SAMARINDA– Penggunaan jalan umum oleh kendaraan perusahaan tambang di sejumlah wilayah Kalimantan Timur memicu keprihatinan DPRD Kaltim. Aktivitas pertambangan yang memanfaatkan jalan nasional secara masif dianggap mencederai kepentingan publik dan memperlihatkan ketimpangan struktural.
Anggota Komisi III DPRD Kaltim, Jahidin, menilai dominasi perusahaan tambang terhadap ruang publik, terutama jalan nasional, sudah sangat meresahkan masyarakat.
“Jalan nasional itu dibangun dari uang rakyat, tapi sekarang justru rakyat yang harus mengalah ketika perusahaan tambang lewat. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi bentuk ketimpangan struktural,” ujar Jahidin, Selasa (2/7/2025).
Ia menyoroti kasus PT Kaltim Prima Coal (KPC) yang disebut menggunakan jalan nasional untuk mengangkut batu bara tanpa izin resmi sesuai ketentuan. Menurutnya, perusahaan hanya mengantongi rekomendasi administratif yang secara hukum tidak dapat dijadikan dasar penggunaan fasilitas negara.
“Setiap truk batu bara lewat, masyarakat harus berhenti dulu, menunggu. Bisa belasan sampai puluhan menit. Ini sangat ironis. Fasilitas publik justru dikalahkan oleh kepentingan bisnis,” tegasnya.
Lebih dari soal izin, Jahidin menilai praktik ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan besarnya pengaruh korporasi terhadap ruang publik. Ia mendesak adanya pendekatan hukum yang lebih serius dalam menangani pelanggaran seperti ini.
“Kita tidak bisa lagi percaya pada komitmen informal. Sudah terlalu sering janji-janji perbaikan jalan atau kompensasi tidak ditepati,” katanya.
Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan sudah mengatur larangan penggunaan jalan nasional untuk kepentingan non-umum tanpa izin resmi. Namun lemahnya implementasi dan minimnya sanksi membuat pelanggaran terus berulang.
Komisi III DPRD Kaltim kini mendorong pemerintah daerah dan kementerian terkait untuk tidak lagi bersikap permisif terhadap perusahaan tambang yang menggunakan fasilitas negara secara sepihak.
“Kalau dibiarkan, ini akan menjadi preseden buruk. Bukan hanya soal jalan, tapi juga soal siapa yang sebenarnya punya kuasa atas ruang publik di negeri ini,” pungkas Jahidin.
Baca juga :