Dewasa ini terdapat berbagai jenis diet yang populer dan banyak dicoba. Ada diet yang mengatur waktu makan, ada yang berbasis sayuran dan buah tanpa konsumsi daging, ada yang membatasi asupan lemak, hingga mengatur komposisi nutrisi. Lalu, mana diet terbaik untuk kita?
Khoirul Anwar, Ketua Yayasan Makanan dan Minuman Indonesia (YAMMI), mengatakan pemahaman soal diet perlu diluruskan terlebih dahulu. Dari pengamatannya, ia menilai orang kerap kali berpikir bahwa diet berarti mengurangi berat badan.
“Padahal, sebenarnya diet berarti mengatur pola makan. Secara ilmiah, pola makan yang baik itu yang menerapkan gizi seimbang, seperti yang diusung ‘Selaras’,” kata Khoirul dalam keterangan tertulis, Sabtu (23/11/2024).
Selaras adalah akronim dari seimbang, lokal, alami, beragam, dan sadar. Ia adalah panduan makan sehat dan berkelanjutan yang dirilis Eathink.
Jaqualine Wijaya, CEO dan Co-founder Eathink mengatakan, panduan tersebut menekankan keseimbangan dalam hal komposisi zat gizi, bahan pangan lokal, meminimalkan zat kimia dalam bahan pangan, serta mengedepankan keragaman bahan pangan dalam satu piring.
Ia menyatakan panduan ini mengedepankan pola makan sehat dan ramah lingkungan tanpa harus mengeluarkan banyak uang. “Dan menerapkan mindful eating,” kata Jaqualine.
Hindari makanan bersisa
Khoirul mengatakan, banyak orang muda sudah paham tentang makanan sehat, yakni dengan kelengkapan kebutuhan tubuh. Di rumah, orang melengkapi kebutuhan makan dengan nasi, lauk, sayur, dan buah.
Namun demikian, ia menekankan pentingnya untuk mengoptimalkan apa yang ada di meja makan. Kadang kala makanan sehat sudah tersedia, tapi konsumsinya tidak optimal. Ujung-ujungnya, kata dia, malah membuang-buang zat gizi.
“Misalnya, porsi protein di piringnya sudah sesuai dengan kebutuhan, tapi hanya dikonsumsi setengah saja, hingga akhirnya menjadi food waste. Hal ini perlu dicegah agar tidak sampai terjadi. Zat gizi yang sudah tersedia malah terbuang sia-sia,” kata Khoirul.
Tak harus puasa makanan viral
Berkat media sosial, suatu jenis makanan atau minuman baru gampang sekali jadi viral. Karena tampilannya menggoda dan antreannya panjang, tidak aneh kalau kita turut membeli. Ternyata, kesadaran akan makan sehat bukan berarti tidak boleh menjajal makanan viral, lho.
Khoirul mengatakan, hal itu memang tidak masalah. Ia kembali menekankan pentingnya kesadaran dalam mengonsumsi makanan. Kata kuncinya adalah ‘secukupnya’.
“Negatifnya kalau mencobanya terlalu banyak dan jadi kebablasan,” kata Khoirul, yang juga merupakan dosen Program Studi Gizi, Fakultas Teknologi Pangan dan Kesehatan, Universitas Sahid Jakarta.
Ia menyarankan agar kita menyusun jadwal khusus untuk mencicip makanan baru, misalnya satu atau dua kali dalam satu minggu. Tujuannya untuk sekadar mengetahui. Jika sudah melihat dan mencicipi, kita bisa mengidentifikasi plus dan minus dari makanan tersebut, sehingga kemudian bisa memutuskan apakah makanan tersebut baik bagi tubuh.
Jaqualine menyebutkan, tidak ada makanan yang benar-benar salah, kecuali dikonsumsi berlebihan. Konsep utamanya adalah makan seimbang dalam paduan Selaras. Misalnya, kalau siang tadi sudah mengonsumsi makanan viral sarat gula, sore hari sebaiknya tidak lagi ngemil makanan yang bergula juga.
Pilih makanan dari sekitar kita
Karena kita banyak membaca rekomendasi bahan makanan dari sumber informasi luar negeri, maka pangan bergizi tinggi yang kita ketahui antara lain salmon dan whole grain. Padahal, whole grain tidak menjadi produk utama di Indonesia. Indonesia pun bukan penghasil utama ikan salmon.
Khoirul menyatakan, soal kacang-kacangan, orang akan berpikir tentang almond. Padahal, kacang hijau yang harganya murah dan banyak tersedia di pasaran Indonesia punya nilai gizi tinggi. “
Seto Nurseto, finalis Masterchef Indonesia dan Dosen Antropologi Universitas Padjadjaran, menjelaskan, makan merupakan bentuk adaptasi manusia untuk bertahan hidup. Hal itu berpengaruh terhadap kebiasaan makan di setiap daerah di Indonesia.
Ia mencontohkan, konsumsi ayam pada masyarakat di kepulauan akan lebih sedikit daripada konsumsi hasil laut. Dan, setiap daerah akan mengembangkan makanan dari komoditas lokal mereka.
