• Esai
  • Arsip Pram: Ofir, Sumatra-kah?
Esai

Arsip Pram: Ofir, Sumatra-kah?

Esai ini, sesuai arsip dan naskah aslinya, ditulis oleh M Tasijawa. Diyakini pseudonim Pramoedya Ananta Toer.

arsip pramoedya ananta toer
Kolase Pramoedya Ananta Toer. (ProPublika.id)

Catatan redaksi: Esai ini, sesuai arsip dan naskah aslinya, ditulis oleh M Tasijawa. Namun, mantan Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid meyakini ini merupakan karya Pramoedya Ananta Toer.

Keyakinan itu berangkat dari temuannya saat membongkar arsip Pramoedya. Ia menemukan slip honorarium dari Kompas, “ditujukan pada Pramoedya, tapi atas nama M. Tasijawa. Ada tanggal terbit, 22 Maret 1981, dan nomor halaman.”

Fay, sapaan Hilmar Farid, kemudian masuk ke database Perpustakaan Nasional dan berhasil mendownload artikelnya.

“Dari kedalaman pengetahuan dan gaya menulisnya, jelas Pram,” tulisnya dalam unggahan di Instagram pada 7 Desember 2025.

Fay kemudia menulis: Isinya soal Sumatera dan mitos “tanah emas” yang dari dulu jadi perhatian orang dari berbagai penjuru dunia. Cerita mengenai kehebatan “tanah emas” yang tidak selalu sejalan dengan kehidupan penduduknya, apalagi melihat bencana yang terjadi belakangan ini.

Arsip memang penuh dengan kejutan. Sejarah masih harus ditulis, dan kadang petunjuk penting justru datang dari slip honorarium kecil yang hampir terlupakan.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Hilmar Farid (@hilmarfarid)

***

Sebagai catatan, Tasijawa adalah etnis atau kelompok masyarakat yang tinggal di Pulau Buru, tempat Pram pernah ditahan di masa Orde Baru.

Berikut adalah arsipnya.

 


Ofir, Sumatra-kah?

Oleh: M. Tasijawa

Arsip Kompas – Minggu, 22 Maret 1981 – Halaman 2

*

Di mana emas Nusantara dapat ditemukan dalam keadaan cukup menakjubkan? Penemuan benda-benda kuno dalam bentuk emas belum pernah “mengagumkan” bila dinilai dari harga emasnya an sich.

Dalam naskah Ramayana disebutkan agar orang menyelidiki dengan seksama Jawa Dwipa, pulau emas dan perak, dengan tujuh kerajaan kaya akan tambang emas. Dalam sebuah piagam Sansekerta bertarikh 654 C atau 732 Masehi disebutkan, bahwa Jawa kaya akan tambang emas. Sumatra sendiri, bukankan sejak masa purba dinamai Swarna Dwipa alias Pulau Emas? Menurut cerita-cerita Arab daerah sekitar Nias dianggap kaya akan emas. Sedang orang-orang Portugis mencari “pulau emas” itu di sekitar Nias. Demikian secuil dari Encyclopedia van Nederlandsch-Indie halaman 807.

Tetapi berita yang tidak kurang mengagetkan ialah yang terjadi pada 1405 waktu terjadi insiden dalam permusuhan antara Majapahit dengan Bhre Wirabumi. Pada waktu peperangan Paregregni mencapai puncak kesengitannya, perutusan Tiongkok sedang mendarat di Majapahit. Pasukan Wikramawardhana Majapahit yang menyerbu pasar telah menyerang rombongan perutusan Tiongkok yang berjumlah 170 orang sampai tewas. Wikramawardhana terpaksa mengirimkan perutusan ke Peking untuk minta maaf. Walhasil : Majapahit didenda 60.000 tahil emas yang pada tahun 1408 baru dibayarnya seperenam bagian. Sisanya dihapus oleh Kaisar Tiongkok.

