Demonstrasi 29 Agustus 2025, paling tidak yang berlangsung di Polda Metro Jaya, bukan hanya diisi oleh mahasiswa, sopir ojol, dan pelajar. Massa diisi juga oleh kelas (menengah) pekerja.
Simbol-simbol kelas menengah mudah ditemui pada hari itu. Letak markas Polda Metro Jaya di kawasan pusat bisnis Indonesia bisa menjadi faktor spasial yang memudahkan kelompok kelas menengah Jakarta turut menjadi bagian dari massa aksi.
Demonstran perempuan lantang teriak dengan tetap secara anggun mempertahankan tas bahu bermerk Coach-nya terjaga. Seorang muslimah dengan pakaian yang serba tertutup, khas kelas menengah muslim urban, duduk berjaga sebagai paramedis di bawah tiang jembatan penyeberangan, di antara massa yang merangsek masuk area markas Polda.
Di sudut lain, perempuan dengan sigap mengambil alih tempat saya memotret di jembatan halte Transjakarta untuk mengambil beberapa video dengan Iphone keluaran terbaru.
Sementara itu, seorang laki-laki bertas punggung merek Tumi berdiri di samping saya di tengah jalan Soedirman. Ia turut berteriak ‘balik ke barak’ tatkala serombongan tentara datang ke area demonstrasi.
Kita pun dapat dengan mudah menemukan merek-merek yang tergolong dalam klaster simbol kelas menengah pada sepatu yang dikenakan mahasiswa. Ada yang memakai Onitsuka, New Balance, Adidas, Converse, sampai edisi terbatas Comme des Garçons.
Lalu lalang Transjakarta di depan pintu gerbang Polda Metro Jaya di jalan Gatot Subroto pun membawa serta dukungan. Para penumpangnya selalu melambaikan tangan sambil mengarahkan ponselnya ke mahasiswa dari Universitas Paramadina dan Universitas Indonesia yang masih melakukan persiapan konvoi ke gerbang sisi Jalan Soedirman.
Pengendara mobil yang akan melintasi Simpang Semanggi taat pada instruksi para sopir ojol dan mahasiswa yang bertugas mengatur jalan. Tidak ada suara klakson untuk mengekspresikan kejengkelan. Seorang perempuan Tionghoa dari dalam mobilnya yang menuruni simpang Semanggi bahkan meneriakkan ‘semangat, semangat, semangat’ ke arah massa aksi yang berkumpul.
Kejanggalan dalam mata kelas menengah
Kehadiran kelompok kelas menengah ini menandai tiga hal penting. Pertama, kelompok ini kerap kritis kepada demonstrasi yang terjadi di Jakarta karena menyebabkan kemacetan, apalagi ketika sampai merusak halte Transjakarta.
Kemarahan kelas menengah kepada demonstran ini disebabkan arus lalu lintas yang terganggu dan pengalihan arus transportasi publik karena kerusakan. Ini mempengaruhi performa kinerja harian mereka di kantor.
Kehadiran kelas menengah dalam demonstrasi dengan sendirinya menandai keamanan fasilitas umum dari dampak amarah demonstran. Sebab, jika fasilitas umum rusak, itu akan mempengaruhi hari-hari mereka setelah unjuk rasa.
Oleh karena itu, kelompok ini dapat langsung mengidentifikasi kejanggalan pembakaran fasilitas publik saat demonstrasi, seperti penyusup yang diduga membakar fasilitas publik di Surabaya yang teridentifikasi memakai sepatu merk Adidas bertipe Terrex.
Artinya, kelas menengah dan si penyusup berbagi simbol yang sama atau dengan kata lain si penyusup adalah bagian dari kelas menengah. Jika penyusup adalah massa organik, hal demikian menjadi asimetris dengan perangai kelas menengah yang kritis terhadap pengrusakan dalam demonstrasi.
Apalagi si penyusup memiliki tumpang tindih simbol. Selain memakai sepatu Adidas Terrex, dia memakai pula jaket Gojek. Dua simbol yang agaknya sukar untuk cepat bisa dipercaya bahwa benar-benar sopir ojol yang melakukannya.
Kedua, kematian pengemudi ojol Affan Kurniawan, 22 tahun, tidak dapat dipungkiri memantik empati dan solidaritas kelas menengah. Kelas menengah dapat dikatakan sebagai pelanggan utama jasa ini. Sebab, mereka membutuhkan transportasi untuk mengantar dari halte atau stasiun menuju kantor. Interaksi kedua kelompok ini menjadi bagian keseharian di Jakarta.
Ketiga, kehadiran kelas menengah dapat diuraikan ketika memeriksa lebih lanjut gejala struktural yang melingkungi mereka. Saat kelas bawah dihujani bantuan sosial, terutama era Pemerintahan Jokowi, dan kelompok atas diberi insentif tax amnesty, kelompok menengah terjepit stagnasi pendapatan, kenaikan biaya hidup, dan beban kebijakan fiskal.
Dengan demikian, pemerintahan Prabowo Subianto mewarisi populasi kelas menengah yang merosot. Faktor tersebut mendorong mereka turut menjadi bagian demonstrasi atau paling tidak mendukung aksi massa.
Kehadiran kelas menengah dalam demonstrasi ini adalah perpaduan kompleks antara solidaritas dan sebuah respons kritis terhadap ketegangan struktural yang kian mencekik. Simbol-simbol status mereka, dari tas Coach hingga sepatu Adidas, yang biasanya menjadi penanda gaya hidup konsumtif, justru berubah menjadi alat legitimasi dan identitas di tengah kerumunan untuk mengawal aspirasi reformasi dan melindungi fasilitas publik yang juga menjadi bagian dari kenyamanan hidup mereka.
Pada akhirnya, partisipasi kelas menengah ini menandai sebuah titik balik signifikan. Ketika kelompok yang selama ini dianggap apatis dan hanya kritis terhadap dampak demonstrasi justru turun langsung.
Hal itu mengisyaratkan bahwa akar masalahnya mungkin telah meresap terlalu dalam. Mereka yang terjepit oleh stagnasi ekonomi, kebijakan fiskal yang tidak adil, dan beban biaya hidup, menemukan suaranya dalam solidaritas.
Demonstrasi ini dapat menjadi sebuah peringatan keras bahwa ketidakpuasan telah menjalar hingga ke jantung kelompok yang selama ini menjadi penopang stabilitas.