JAKARTA – Di tengah momentum peringatan 80 tahun kemerdekaan RI, Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi UU Kehutanan mendesak Panitia Kerja DPR agar lebih terbuka dalam proses revisi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sejak dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas 2024–2029, revisi dianggap tertutup dan tidak sesuai prinsip partisipasi bermakna.
UU Kehutanan juga dinilai mewarisi praktik hukum kolonial yang keliru menafsirkan Hak Menguasai Negara (HMN). Arif Adi Putro, juru bicara Koalisi dari Indonesia Parliamentary Center, mengungkapkan konsultasi revisi UU Kehutanan sudah berlangsung tiga kali.
“Dua kali di antaranya digelar tertutup dan tanpa dokumentasi publik, bahkan tidak tersedia rekaman di kanal YouTube parlemen. Publik tidak tahu apa yang dinegosiasikan Komisi IV dengan asosiasi pengusaha. Dokumen rancangan undang-undang pun tidak dibuka, sementara forum dengan masyarakat sipil sangat terbatas. Proses legislasi ini jauh dari prinsip keterbukaan,” tegasnya.
Koalisi menolak revisi disahkan secara tiba-tiba tanpa partisipasi publik. “Risikonya rakyat dan masyarakat adat bisa kehilangan kebun, rumah, dan hutan mereka yang sepihak diklaim sebagai kawasan hutan negara,” lanjut Arif.
Hal senada disampaikan Rendi Oman Gara dari Perkumpulan HuMa. Ia mempertanyakan, “Benarkah bangsa Indonesia sudah benar-benar terbebas dari penjajahan di usia ke-80?”
Menurutnya, persoalan struktural kehutanan masih membelenggu bangsa. “Penjajahan atas rakyat bermula ketika kolonial merebut hutan sebagai sumber agraria untuk dieksploitasi, dengan menetapkan hutan sepenuhnya milik negara. Model penjajahan ini masih terlihat saat negara sepihak mengklaim kawasan hutan sebagai milik negara,” ujarnya.
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, menilai UU Kehutanan tidak sejalan dengan amanat UUPA 1960 yang menegaskan negara hanya sebagai pengatur tanah dan sumber daya alam.
“Selama 26 tahun implementasi, UU Kehutanan gagal memerdekakan rakyat, justru menyengsarakan dengan mengeksklusi mereka dari tanah sebagai sumber kehidupan,” tegas Dewi.
Pandangan senada disampaikan Tsabit Khairul Auni dari Forest Watch Indonesia (FWI). Menurutnya, konsep HMN dalam Pasal 4 UU Kehutanan masih diwarisi dari asas domein verklaring era kolonial Belanda.
Ia menyebut, data FWI 2025 menunjukkan 65,26 persen daratan dan perairan Indonesia diklaim sebagai kawasan hutan negara. Proses penunjukan hingga penetapan berlangsung tanpa keterbukaan.
“Sementara itu, deforestasi terus terjadi dengan rata-rata 2,01 juta hektare per tahun dalam periode 2017–2023. Semua ini membuktikan tata kelola hutan gagal memerdekakan rakyat,” jelasnya.
Sadam Afian Richwanudin, peneliti Madani Berkelanjutan, menambahkan bahwa kebijakan kehutanan gagal menjaga kelestarian hutan.
“Pada 2024, hutan yang hilang mencapai 216 ribu hektare, sementara karhutla hingga pertengahan tahun sudah membakar 115 ribu hektare. Rakyat di sekitar hutan kehilangan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dijamin Konstitusi,” katanya.
Nora Hidayati dari Perkumpulan HuMa juga menyoroti lemahnya pengawasan dalam UU Kehutanan.
“Fungsi pengawasan sangat lemah, padahal pengawasan adalah kunci melindungi hak rakyat dan menjaga kelestarian lingkungan. UU Kehutanan terbukti gagal memerdekakan rakyat dalam mengakses sumber-sumber agraria, justru negara yang mengambilnya,” tegasnya.
Koalisi menegaskan, kemerdekaan sejati berarti terbebas dari konflik agraria, perampasan ruang hidup, dan kriminalisasi. Karena itu, mereka mendesak perombakan total UU Kehutanan 1999 dan pembentukan regulasi baru yang menjamin keadilan agraria-ekologis, mengakui hak masyarakat adat, serta disusun secara transparan dengan partisipasi publik bermakna.
Baca juga :