Oleh Daniel Dhakidae*
Bagian Pertama dari Dua Tulisan
PADA tahun 1952 Profesor Andries Teeuw menerbitkan Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru, yang kemudian diterbitkan pada tahun 1967 menjadi Modern Indonesian Literature. Hampir tidak ada siswa Indonesia—untuk tidak menyebut masyarakat sastra—melepaskan bangku Sekolah Menengah Atas tanpa berkenalan dengan profesor Teeuw melalui buku tersebut atau cerita tentang buku itu. Sejak itu Teeuw selangkah demi selangkah mengukir posisinya di dalam dunia sastra Indonesia.
Dalam perjalanan waktu, tempat itu hampir-hampir tidak bisa direbut lagi dari dirinya. Praktis dia yang menciptakan sastrawan Indonesia: yang diangkat menjadi sastrawan itulah sastrawan; dan mungkin ada sejumlah penulis yang “tiba-tiba” bertengger di atas “kursi sastrawan” karena namanya disebut Teeuw.
Dengan selang-seling puluhan bahkan ratusan karya lain, kecil dan besar, baik dalam ukuran maupun dalam bobot dan tema, maka pada akhir tahun 1993—setelah mengumpulkan bahan, dokumen, korespondensi, wawancara, dan lain-lain yang memakan waktu lebih dari empatpuluh tahun—terbit lagi sebuah buku di Belanda, Pramoedya Ananta Toer, de Verbeelding van Indonesi, oleh penerbit De Geus, Breda, Belanda. Dalam bahasa Indonesia kira-kira bisa diterjemahkan menjadi ‘Pramoedya Ananta Toer, Membangun Citra Indonesia’; atau bisa juga ‘Indonesia dalam Imajinasi Pramoedya Antanta Toer’.
Hampir sia-sia bila seorang membuka lembar demi lembar buku ini untuk mencari alasan yang dikemukakan secara eksplisit mengapa menulis buku itu dan mengapa harus memakan waktu selama itu. Profesor Teeuw juga tidak memberikan alasan mengapa pilihannya jatuh pada Pramoedya Ananta Toer. Perjalanan harus melingkar untuk menjawab pertanyaan mengapa. Setelah tamat, baru pembaca tahu bahwa tidak ada penjelasan yang lebih baik daripada menamatkan buku itu sendiri untuk memahami alasannya. Dengan kata lain, buku inilah alasan-nya, buku ini pula tujuan-nya, dan buku ini pula penjelasan- nya. Membubuhkan satu kalimat lagi tentang alasan penulisan menjadi berlebih-lebihan, dan hanya membuang waktu dan ruang, meski hanya untuk selembar kertas tambahan.
Tiga soal besar, yang dibahas buku setebal 400 halaman ini, akan dibicarakan berturut-turut di bawah. Pertama, Pramoedya Ananta Toer, manusia dan lingkungan dirinya sendiri—fisik, sosial, ekonomi-politik. Kedua, karya-karya sang penulis. Ketiga, tafsiran seorang pembaca.
Pramoedya Ananta Toer: Manusia dan Buminya
Suatu karya sastra selalu menampilkan soal: Apakah lingkungannya harus dikenal untuk memahami suatu karya? Atau, lupakan lingkungan, dan masuk ke dalam karya seorang penulis. Profesor Teeuw tidak mempedulikan debat itu karena untuk memahami Pramoedya Ananta Toer ternyata lingkungan sama penting seperti karyanya, dan karyanya sama penting seperti orangnya; karyanya adalah hasil pengolahan lingkungan; orangnya adalah produk lingkungan—ekonomi-politik; lingkungan, karya, dan manusia-penulis seolah-olah lumer jadi satu dalam diri Pramoedya Ananta Toer.
Pramoedya lahir di Blora, 6 Februari 1925. Bapaknya berasal dari Klaten, atau tepatnya lahir di Klaten, Jawa Tengah, kalau bukan orang Klaten; seorang guru tamatan Kweekschool, Yogyakarta; karena itu dia mengenyam pendidikan yang diberikan dalam bahasa Belanda; itu juga menunjukkan di mana posisi sosial sang bapak. Setelah tamat, mengajar di Hollandsch-Inlandsche School (H.I.S) Rembang; juga suatu sistem sekolah dengan bahasa Belanda. Sekali lagi semuanya menunjukkan di mana posisi sosial bapaknya dalam masa kolonial ketika ras adalah politik, dan bahasa adalah kongkretisasi politik itu.
Pada tahun 1923 dengan alasan ideologis dia meninggalkan sekolah tersebut, dan mengajar di sekolah partikelir di Blora, Boedi Oetomo Instituut, sambil membuang gaji 200 gulden dan mengajar untuk mendapatkan 18 gulden per bulan di Institut Boedi Oetomo, yang dalam istilah Belanda kolonial disebut sebagai salah satu dari sistem sekolah liar, wilde scholen. Dalam masa dua tahun setelah melepaskan sekolah Belanda dan ekonominya itulah Pramoedya Ananta Toer dilahirkan tahun 1925 dengan dukungan ekonomi minimal Institut Boedi Oetomo.
Dengan menyelesaikan sekolah rendah—yang biasanya diselesaikan dalam 7 tahun, tetapi Pramoedya menyelesaikannya selama 10 tahun, dan mengulang kelas satu, dua, dan tiga (hal.16)—maka itulah satu-satunya sekolah resmi yang pernah dia tamatkan. Dia mengikuti sekolah Taman Siswa bagi pendidikan orang dewasa, tetapi pendudukan Jepang menghancurkan sekolahnya. Dia mengikuti kursus stenografi. Di sana dia diajar oleh Mohammad Hatta, Raihul Amar gelar Datuk Besar, dan Mohammad Yamin. Ini merupakan kontak yang sangat berarti kelak.
Pada masa revolusi menjadi tentara pada kesatuan Banteng Taruna, cikal bakal divisi Siliwangi, kelak. Dia ditempatkan di Cikampek. Cepat diangkat menjadi sersan-mayor; tahun 1946 menjadi letnan-dua, dan bekerja sebagai opsir pers dan komunikasi (pers-en verbindingsofficier, hal 20). Dia tidak tahan dengan suasana korupsi di dalam kesatuan, dan minta berhenti tanggal 1 Januari 1947.
Setelah tidak lagi di dalam kesatuan, dia bekerja sebagai redaktur The Voice of Free Indonesia. Ketika kepala bagian di sana ditangkap, dia menggantinya. Sehabis clash pertama, atau yang disebut de eerste politionele actie oleh Belanda, maka Belanda tidak mau lihat sisa-sisa Republik di Batavia (Jakarta). Dalam razia pemerintah Belanda maka tanggal 23 Juli 1947 Pramoedya ditangkap di tengah salah satu jalan di kota Batavia oleh seorang marinir Belanda. Dia dipenjarakan di penjara Bukit Duri, Tebet, sejak itu, 23 Juli 1947, dan baru dibebaskan setelah terjadi penyerahan kedaulatan, hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag, pada akhir bulan Desember 1949.
Di penjara itulah dia menulis novel-novel pertamanya. Dalam suasana dilarang menulis, dia menulis bermodalkan pena dan lentera. Profesor G.J.Resink, seorang profesor hukum adat di Universiteit van Indonesie (Universitas Indonesia, sekarang) menyelundupkan karya-karya Pramoedya dari penjara Bukit Duri dan diserahkan kepada H.B.Jassin. Karya itulah, Perburuan, yang memenangkan hadiah pertama Balai Pustaka tahun 1950.
Ketika Indonesia menghadapi soal dwi kewarganegaraan Cina, dia menulis buku Hoa Kiau di Indonesia, 1960, yang membela posisi orang-orang Cina di Indonesia. Bukunya yang terbit sebagai surat bersambung di dalam edisi minggu Bintang Minggu harian Bintang Timur, dilarang pemerintah, dan pengarangnya ditahan tanpa pengadilan di penjara Salemba, Jakarta, selama satu tahun. Karena menjadi anggota Lekra, dia ditahan sejak 13 Oktober 1965 dan kemudian dibuang ke Pulau Buru, dan baru dibebaskan pada akhir tahun 1979. Dia dipenjarakan tiga kali dalam tiga sistem pemerintahan dari empat sistem yang pernah ada di Nusantara. Profesor Teeuw menulis panjang lebar (8-46) tentang manusia dan buminya itu, tetapi untuk kepentingan tulisan ini maka sang manusia dan buminya cukup dikemukakan sampai di sini.
Pramoedya Ananta Toer: Manusia dan Karyanya
Apa yang dikemukakan di atas sekilas tentang manusia dan buminya adalah landasan kukuh buat suatu analisis teoritis tentang manusia dan karyanya. Kenyataan—bahwa lingkungan, karya, dan manusia-penulis seolah-olah lumer jadi satu dalam diri Pramoedya Ananta Toer—melahirkan teori itu, yaitu teori sungai, seberkas konsep binarium: kenyataan di dalam arus atas (bovenstroomse werkelijkheid)—seperti politik kolonial, perang, penjara—mendapatkan imaji literer di dalam roman-roman yang diciptakan Pramoedya, yang pada gilirannya menjadi kenyataan arus bawah (benedenstroomse werkelijkheid). Hampir setiap judul yang bisa disebut, buah tangan Pramoedya, bisa dilihat dalam kacamata teori tersebut.
Di bawah ini di dalam bentuk yang sangat disederhanakan saya mencoba susun sebagian karya-karya Pramoedya berdasarkan teori tersebut.
Arus Atas Kenyataan Ekonomi-politik | Arus Bawah Dunia Imaji Literer |
Blora dan Sistem Sosial-ekonominya | Tjerita dari Blora; Inem; Jang Sudang Hilang; Kemudian Lahirlah Dia; Jang Menjesuaikan Diri; Bukan Pasar Malam. |
Pendudukan Jepang/NICA | Perburuan; Dia Jang Menjerah; Keluarga Gerilia; Mereka Jang Dilumpuhkan. |
Demokrasi Terpimpin | Sekali Peristiwa di Banten Selatan; Panggil Aku Kartini Sadja; Gadis Pantai. |
Orde Baru | Bumi Manusia; Anak Semua Bangsa; Jejak Langkah; Nyanyi Sunyi Seorang Bisu; Catatan-catatan Pribadi. |
Skema di atas sama sekali tidak berarti bahwa seluruh karya Pramoedya Ananta Toer sesederhana itu bisa dikategorikan dengan memakai konsep binarium seperti itu. Di dalam karya-karyanya terdapat komplikasi yang rumit antara arus atas kenyataan sosial ekonomi dengan kenyataan literer. Komplikasi yang sama terjadi lagi antara satu karya dengan karya yang lain. Karya yang satu menjadi arus atas bagi karya lain, dan sekaligus menjadi arus bawah lagi bagi karyanya yang lain lagi. Dan kadang-kadang sebegitu menyatunya satu sama lain sehingga pembedaan arus atas dan arus bawah lebih berguna menjadi titik-tolak daripada titik-akhir, karena pada titik tertentu semuanya lebur jadi satu. Panggil Aku Kartini Saja menjadi arus atas bagi Gadis Pantai yang pada gilirannya sekaligus menjadi arus atas dan bawah bagi Bumi Manusia.
Karena meleburnya karya-karya di atas satu sama lain, setiap pembaca tidak luput dari pertanyaan “apakah semuanya ini roman atau sejarah?”. Yang jelas Pramoedya tidak menulis sejarah, dia menulis roman. Namun, dalam menulis roman, demikian Teeuw, Pramoedya didorong menuju een zingeving van de geschiedenis, memberikan makna kepada sejarah (279). [*]
Daniel Dhakidae, peneliti Kompas dan mantan Pemimpin Redaksi Prisma. Meninggal di usia 76 tahun di Jakarta, 6 April 2021.
***
Catatan redaksi: Ini adalah satu dari beberapa tulisan untuk mengenang Seabad Pram. Bagian kedua tulisan ini bisa dibaca di sini: Kesusastraan Indonesia Dalam Kesusastraan Dunia. Arsip lain soal Pram bisa dibaca di sini: Pram.