Dari berita tersebut timbul pertanyaan: apakah emas pada waktu itu sudah mulai langka? Atau kekuasaan Majapahit setelah Hayam Wuruk, yang notabene mewarisi angkatan laut terkuat di belahan bumi Asia Tenggara karena perang Paregreg, sudah kehilangan pelabuhan-pelabuhan emasnya di Sumatera? Ataukah pada waktu itu Pupuh XIII Nagarakrtagama, yang menyebutkan tentang wilayah Majapahit di Sumatera sudah tidak berlaku lagi? Sedang berita seabad kemudian dari pihak Portugis masih menyatakan antara lain Barus, Pedir, Tiku, Indragiri, Pariaman, Kampar, merupakan pelabuhan-pelabuhan pengekspor emas, terutama ke Malaka Portugis. Ataukah perairan Nan Yang atau Daerah Selatan setelah Hayam Wuruk kembali dikuasai oleh Tiongkok seperti semasa Kublai Khan, yang menyebabkan dalam sejarah Krtanagara merebut Melayu untuk mematahkan supremasi Tiongkok di sana? Dan bukankah semasa Krtanagara Melayu yang memiliki pelabuhan-pelabuhan emas itu sudah disebut Swarna-bhumi alias Negeri Emas?

Nampaknya setelah wafat Hayam Wuruk dan Majapahit diperintah oleh Wikramawardhana-Kusumawardhani, supremasi atas perairan Asia Tenggara telah kembali berada di tangan Tiongkok. Dan nampaknya cerita ini akan berhenti di sini kalau B.N. Teensma tidak menuliskan karyanya “De Roep van Ophir” (Leiden 1980) yang diterbitkan oleh Vakgroep Spaans Leiden. Karya yang dicetak 300 eksemplar tersebut justru menghimpun materi Portugis dan Belanda tentang Sumatera sebagai Pulau Emas.

Emas Sumatera dan Portugis

Orang Portugis untuk pertama kali muncul di Sumatera pada 1509 sebagaimana ditulis oleh Fernao Lopes de Castanheda dalam bab 111 buku kedua tentang ‘Pulau Besar Sumatera”. Sudah dalam tulisan tersebut dinyatakan bahwa Minangkabau adalah pemilik tambang-tambang emas dan juga tempat-tempat pendulangan emas. Dalam pelayaran ini panglima tertinggi Portugis, Diogo Lopez de Sequeira, telah membuat perjanjian perdagangan dengan raja-raja Pedir dan Pasei.

Orang-orang Portugis dan Spanyol menjelajahi dunia memang untuk mencari emas. Berita-berita tentang negeri emas alias El Dorado menjadi petunjuk bagi arah pelayaran mereka. Sedang kedatangannya ke Sumatera juga dengan petunjuk-petunjuk tersebut. (Masih dari karya BN Teensma;) Prof. Dr. Ing. Heinrich Quiring dalam karya Die Goldinsel des Isidor Von Sevilla, Agypter der 20, Dinastie als Entdecker und Kulturbringer in Ostansien, dimuat dalam majalah Petermanns Geographische Mitteilungen menyebutkan, bahwa dalam abat 12 Sebelum Masehi semasa Tutmosis III dan Ramses III orang-orang Mesir purba mengeksploitasi emas, timah, dan tembaga sampai di tanah-tanah selingkaran Kutub Selatan.