“Tradisi dan kepercayaan juga memengaruhi apa yang boleh dan tidak boleh dimakan oleh suatu kelompok masyarakat. Misalnya, satu daerah melarang konsumsi sidat, karena mereka beranggapan bahwa sidat merupakan kerabat jauh mereka. Ada juga yang menganggap sidat adalah hewan keramat yang hidup di mata air, sehingga harus dijaga dengan baik. Padahal, sidat mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi,” kata Seto, yang secara khusus mengajar bidang kajian makanan dan kebudayaan.
Bicara soal pangan lokal, Khoirul menerangkan, kelokalan itu bisa berdasarkan komoditas setempat. Sebutlah, daerah Bogor punya kacang bogor. Hal tersebut menjadi nilai positif, karena masyarakat Bogor memanfaatkan potensi pangan di daerahnya. Hal itu bisa dioptimalkan untuk makanan seimbang.
Processed food tak selalu salah
Seto menyebutkan, setiap kelompok masyarakat mempunyai cara sendiri dalam mengolah makanan sesuai pengetahuan dan teknologi yang dimiliki. Dalam konteks budaya, itulah proses terbaik di daerah tersebut. Contohnya, dari sumber daya yang berlimpah, masyarakatnya akan membuat olahan untuk menambah usia penyimpanan makanan.
“Misalnya, olahan fermentasi mandai di Banjarmasin. Mandai terbuat dari kulit cempedak yang difermentasi untuk menambah umur simpan. Mereka juga mempunyai suplai ikan air tawar yang melimpah, sehingga mengembangkan olahan fermentasi iwak makasam,” kata Seto, mencontohkan.
Khoirul menambahkan, masyarakat Indonesia memiliki beragam budaya makan dengan berbagai proses pemasakan makanan. Ia mengatakan proses pengolahan makanan memang bisa menurunkan zat gizi. Kendati demikian, sebenarnya kita dapat menambahkan zat gizi yang hilang.
Bicara soal proses fermentasi, Khoirul menyatakan kandungan gizi dalam makanan yang difermentasi masih bagus. Namun, ketika makanan fermentasi itu diolah lagi dengan cara digoreng, kandungan gizinya jadi berbeda kendati bahan pangannya sama.
Ia menegaskan, processed food tidak selalu salah. Sebab, memproses makanan sebenarnya merupakan bagian dari kebutuhan untuk memperpanjang daya simpan suatu makanan.
“Yang menjadi masalah adalah kita terpapar oleh beragam processed food dengan berbagai karakter berbeda. Kita harus punya awareness yang tinggi dalam memilah makanan yang aman dan bergizi.”
Banyak orang berpendapat bahwa makanan sebaiknya dimasak sendiri. Namun, Khoirul melihat, pada kenyataannya tidak semua orang punya waktu yang cukup untuk memasak. Soalnya, memasak itu bukan hanya urusan memproses bahan makanan saja. Proses memasak dimulai dari belanja, menyimpan bahan, mempersiapkan bahan, memasak, hingga menyimpan makanan yang berlebih.
Coba tanam sendiri
Pada 2022 International Food Information Council (IFIC) mengadakan survei Makanan dan Kesehatan terhadap Gen Z. Survei itu mengungkap, lima puluh persen Gen Z mengatakan pilihan makanan dan minuman mereka memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap lingkungan.
Salah satu yang dikenal punya dampak baik terhadap lingkungan adalah bahan pangan organik. Praktik pertaniannya tidak merusak lingkungan. Produk yang diklaim organik mempunyai sertifikasi dan label tersendiri. Inilah yang membuat harga suatu bahan pangan jadi melonjak. Solusinya apa?
“Kalau ingin bahan pangan yang sehat dan murah, tanam sendiri saja. Sistem yang sedang hangat dibicarakan adalah agroekologi, yang meniru sistem agroforestry. Di dalam satu kawasan hutan terdapat berbagai jenis tanaman. Dengan sendirinya ekosistem di situ akan terbangun. Contohnya, hewan apa yang seharusnya bermunculan serta tumbuhan yang ditanam untuk mencegah hama, sehingga tidak perlu menggunakan pestisida yang mengganggu ekosistem,” kata Jaqualine.
Secara sederhana, prinsip bercocok tanam ini juga bisa dipraktikkan di rumah. Seandainya Anda memiliki kebun kecil di rumah, tanamlah dengan berbagai jenis tanaman. Konsep agroekologi ini tak memerlukan halaman yang luas. Hanya saja, kata Jaqualine, ada sejumlah prinsip yang perlu diterapkan. Salah satunya tidak memakai pupuk kimia yang berpotensi merusak tanah dan menurunkan produksi hasil kebun.
Salah satu tujuan agroekologi adalah menjaga biodiversitas. “Saat ini sebagian orang Indonesia cenderung mengonsumsi satu jenis pangan pokok, meskipun kita memiliki keberagaman sumber pangan lokal lain, khususnya konsumsi beras sebesar 13-46 kali lebih banyak dibandingkan jenis lain. Kita perlu menerapkan keragaman dalam piring kita agar biodiversitas terjaga,” kata Jaqualine.
***
Baca juga: