa depan Indonesia justru banjir dislike. Akhirnya kanal milik Gibran tersebut menyembunyikan tampilan dislike dalam video yang diunggah.
Anomali juga terjadi karena ada peningkatan masif terhadap impresi like terhadap video tersebut. Media sosial yang membantunya naik ke kursi wakil presiden, kini sudah tidak ramah lagi terhadap Gibran.
Fenomena bendera One Piece ini juga menandai apa yang bisa disebut sebagai “arus balik performatif” yang dialami Gibran di media sosial. Performativitas, atau upaya membangun citra tertentu melalui tindakan dan representasi, memang menjadi bagian tak terpisahkan dari politik modern.
Platform seperti X (Twitter) dan Facebook memungkinkan komentar berbentuk gambar menjadi saksi “arus balik” yang lebih deras dan kreatif. Di sinilah meme dan satire dari unggahan akun Kaskus bernama Fufufafa menemukan momentumnya. Akun Fufufafa sendiri pernah disangkakan milik Gibran.
Meme Fufufafa
Kejeniusan penggunaan meme berbasis Fufufafa ini terletak pada perlindungan relatifnya. Jika ada upaya hukum terhadap pengguna meme tersebut, logika akan menuntut bukankah pemilik teks asli (yang diasosiasikan dengan Gibran) juga harus ditemukan dan dipertanggungjawabkan?
Ini menciptakan dilema yang secara efektif melindungi ekspresi satire tersebut. Ditambah lagi, pernyataan-pernyataan resmi Gibran sendiri, seperti janji membuka “19 lapangan kerja“, lebih sering menjadi bahan meme kritik atau satire ketimbang dianggap serius. Itu memperdalam jurang antara citra yang ingin dibangun dan persepsi publik. Seperti kita ketahui bersama, persepsi publik dipengaruhi pula oleh skandal MK yang melibatkan Paman Gibran sendiri sebagai ketua MK.
Berkibarnya bendera One Piece dan menyebarnya meme Fufufafa adalah dua sisi dari mata uang yang sama, yaitu resistensi kreatif di era digital. Mereka menandai sebuah evolusi dalam berekspresi dan mengkritik.
Simbol fiksi menjadi jangkar harapan dan perlawanan, sementara perfomativitas politik di dunia digital justru bisa berbalik menjadi bumerang yang dimakan oleh mesin meme dan satire publik.
Bendera One Piece adalah kanvas tempat publik melukiskan kekecewaan, harapan akan kebebasan, dan sindiran tajam terhadap kekuasaan. Bendera ini bersama satire digital lainnya menjadi penanda demokrasi yang masih bernapas, meski terkadang harus bersembunyi di balik jolly roger bajak laut atau selubung anonimitas internet. Arus balik performatif telah dimulai, dan gelombangnya dibawa oleh bendera-bendera fiksi yang tiba-tiba menjadi sangat nyata.