Sebagaimana disebutkan dalam teks-teks papyrus, mereka menjelajahi lautan dengan kapal-kapal dari kayu araz sepanjang sampai 67 meter. Ekspedisi-ekspedisi diikuti sampai sejumlah 10.000 orang. Metoda penambangan mereka terserak di negeri-negeri yang sekarang dikenal sebagai Rhodesia, Afrika Selatan, dan Katanga. Dan metoda Mesir purba itu ternyata juga tertinggal di Sumatra yang ia nyatakan berasal dari masa antara 1200 dan 500 tahun Sebelum Masehi. Dalam bahasa Mesir Zam berarti “emas sungai”, kata Quiring. Unsur kata ini terdapat dalam nama Sungai Zambesi, tapi juga dalam nama Pulau Samatra yang kemudian berubah menjadi Sumatra. Maka ia juga yakin bahwa Sumatra adalah pulau emas legendaris dari masa purba itu, lagi pula Sumatra pulalah satu-satunya tempat di Asia di mana ditemukan bekas-bekas tambang emas antik ala Mesir.

Sumatra dan Soleman

Dalam Perjanjian Lama (Old Testament) Surat Raja-Raja IX dan X disebutkan tentang Raja Soleman yang membangun kapal-kapal dan bersama Raja Hiram mengirimkan ekspedisi ke Ofir, dan membawa dari sana empat ratus dua puluh talenta emas. (Ukuran talenta macam-macam: Attica 26 pon; talenta besar Attica hampir 28 ¼ pon; talenta Mesir Corinthe sekitar 43½ pon, demikian menurun Van Dale Groot Woordenboek der Nederlandse Taal). Emas tersebut dipersembahkan kepada Raja Soleman. Kapal-kapal Hiram membawa juga dari Ofir kayu almugggim dan batu-batuan mulia.

Pada 945 Sebelum Masehi, Raja Soleman mengirimkan armada Phunisia ke Ofir. Tetapi di mana tempatnya tidak diketahui sampai sekarang. Orang hanya menduga negeri-negeri penghasil emas di Afrika dan Asia. Gabriel Ferrand dalam karyanya L’empire Sumatranais de Crivijaya mengutarakan semasa Criwijaya, Pulau Sumatra dalam Sansekerta disebut juga Suvarnadvipa, Suvarnabhumi dan Suvarnapura, yang berarti: Pulau Emas, Negeri Emas, dan Kota Emas. Sedang orang Tionghoa menamainya juga Kintcheou (Pulau Emas). Maka waktu pada awal abad 16 orang Portugis datang di India dan mendengar tentang Ilha de Ouro (Pulau Emas) itu segera mereka angkat jangkar dan menuju ke Sumatra. Peta dunia mereka pada 1502 yang kini masih tersimpan di Biblioteca Estense di Modena, telah memasukkan Sumatra di dalamnya.

Joao de Barros melukiskan ekspedisi Portugis pada 1520 dan 1521 di mana Diogo Pacheco sebagai orang Eropa pertama memasuki Sumatra mencari Pulau Emas itu. Sedang menurut bekas arsivaris Lekkerkerker dalam bukunya Land en Volk van Java ekspedisi itu diperlengkapi untuk pencarian Ofir, negeri emas Soleman, yang diperkirakan salah sebuah dari gunung-gemunung Sumatra.

Bahkan sampai dalam penjajahan Belanda gunung tersebut masih bernama Ofir, yakni di sebelah barat Lubuk Sikaping, puncaknya, Talamau, 2.912 m, berdiri di atas puncak dataran dari Pasaman, 2.190 m, puncak lainnya adalah Nilam.

Penduduk Sumatra tak sudi menunjukkan di mana emas itu terdapat. Mereka malah menunjukkan Pulau Engano di tentang Bengkulu, yang sangat berbahaya perairannya. Tidak begitu mengherankan bila dalam Portugis engano berarti: tipu. Pada 1540 Fernao Mender Pinto membuat petualangan di Sumatra Barat. Pada panglima Pero de Faria ia memberikan laporan tertulis bahwa Pulau Emas itu—menurut kata orang—berada di tentang muara sungai Calandor pada 5 derajad Lintang Selatan, ditebari oleh kedangkalan-kedangkalan dan arus-arus deras, dan kira-kira 160 mil dari titik Sumatra ini. Sedang emas dari Minangkabau mencapai kerajaan Kampar melalui Sungai Jambi. Malah menurut cerita setempat di kerajaan Kampar dahulu terdapat kantor dagang Ratu Sheba, sedang kepala kantor tersebut, Nausem, mengirimkan sejumlah besar emas kepada ratu tersebut, yang pada gilirannya membawanya ke kuiol Jerusalem waktu ia menghadap Soleman.

