Oleh : Yusa Cahya Permana
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jakarta
Di kota yang tak pernah benar-benar tidur, di mana deru knalpot bersahut-sahutan sejak fajar hingga dini hari, Jakarta berdiri di persimpangan sejarah. Kita menghadapi pilihan penting: terus terjebak dalam pusaran kendaraan pribadi yang menyesakkan, atau beranjak menjadi kota yang tertib, hidup, dan manusiawi.
Electronic Road Pricing (ERP) bukan sekadar teknologi. Ia bukan pula semata pungutan. Bagi kami di Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), ERP adalah refleksi keberanian politik untuk menata ulang hak ruang kota, dan mengembalikan jalan kepada yang lebih banyak: pejalan kaki, pesepeda, pengguna angkutan umum, serta masyarakat kecil yang selama ini kehilangan ruang hidupnya akibat ekspansi kendaraan pribadi.
Langkah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam menyiapkan sistem ERP dan manajemen parkir patut diapresiasi. Ini bukan hanya solusi teknokratis, tetapi pernyataan arah bahwa Jakarta hendak ditata untuk manusia—bukan untuk mobil.
Teknologi Harus Menjadi Pilihan Bijak
ERP telah diterapkan di banyak kota dunia, dengan berbagai model teknologi: dari gantri fisik seperti di Singapura, kamera ANPR (Automatic Number Plate Recognition) di London dan Milan, hingga tag RFID dan ERP 2.0 berbasis GNSS (Global Navigation Satellite System) di Seoul.
Setiap sistem memiliki kelebihan, kekurangan, dan kompleksitas masing-masing. Karena itu, pemilihan teknologi ERP Jakarta menjadi sangat krusial. Ini bukan semata soal pengadaan perangkat, melainkan menyangkut keberlanjutan kebijakan, kemudahan integrasi dengan sistem parkir, fleksibilitas tarif berbasis waktu dan lokasi, serta transparansi pelaporan publik.
Agar proses ini tak terjebak dalam tafsir hukum atau risiko etika, saya menyarankan agar pemilihan teknologi dilakukan oleh lembaga otoritatif seperti Kementerian Perhubungan atau Kominfo. ERP adalah kebijakan jangka panjang yang membutuhkan legitimasi teknis dan hukum sejak awal agar dapat berjalan lintas rezim pemerintahan.
Pendekatan Kawasan Lebih Efektif
Kami di MTI Jakarta menilai bahwa pendekatan ERP seharusnya tidak dilakukan secara parsial per koridor, tetapi secara komprehensif berbasis kawasan yang telah terlayani angkutan umum massal.
Secara ideal, ERP diterapkan melingkupi satu kawasan, bukan sekadar ruas jalan. Pendekatan koridor dikhawatirkan hanya akan memindahkan beban lalu lintas ke jalan-jalan alternatif di sekitarnya tanpa mengurangi jumlah kendaraan secara keseluruhan.
Namun jika ERP tetap dimulai dari skema koridor, maka penting untuk mengombinasikannya dengan strategi manajemen kebutuhan transportasi lain. Misalnya, integrasi dengan Intelligent Traffic Control System (ITCS) untuk mengatur distribusi lalu lintas di luar koridor ERP, serta penerapan Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) demi menjaga kedisiplinan lalu lintas di wilayah non-ERP.
Penerapan ERP berbasis koridor harus diposisikan sebagai langkah awal menuju sistem berbasis kawasan, agar tidak menimbulkan pelimpahan volume lalu lintas yang justru memperburuk kemacetan di titik lain.
ERP, Kebijakan yang Tak Lepas dari Dimensi Politik
ERP bukan hanya isu teknis. Sejarah panjang New York City dalam menerapkan congestion pricing membuktikan bahwa dimensi politik tak bisa dihindari. Kebijakan ini dibahas sejak masa Bloomberg, diperjuangkan oleh de Blasio, dan akhirnya diterapkan oleh Gubernur Hochul, meski tetap menghadapi tantangan besar, termasuk ancaman pembatalan oleh mantan Presiden Donald Trump.
Hal serupa bisa terjadi di Jakarta. Maka dari itu, Peraturan Daerah ERP dan seluruh aturan turunannya perlu dikawal secara kolektif. Komunikasi kepada publik harus jujur, berbasis data, dan bebas dari narasi yang menyesatkan. ERP bukan untuk kepentingan jangka pendek atau proyek pencitraan, melainkan warisan publik yang harus dijaga lintas kepemimpinan.
Mengubah Wajah Kota, Mewariskan Keberanian
Gubernur Jakarta di masa depan akan dikenang bukan karena jumlah jalan layang yang dibangun, tetapi karena keberanian dalam menata ulang perilaku mobilitas warganya. Melalui ERP dan reformasi parkir, Jakarta memiliki peluang besar untuk berubah—dari kota kendaraan menjadi kota kehidupan.
Jika berhasil, ERP Jakarta bisa menjadi model bagi kota-kota lain di Indonesia dalam menata ruang jalan secara adil dan berkelanjutan. Jakarta akan dikenal bukan hanya sebagai pusat pemerintahan, tetapi sebagai pionir kebijakan mobilitas yang beradab dan berkeadilan.
Dua dekade lalu, saat merintis TransJakarta, Gubernur Sutiyoso pernah berkata: “Kalau semua menunggu nyaman dulu, kita tidak akan pernah berubah.” Hari ini, kutipan itu kembali relevan.
Sudah saatnya Jakarta melangkah lebih berani. Bukan hanya untuk mengatur lalu lintas, tetapi untuk menata masa depan kota. Bukan sekadar membangun sistem, tetapi mewariskan keberanian.