Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Kelly Jakubowski, Durham University
***
Seiring perjalanan waktu, setiap orang memiliki lagu dan musik favorit masing-masing. Dari sekian banyak genre musik, lagu, dan karya instrumental yang terekam di memori, ada beberapa trek musik yang selalu terngiang dan mengena di hati setiap individu. Uniknya musik tersebut dilantunkan bukan dari artis musik melainkan sebuah (brand). Kita mengenal instrumen musik ini dengan sebutan jingle.
Jingle memiliki sejarah panjang dalam industri periklanan. Jingle radio pertama yang diketahui di Inggris—Have You Tried Wheaties?—diluncurkan pada tahun 1926. Sejak saat itu, jingle menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari kita. Sedangkan di Indonesia, lirik “Indomie Seleraku” dari Indomie mungkin salah satu jingle yang paling diingat masyarakat lintas generasi.
Penelitian terbaru menyatakan bahwa sebagian dari sepuluh jingle yang paling dikenal oleh masyarakat di Inggris sudah ada sejak tiga hingga empat dekade lalu. Meskipun situs perbandingan Go Compare berada di puncak daftar, jingle Mars “work, rest and play” (dihentikan pada pertengahan 1990-an) dan bahkan Shake ‘n’ Vac dengan “put the freshness back” (1980) masih terngiang-ngiang di kepala mereka yang disurvei.
Jadi, mengapa lirik-lirik iklan tersebut begitu melekat pada kita? Apa dampaknya terhadap keputusan pembelian kita?
Menciptakan ‘earworms’
Jingle-jingle terekam di dalam otak dengan berbagai pendekatan. Para merek menggunakan lagu-lagu yang easy listening. Misalnya, jingle Go Compare menggunakan lagu tradisional Over There dan memasangkannya dengan elemen visual komik berupa penyanyi opera yang berlebihan. Kampanye “Just one Cornetto” (diluncurkan pada 1981) juga menggunakan melodi klasik (O sole mio) yang diubah untuk menjual es krim.
Jingle lain memanfaatkan elemen musik yang membuatnya menjadi “earworms” — yaitu nada-nada yang terus melekat di kepala kita, suka atau tidak suka. Dalam penelitian terhadap musik pop, tim saya menemukan bahwa lagu-lagu yang cenderung menjadi earworm memiliki tempo yang ceria—bahkan membuat orang ingin ikut menari. Banyak jingle seperti “Do the Shake ‘n’ Vac” dan I feel like Chicken Tonight mengikuti pola ini.
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa ketika orang ikut bergerak atau bernyanyi mengikuti lagu yang menarik, mereka lebih mungkin menerima lagu-lagu tersebut sebagai earworms. Kami juga menemukan bahwa ketika seseorang mengalami earworm untuk lagu yang baru saja dipelajari, mereka akan lebih mengingatnya nanti.
Lirik berperan penting dalam membuat lagu atau produk mudah diingat. Lirik aliteratif seperti “Maybe it’s Maybelline” dan “Indomie Seleraku” di Indonesia memastikan bahwa bahkan konsumen yang belum pernah mendengar merek ini akan mudah mengingat namanya ketika berada di toko.
Menemami kita tumbuh
Bukan hanya fitur musik yang membuat jingle melekat begitu kuat dalam ingatan, konteks di mana kita mendengarnya juga ikut berperan. Artinya, musik sering kali erat kaitannya dengan kenangan otobiografi dari hidup kita.
Mendengar jingle dari masa kecil kita bisa membawa kembali bukan hanya kenangan tentang lagu itu sendiri, tetapi juga ruang tamu tempat kita tumbuh, dan perasaan duduk bersama keluarga di depan TV. Karena itu, jingle dapat menjadi pemicu kuat nostalgia.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa periode ketika kita berusia sekitar sepuluh hingga 25 tahun cenderung paling mudah diingat dengan jelas. Isyarat musik juga paling efektif dalam memicu kenangan dari periode ini, yang dikenal sebagai “reminiscence bump”.
Sejalan dengan hal ini, riset konsumen yang sama juga mengungkapkan tingkat pengenalan jingle yang berbeda di setiap kelompok usia. Misalnya, bagi generasi milenial, jingle McDonald’s “I’m lovin’ it” berada di peringkat kedua dalam daftar jingle yang paling dikenal, dan “Maybe it’s Maybelline” menempati peringkat kelima.
Beberapa merek secara eksplisit juga bertujuan untuk menggabungkan elemen nostalgia dengan tetap mengikuti tren. Maybelline baru-baru ini memperbarui jingle-nya dengan memasukkan unsur musik dansa untuk menarik perhatian generasi Z. Tapi Maybelline juga tetap mempertahankan ciri khas jingle klasik tahun 1990-an yang menghubungkan milenial dengan masa muda mereka.
Jadi, apakah membuat jingle yang mudah diingat membantu menjual produk? Singkatnya, iya.
Penelitian yang meneliti dua pilihan produk dari kategori yang sama (misalnya, kamera) menunjukkan bahwa produk yang dialunkan dengan melodi yang akrab lebih cenderung dipilih daripada yang diiringi dengan melodi yang tidak dikenal.
Namun, menyukai musik juga secara independen memengaruhi pilihan produk. Secara khusus, musik yang sangat tidak disukai peserta cenderung membuat mereka tidak memilih produk tersebut, bahkan jika lagunya akrab. Ini menunjukkan bahwa pengiklan perlu mempertimbangkan preferensi musik target pasar mereka dengan hati-hati, selain sekadar menulis lagu yang menarik.
Musik memiliki kekuatan kuat atas ingatan kita. Musik dapat membantu kita belajar alfabet, membawa kita kembali ke tarian pertama di pernikahan kita, hingga membantu kita mengingat dengan mudah, produk pembersih mana yang menjanjikan mesin cuci terawet.
Kelly Jakubowski, Associate Professor in Music Psychology, Durham University