Mengikuti tulisan Joao de Barros penyair Portugis dari abad 16, Camoes, dalam Lusiaden menamakan Sumatra: Sumatra, dan dua baris dari Canto 10 menyanyi: Beberapa menduga di sini terletak Ofir yang lengkapi Soleman dengan kuil-emasnya.

Sementara itu Portugis tetap tidak dapat menemukan emas di Sumatra. Sedang penduduk Sumatra sendiri sampai abad 17 tetap merahasiakan tempat sesungguhnya dari tambang-tambang emas itu. Dan petualangan mencari pulau Emas berjalan terus. Emas sebagaimana diimpikan itu tidak diperoleh, tetapi petualangan-petualangan itu mendatangkan berbagai informasi penting tentang Pulau Sumatra, penduduk, kerajaan-kerajaan, hasil bumi, adat istiadat, dan perdagangannya.

Lokasi Emas dan Tambang-Tambang

Pada 1515 waktu Malaka Portugis dilanda kelaparan Jorge Botelho mendapat perintah memudiki Sungai Siak untuk mendapatkan bahan makanan. Kisah perjalanan itu yang diceritakan Castanheda dalam karyanya Sejarah Penemuan dan Penguasaan India oleh Portugis tersebut menerangkan, bahwa setelah Jorge Botelho berhasil mencapai Siak ia hendak meneruskan pelayarannya ke hulu untuk menemui raja tambang-tambang emas Minangkabau, dengan harapan persetujuan perdagangan akan mengakibatkan emas dan bahan makanan mengalir ke Malaka. Dengan melalui berbagai kesulitan ia berhasil mencapai Minangkabau yang waktu itu masih diperintah oleh raja yang belum memeluk Islam. Di kapalnya orang-orang Portugis menjual tekstil dengan emas “sehingga pada akhirnya orang-orang kita tak memiliki lagi kemeja atau celana dalam lagi, karena semua itu ditukarkannya dengan emas…”

Fernao Mendes Pinto (+ 1583) dalam bukunya Peregrinacao dalam memoir pelayaran dan perjalanan pribadi bercerita tentang Sumatra dalam bab 13 sampai dengan 32. Ia ikut terlibat dalam perang besar antara Aceh dan Batak yang menjatuhkan kurban pada kedua belah pihak. Waktu minta diri untuk kembali ke Malaka dari Raja Batak ia mendapat hadiah untuk Gubernur Malaka, Pero de Faria, enam buah assagaai (lembing) berhias emas, dua belas kati (1 kati=617,5 gram) damar, kotak kulit penyu bertahtakan mas dan mutiara, dan enambelas mutiara. Fernao Mendes Pinto sendiri mendapat hadiah dua kali emas, sebatang keris kecil bersalut emas.

Memasuki Sumatra untuk kedua kalinya ia membawa tugas membantu kerajaa Aru terhadap invasi Aceh. dalam petualangan sekali ini mengalami sial. Kapalnya tenggelam, menjadi tangkapan, berkelana sebagai pengemis sampai akhirnya dipelihara oleh seorang Muslimin Palembang pedagang ikan asin, yang bersedia membawanya kembali ke Malaka dengan biaya 1.400 real mas. Dan sekarang kebalikannya yang terjadi: Portugis yang kehilangan emasnya. Fernao Mendes Pinto selamat diantarkan ke Malaka.

