Penulisan nama primata ini sering menimbulkan kebingungan. Banyak yang menulis ‘orang utan’, tak sedikit pula yang menggunakan ‘orangutan’. Lalu, mana yang benar?
Dari penelusuran penulis, ada banyak versi soal penulisan satwa unik ini. Kami jabarkan seluruh versi yang kami temukan sebagai pertimbangan.
Selain itu, untuk menambah pengetahuan bahwa persoalan bahasa sejatinya tak pernah mutlak. Ia merupakan konsensus pada lingkungan tertentu di waktu tertentu.
Menurut KBBI
![kbbi orangutan atau orang utan](https://propublika.id/wp-content/uploads/2025/01/Hijau-Gelap-Coklat-Islami-Kartu-Ucapan-Hari-Raya-Idul-Fitri-3-e1738129448726.png)
Dalam bahasa Indonesia, penulisan yang benar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah ‘orang utan’ atau dengan spasi. Kata ini berasal dari bahasa Melayu, yaitu ‘orang’ yang berarti manusia karena primata ini punya ciri-ciri mirip manusia, dan ‘utan’ yang berarti hutan.
Penggabungan kedua kata ini membentuk istilah yang merujuk pada primata (mirip manusia) yang hidup di hutan. Penulisan ‘orangutan’ tanpa spasi menurut KBBI merupakan bentuk tidak baku.
Keterangan di KBBI adalah sebagai berikut:
o.rang u.tan bentuk tidak baku: orangutan n kera besar dan kuat yang hanya terdapat di hutan di Sumatra dan Kalimantan, berambut merah kecokelat-cokelatan, tidak berekor, pemakan buah-buahan, daun, dan kuncup; mawas [Pongo pygmaeus]
KBBI biasanya digunakan untuk penulisan formal, seperti di kampus, jurnal, media massa, dan penelitian. Namun, ada juga sejumlah kampus hingga media massa yang menggunakan penulisan tidak sesuai dengan KBBI.
Biasanya hal tersebut disebabkan atas sejumlah alasan kuat. Misalnya, institusi yang tidak mengikuti KBBI punya bukti kuat lain sehingga tak merujuk penulisan KBBI.
Hal ini disebut ‘selingkung’, gaya bahasa dan penulisan yang digunakan terbatas pada satu lingkungan. Kita bisa menjumpai, misalnya, penulisan di media massa Tempo dalam beberapa hal berbeda dengan Kompas. Keduanya pun kadang berbeda dengan KBBI.
Institusi yang menulis ‘orangutan’ (tanpa spasi)
![orangutan atau orang utan](https://propublika.id/wp-content/uploads/2025/01/Screenshot-2025-01-29-at-12.55.24.png)
Sementara itu, penulisan ‘orangutan’ tanpa spasi banyak penulis temukan dalam bahasa Inggris, media massa, dan organisasi yang fokus pada perlindungan satwa. Misalnya, dalam Merriam Webster, kamus yang diterbitkan di Amerika Serikat sejak 1828. Berikut keterangan di Merriam Webster:
Orangutan, noun orang·u·tan - ə-ˈraŋ-ə-ˌtaŋ : any of several largely herbivorous arboreal anthropoid apes (Pongo pygmaeus, P. abelii, and P. tapanuliensis) of Borneo and Sumatra that are about ²/₃ as large as the gorilla and have brown skin, long sparse reddish-brown hair, and very long arms
Dalam publikasi ilmiah dan media internasional, istilah ‘orangutan’ digunakan sebagai nama resmi spesies ini. Hal itu juga dilakukan oleh organisasi non-pemerintah sampai media massa.
Secara umum, penulisan ‘orangutan’ (tanpa spasi) digunakan untuk membedakan dengan ‘orang utan’ (dengan spasi). Jika ‘orangutan’ (tanpa spasi) merujuk satwa primata yang hidup di hutan, ‘orang utan’ (dengan spasi) merujuk orang atau manusia yang hidup dan tinggal di dalam hutan.
Mana yang benar?
Perbedaan penulisan ini tidak bisa ditempatkan dalam konteks benar atau salah. Sebab, bahasa sejatinya merupakan konsensus atau kesepakatan sebuah komunitas di waktu tertentu dan tempat tertentu.
Di sisi lain, bahasa adalah sesuatu yang dinamis. Artinya, ia tidak bisa berlaku tetap terus-menerus. Dalam konteks bahasa Indonesia, misalnya, ejaan berubah dari waktu ke waktu: Ejaan Van Ophuijsen (1901), Ejaan Soewandi (1947), Ejaan Yang Disempurnakan (1972), Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan (1975), dan seterusnya.
Di masa ejaan Van Ophuijsen (1901), penulisan ‘u’ adalah ‘oe’. Misalnya ‘boekoe’ yang kemudian disepakati diganti dengan ‘buku’ pada Ejaan Soewandi (1947) dan seterusnya. Artinya, tidak ada istilah atau penulisan yang tetap atau benar-benar pasti.
Dengan penjabaran tersebut, kita bisa menyesuaikan penulisan ‘orangutan’ atau ‘orang utan’ sesuai tempat kita menulis. Ikuti kebijakan sesuai institusi yang akan memuat tulisan, apakah mereka mengacu KBBI atau acuan lain. Hal tersebut bisa menjadi jalan tengah. [*]
Referensi: