JAKARTA – Survei Nasional Kawula17 (NKS) kuartal tiga 2025 mengungkap paradoks menarik dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). MBG menjadi inisiatif pemerintah yang paling dikenal masyarakat dengan tingkat kesadaran mencapai 71%.
Namun, popularitas ini tidak berbanding lurus dengan efektivitasnya. Isu pelaksanaan program yang tidak transparan dan maraknya kasus keracunan (45%) menempati posisi ketiga sebagai isu yang dianggap masyarakat perlu segera diselesaikan pemerintah.
Pemerintah didesak untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola dan keberlanjutan program yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan gizi anak sekolah ini.
NKS merupakan survei per kuartal dengan metode Computer Assisted Self Interviewing (CASI) atau survei daring. Pengumpulan data pada kuartal tiga 2025 dilakukan pada 26-29 September 2025, melibatkan 404 responden representatif berusia 17-44 tahun dari seluruh Indonesia dengan margin of error 5%.
Kasus Keracunan Mendorong Kekhawatiran Publik
Hingga Oktober 2025, Jaringan Pemantauan Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat adanya 13.168 kasus keracunan siswa penerima MBG di berbagai daerah. Lonjakan kasus ini turut mendorong perhatian publik, menjadikan MBG (45%) sebagai satu-satunya isu non-ekonomi yang masuk dalam sepuluh besar kekhawatiran masyarakat pada Q3 2025, bersanding dengan isu dominan seperti pengangguran (48%) dan transparansi penggunaan anggaran negara (47%).
Perhatian masyarakat terhadap urgensi penyelesaian isu MBG juga meningkat signifikan, yaitu lebih dari 30% dibandingkan kuartal dua 2025 (15%). Program Manager Kawula17, Maria Angelica, menyoroti tingginya ketidakpuasan ini sebagai sikap kritis masyarakat terhadap kebijakan pemerintah.
“Kekhawatiran masyarakat terhadap program MBG bukan tanpa alasan. Ini menjadi catatan penting bagi pemerintah untuk benar-benar membenahi program MBG agar manfaatnya dapat dirasakan para penerima program, yaitu anak-anak sekolah,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Minggu (26/10/2025).
Tata Kelola dan Kualitas Pangan Disorot
Ketidakpuasan masyarakat dalam program MBG tercermin dari peningkatan warga yang merasa (sangat) tidak puas dengan program MBG sebesar +7% pada kuartal tiga 2025 dibandingkan kuartal satu 2025. NET skor MBG juga mengalami penurunan signifikan (-9%) dari kuartal satu 2025 (15%) menjadi 6% pada kuartal tiga.
Kritik juga datang dari para ahli, terutama terkait sistem penyediaan pangan gizi yang dinilai tidak akuntabel serta keterlibatan pihak non-ahli, termasuk unsur militer, dalam rantai pelaksanaannya. Pengamat politik, Made Supriatma, mengatakan pendekatan command and control menjadikan MBG sangat tersentralisasi dan sulit dievaluasi di tingkat daerah.
“Program ini terlalu bergantung pada struktur birokrasi dan kekuasaan, bukan pada kebutuhan penerima manfaat,” tegasnya.
Ketidakpuasan ini juga selaras dengan tuntutan untuk memperbaiki tata kelola program, menjamin kualitas makanan, serta meningkatkan transparansi pengelolaan keuangan dan manajerial.
Salah satu tuntutan tersebut berhubungan langsung dengan belum terwujudnya penggunaan pangan lokal dalam MBG, yang lebih sering menggunakan ultra processing food. Padahal, 53% masyarakat memiliki pandangan bahwa sistem pangan nasional perlu dibangun berdasarkan pangan lokal.
MBG: Simbolisme, Bukan Solusi Struktural
Survei NKS kuartal tiga 2025 juga menemukan isu mendasar dunia pendidikan. Rendahnya gaji guru honorer (28%) dan mahalnya biaya pendidikan (27%), masih menjadi isu utama. Namun, pemerintah justru menonjolkan MBG sebagai solusi cepat.
Maria Angelica mengkritik pendekatan ini, menyebutnya lebih bersifat simbolik ketimbang struktural. “MBG diposisikan sebagai penanda keberhasilan, padahal akar masalah pendidikan sendiri belum tersentuh,” lanjutnya.
Tuntutan Evaluasi Menyeluruh
Dengan data-data tersebut, Maria Angelica menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh program MBG, khususnya terkait transparansi, mekanisme pengawasan, dan partisipasi publik.
“Program sebesar dan sepenting ini harus dikelola dengan sistem yang jelas, akuntabel, dan berpihak pada penerima manfaat,” kata Maria.
Ia menambahkan bahwa tanpa pembenahan dari dasar, kebijakan ini berisiko mengulang kesalahan yang sama dan gagal menjawab kebutuhan masyarakat.
Baca juga:
