• Justisia
  • Hari Bhakti Adhyaksa: Jaksa Agung dan Tantangan Penegakan Hukum bagi Pemerintahan Prabowo
Justisia

Hari Bhakti Adhyaksa: Jaksa Agung dan Tantangan Penegakan Hukum bagi Pemerintahan Prabowo

Baik atau tidaknya penegakan hukum di Indonesia terlihat dari bagaimana kinerja kejaksaan dalam melakukan pengendalian perkara pidana.

Ilustrasi hukum. Foto oleh Sora Shimazaki: https://www.pexels.com/id-id/foto/skala-penilaian-dan-palu-di-kantor-hakim-5669602/

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Oleh: Dio Ashar Wicaksana, Australian National University

Setiap tanggal 22 Juli, kejaksaan memperingati hari Bhakti Adhyaksa, hari yang menandakan institusi kejaksaan menjadi institusi yang mandiri dan terpisah dari kementerian di Indonesia.

Peringatan hari ini menjadi momentum penting untuk mengingat kembali tugas dan fungsi kejaksaan sebagai institusi penegak hukum yang independen.

Apalagi, dengan berakhirnya kepemimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada Oktober 2024 nanti, akan diadakan juga pemilihan Jaksa Agung untuk kabinet pemerintahan yang baru mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi No. 49/PUU-VIII/2010 yang menyatakan masa periode kerja Jaksa Agung mengikuti masa kerja kabinet Presiden.

Seperti halnya posisi-posisi strategis kabinet Presiden terpilih Prabowo Subianto selama lima tahun ke depan lainnya, posisi Jaksa Agung patut menjadi perhatian publik. Sebab, kejaksaan merupakan institusi penegak hukum yang memiliki posisi strategis dalam sistem peradilan pidana Indonesia.

Jaksa terlibat sebagai pengendali perkara sejak proses penyidikan hingga eksekusi putusan pengadilan. Baik atau tidaknya penegakan hukum di Indonesia terlihat dari bagaimana kinerja kejaksaan dalam melakukan pengendalian perkara pidana.

Pemerintahan berikutnya perlu memilih Jaksa Agung berdasarkan kebutuhan penegakan hukum yang ada saat ini. Tujuannya, agar Indonesia dapat meningkatkan pembangunan hukum secara keseluruhan, terutama pembangunan hukum di Indonesia dinilai stagnan pada periode 2015-2023, menurut nilai Rule of Law Index dari World Justice Project (WJP).

Kedudukan Jaksa Agung

Jaksa Agung memiliki posisi yang unik dalam kabinet pemerintahan Indonesia. Dalam konteks administrasi pemerintahan, kedudukan Jaksa Agung merupakan bagian dari kabinet pemerintahan, sehingga pemilihan dan pemberhentiannya merupakan keputusan Presiden langsung.

Akan tetapi, dalam konteks fungsi penegakkan hukumnya, kejaksaan merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman yang dilaksanakan secara merdeka, sebagaimana dijamin dalam pasal 2 Undang-Undang (UU) Kejaksaan. Artinya, dalam menjalankan fungsi penegakan hukum, kejaksaan tidak boleh mendapatkan intervensi dari pihak manapun, termasuk Presiden dan partai politik.

Hal ini bahkan ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 6/PUU-XXII/2024, yang menyebut bahwa Jaksa Agung terpilih tidak boleh berasal dari pengurus partai politik, termasuk sudah berhenti sekurang-kurangnya lima tahun sebelum diangkat sebagai Jaksa Agung.

Tantangan penegakkan hukum

Sebenarnya, dibandingkan dengan penegak hukum lainnya, kinerja kejaksaan saat ini mendapatkan apresiasi lebih banyak. Ini karena kejaksaan dinilai berkontribusi signifikan dalam penanganan perkara korupsi dan pengembalian kerugian negara. Bahkan pada tahun 2024, kejaksaan menjadi lembaga penegak hukum yang paling dipercaya oleh masyarakat.

Akan tetapi, kejaksaan juga perlu memerhatikan beberapa aspek penegakan hukum lainnya, untuk meningkatkan kinerja penegakan hukum ke depannya.

Saat ini, citra penegakan hukum di Indonesia sedang memburuk. Ini karena para penegak hukum dinilai kerap melakukan tebang pilih dan sering menyalahgunakan wewenang untuk mengkriminalisasi publik.

Sebagai contoh, korban pemerkosaan di Palembang dikriminalisasi oleh laki-laki yang melakukan kekerasan seksual padanya, dengan melaporkan kepada Kepolisian karena dituduh menyiram air keras kepada pelaku kekerasan seksual. Padahal tindakan tersebut merupakan upaya membela diri atas penyerangan yang dialaminya. Ironisnya, kasus kekerasan seksual yang dialaminya justru tidak ditindaklanjuti.

Contoh kasus tersebut memperlihatkan bahwa implementasi suatu regulasi tidak berjalan dengan semestinya. Berdasakan temuan Indeks Akses Keadilan Indonesia (2021) hal ini juga dipengaruhi dari kualitas regulasi itu sendiri. Masih banyaknya pasal-pasal karet dalam aturan pidana Indonesia yang dapat menimbulkan praktik kriminalisasi, yaitu pasal-pasal yang dianggap memiliki definisi terlalu luas dan tidak jelas, sehingga menimbulkan multitafsir, yang sering kali tergantung pada subjektifitas penegak hukum atau pihak berwenang.

Akan tetapi, dengan adanya tantangan tersebut, bukan berarti peran jaksa tidak signifikan. Sebagai pihak pengendali perkara, sebenarnya jaksa memiliki kewenangan untuk menghentikan perkara yang dinilai tidak layak untuk dituntut demi kepentingan hukum.

Misalnya langkah yang dilakukan oleh kejaksaan tinggi Banten dalam menghentikan perkara terhadap Muhyani, warga yang melakukan penusukan kepada pencuri kambing sebagai upaya pembelaan diri. Kejaksaan setempat berinisiatif memberikan diskresi penuntutan, dengan menghentikan proses pemeriksaan perkara, karena dianggap sebagai bentuk pembelaan diri.

Namun kewenangan diskresi penuntutan kejaksaan, jika tidak diregulasi dan diawasi dengan baik, bisa disalahgunakan. Sehingga, perlu adanya suatu kebijakan yang bisa menjadi pedoman bagi setiap penuntut umum untuk memastikan kepastian hukum. Karena inisiatif Kejaksaan Tinggi Banten belum dilandasi adanya suatu regulasi dari pembuat kebijakan maupun institusi Kejaksaan.

Kepastian hukum juga erat kaitannya dengan adanya disparitas penanganan perkara atau perbedaan penjatuhan pidana terhadap perkara-perkara yang memiliki kesamaan karakteristik.

Penelitian mengenai disparitas narkotika (2016-2020)—perkara pidana terbanyak yang ditangani—menemukan adanya disparitas penanganan perkara lebih dari 60%. Artinya, meskipun penjatuhan pidana merupakan tanggung jawab hakim, hakim cenderung memutus tidak jauh berbeda dari tuntutan jaksa. Dengan demikian, jaksa dalam konteks ini memiliki peran penting untuk mencegah adanya disparitas penanganan perkara sejak awal.

Oleh karenanya, menjadi penting Kejaksaan mempunyai pedoman penanganan perkara pidana yang memuat variabel-variabel dalam penentuan hukuman seseorang, sehingga kepastian hukum lebih terjamin dengan adanya alasan terukur dalam penuntutan pidana.

Tantangan lainnya, kejaksaan perlu melakukan perubahan paradigma atas posisi korban dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Berdasarkan data dari Indonesia Judicial Research Society (2022), hanya sebagian kecil perkara kekerasan seksual (0,1%) pada rentang 2018-2020 yang menghukum pelaku dengan menyertakan pembayaran restitusi (ganti rugi) kepada korban. Padahal, restitusi merupakan salah satu komponen dalam upaya pemulihan atas kerugian korban.

Konteks pemulihan korban juga menjadi salah satu agenda utama pembangunan Pemerintah Indonesia melalui Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional 2020-2024.

Salah satu yang bisa dilakukan oleh kejaksaan untuk memastikan pemenuhan hak korban adalah mengubah regulasi terkait penanganan perkara keadilan restoratif, karena pendekatan keadilan restoratif dari kejaksaan dan kepolisian saat ini masih terfokus kepada penghentian perkara, bukan kepada upaya pemulihan korban.

Selain itu, untuk memastikan kebijakan dan regulasi internal kejaksaan bisa berjalan sesuai kebutuhan praktiknya, Jaksa Agung yang baru perlu membuat sistem pengawasan, evaluasi, dan pelaporan berkala, sehingga terbentuk sistem regulasi yang bisa merespons kebutuhan lapangan. Melalui sistem tersebut, kejaksaan bisa mengukur dampak dari berjalannya suatu regulasi, sebagai bahan untuk memperbaiki regulasi kejaksaan selanjutnya.

Tugas Jaksa Agung ke depan

Pemerintahan yang akan datang memiliki tantangan untuk meningkatkan kinerja penegakan hukum dalam rangka memastikan kepastian hukum dan dampaknya terhadap pemulihan korban.

Oleh Karena itu, Presiden terpilih perlu memperhatikan tantangan kebutuhan penegakan hukum ke depannya, terutama untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kualitas penegakan hukum Indonesia.

Dalam hal ini, kriteria yang penting bagi Jaksa Agung nantinya adalah sosok yang memahami permasalahan detail terkait penegakan hukum di lapangan serta mempunyai kemampuan dan pemahaman dalam menyusun suatu regulasi penanganan perkara sesuai kebutuhan lapangan. Dengan kata lain, Jaksa Agung harus mampu memastikan kepastian hukum, mencegah adanya disparitas penegakan hukum, serta berorientasi pada perlindungan serta pemulihan terhadap korban.The Conversation

***

Dio Ashar Wicaksana, PhD Student, Australian National University

Conversation
Conversation
The Conversation Indonesia adalah platform media digital nirlaba yang menyebarkan informasi berbasis bukti dan sains bersumber dari dosen dan peneliti. Redaksi Propublika.id menyebarkan gagasan menarik yang berlisensi creative commons (cc) dari portal theconversation.com.
Bagikan
Berikan Komentar