• Esai
  • Algoritma Politik Era Prabowo
Esai

Algoritma Politik Era Prabowo

Kemajuan demokrasi di era digital tak bisa hanya bertumpu pada respons yang viral. Perlu komitmen kolektif menghindari distorsi sistematis.

Algoritma Politik Era Prabowo - Ubaidillah.
Algoritma Politik Era Prabowo - Ubaidillah. (ProPublika.id)

Presiden Prabowo Subianto akhirnya menetapkan Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang yang semula menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara berdasar Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2 – 2138 Tahun 2025 kembali menjadi bagian dari Provinsi Aceh.

Dokumen lama Keputusan Mendagri tentang kesepakatan antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara pada saat dijabat oleh Raja Inal Siregar disebut menjadi bukti administratif baru untuk mempertimbangkan kembali keputusan Mendagri yang diterbitkan pada April lalu.

Terlepas dari pertimbangan administratif, perubahan keputusan politik mengenai status empat pulau tersebut menunjukkan bagaimana hibriditas ruang politik semakin terbentuk melalui interaksi antara dunia virtual dan nyata. Setelah penerbitan keputusan Mendagri tersebut, algoritma media sosial dipenuhi video unjuk rasa masyarakat Aceh.

Media massa menampilkan demonstrasi mahasiswa membawa spanduk bertuliskan referendum. Berbagai komentar kritis publik pun menautkan akun Instagram Prabowo maupun akun kepresidenannya. Publik pun berkomentar langsung di dua akun Prabowo tersebut.

Distorsi Sistematis

Sebenarnya partisipasi politik secara hibrida dari publik ini kita dapat temukan pula sejak era pemerintahan Joko Widodo. Demonstrasi jalanan selalu dibarengi dengan pergerakan algoritma menaikkan trending topic mengenai substansi protes yang disampaikan.

Namun, partisipasi hibrida tersebut terdistorsi secara sistematis. Protes publik terbesar era Jokowi terjadi saat revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2019 dan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja pada 2020. Namun, pada 2019 muncul narasi tandingan yang bersentimen radikalisme, ditandai dengan mencuatnya kata Taliban.

Sementara pada 2020, Jokowi menyebut protes publik mengenai UU Cipta Kerja karena membaca hoaks mengenai draf undang-undang tersebut. Bahkan muncul Surat Telegram Kapolri bernomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 yang berisi antisipasi kepolisian ihwal unjuk rasa dan pemantauan situasi berpotensi konflik dalam rangkaian pengesahan rancangan undang-undang tersebut.

Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), implementasi surat telegram tersebut sebagai upaya kepolisian membangun opini publik untuk tidak setuju dengan aksi unjuk rasa dan melakukan kontra narasi isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah. ICW pun mencatat bahwa sejak 2014 belanja influencer semakin marak, bahkan hingga menyentuh Rp 90 miliar untuk periode 2012-2020.

Rangkaian peristiwa era Presiden Jokowi ini menunjukkan dinamika politik di dunia yang semula internet dirayakan karena membuka partisipasi publik dalam demokrasi, tetapi karena perbedaan penguasaan atau monopoli kapital dan kuasa—seperti disebut Ralph Schroeder (2018) dalam Social Theory after the Internet—media sosial masih menguntungkan kelompok elite.

Negosiasi Algoritma Secara Organik

Sebagai presiden yang kemenangannya dalam pemilu ditempuh menggunakan strategi apropriasi budaya digital dengan menggunakan animasi dan berjoget ala Tiktok, dinamika politik era pemerintahannya pun tidak dapat dilepaskan dari algoritma media sosial. Transisi kepresidenan antara Jokowi dan Prabowo sendiri ditandai dengan unjuk rasa besar-besaran di jalanan dan di media sosial karena menolak revisi Undang-Undang Pilkada setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah oleh partai politik pada 2024 lalu. Setelah menjabat Presiden, Prabowo pun menghadapi protes daring pertamanya tatkala rencana kenaikan PPN 12% yang dimandatkan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021.

Protes terhadap keputusan Mendagri mengenai pulau Aceh ini terjadi di waktu yang bersamaan dengan rencana pertambangan di pulau Gag yang menjadi bagian dari kawasan Raja Ampat dan penyusunan ulang sejarah Indonesia yang digagas Kementerian Kebudayaan yang dipimpin Fadli Zon.

Prabowo mengambil keputusan yang senada dengan protes publik, meski hanya membatalkan izin-izin perusahaan yang akan beroperasi di Raja Ampat dan membiarkan satu perusahaan BUMN tetap beroperasi. Sementara itu, Prabowo masih bergeming untuk isu yang terakhir.

Internet memang menimbulkan berbagai masalah, seperti peredaran hoaks, penipuan, hingga judi online yang menggerus ekonomi nasional—sesuai data PPATK. Namun, internet dan media sosial menjadi arena negosiasi politik yang tetap menjanjikan peningkatan kualitas demokrasi ketika dapat menangkap substansinya secara organik. Distorsi sistematis hanya akan menghasilkan kemunduran demokrasi, apalagi dibarengi dengan pemolisian, pemblokiran, bahkan pemutusan akses internet.

Keputusan Presiden Prabowo mengenai status empat pulau di Aceh, beserta respons terhadap protes daring terkait kenaikan PPN 12%, maupun pertambangan di Raja Ampat, menjadi gambaran awal bagaimana dinamika politik hibrida akan terus mewarnai pemerintahannya.

Meski menunjukkan kepekaan tertentu terhadap gelombang opini di ruang digital, godaan untuk melakukan distorsi sistematis tetap menjadi ancaman nyata. Kompleksitas ini menegaskan bahwa internet dan algoritma media sosial, meski berpotensi menjadi arena negosiasi politik organik yang memperkaya demokrasi, tetaplah pisau bermata dua.

Tantangan terbesar bagi rezim manapun adalah mengelola godaan untuk menjadikan algoritma sebagai alat kontrol. Seperti diingatkan oleh Schroeder, media sosial seringkali tetap menguntungkan kelompok elite yang menguasai kapital dan kuasa.

Oleh karena itu, kemajuan demokrasi di era digital tidak bisa hanya bertumpu pada respons terhadap protes viral, tetapi memerlukan komitmen kolektif untuk menghindari distorsi sistematis melalui pemolisian, pemblokiran, atau pemutusan akses. Kesadaran bahwa algoritma harus difungsikan sebagai fasilitator partisipasi kolektif yang inklusif perlu ditumbuhkan dan dijaga secara konsisten oleh pemerintah, media, dan warga negara.

Baca juga:

Picture of Ubaidillah
Ubaidillah
Koordinator Tim Riset Keterlibatan Politik Digital Generasi Z, Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN. Tengah menekuni kajian bahasa dan politik digital.
Bagikan
Berikan Komentar