Semantara itu lokasi enam dan tambang-tambangnya lebih jelas terdapat dalam karya apotheker Tome Pires yang pada 1511 berangkat ke India kemudian ke Malaka. Dalam karyanya yang berjudul Suma Oriental antaranya ia bercerita tentang tiga kerajaan. Pariaman, Tuky, dan Pancur atau Barus, tiga-tiganya terletak di pantai barat Sumatra, sejahtera dan setiap tahun dikunjungi kapal-kapal dagang dari Gujarat. Pariaman menghasilkan banyak kuda, yang diekspor ke kerajaan Sunda, aloe, dua macam kapur barus, kemenyan, sutra, lilin dan madu, dan: emas. Bagus, yang oleh orang Parsi, Gujarat, Arab, Keling, dan Benggala dinamai Pancur ditulisnya sebagai pelabuhan pengekspor mas. Ketiga kerajaan tersebut di pedalaman berbatasan dengan kerajaan Minangkabau yang “oleh Tuhan dikarunia dengan logam emas yang terpilih itu”. Negeri di tentang Malaka, antara Arcat dan Jambi juga dinamai Minangkabau, mengikuti nama pedalamannya. Semua emas dari Minangkabau diekspor melalui pelabuhan emas Pariaman. Tiku dan Pancur, dan tak salah lagi di Minangkabau ini di mana emas didapatkan merupakan bagian terpenting dari seluruh pulau.

Pusat pertambangan emas terpenting dan terbesar, asal sebagian terbesar emas, adalah di daerah alur Njnje; dan yang kedua, terutama terdapat emas urai adalah Muara Palangi. Tambang-tambang ini dikuasai oleh tiga raja Minangkabau yang masih “kapir”, dan hasilnya dibagi antara mereka bertiga. Diberitakan juga bahwa tiga orang raja tersebut mengeluarkan undang-undang setempat: mereka boleh mengusahakan emas di dua daerah emas tersebut, tetapi bahwa tidak dibenarkan daerah tersebut dimasuki oleh orang Islam. Hasil tambang-tambang tersebut, menurut berita, adalah dua bahar (?) setiap tahun, tetapi orang-orang Islam mengatakan lebih.

Duarte Barbosa dalam laporannya tentang negeri-negeri tepian Lautan Hindia dan penduduknya yang diselesaikannya pada 1518 Masehi juga menyebutkan tentang Minangkabau di mana banyak didapatkan emas urai, yang diekspor ke Malaka. Minangkabau dipandangnya sebagai negeri emas terpenting dari pulau Sumatra. Orang bisa mendapatkan begitu saja di tepian sungai kecil dan besar.

Henrique Dias menulis laporan tentang pelayaran dan karamnya kapal Sao Paulo di bawah komando kapten Rui de Melo da Camara dan jurumudi Joao Luis dan pandu Antonia Dias yang karam pada 1561 di tentang pantai barat Sumatra. Seorang yang selamat di antara 700 orang penumpang, Henrique Dias tersebut, dalam laporannya menyebut-nyebut tentang Sumatra. Tulisannya mengandung banyak detail yang tidak didapatkan pada tulisan-tulisan lain. Tentang Sumatra ia bercerita bahwa di sana terdapat banyak raja, tetapi yang terpenting adalah raja Aceh. Semua harta yang dapat dibayangkan manusia dan diharapkannya terdapat di Sumatra: banyak emas klas satu dari Minangkabau, yang mana Malaka setiap tahunnya menerima antara 12 dan 15 kuintal. Dari sinilah beberapa orang menganggap bahwa emas yang diperintahkannya buat pembangunan kuilnya.

Pelukisan yang paling mashur, dan juga “klasik” tentang Sumatra adalah karya Joao de Barros (1496-1570). Setelah menggambarkan kedudukan geografis Pulau Sumatra, kerajaan-kerajaan yang ada, ia menulis bahwa di pulau ini selain didapatkan banyak emas juga timah, besi, tembaga sekedarnya, salpeter, belerang, bahan pewarna, dan di kerajaan Passei terdapat sebuah sumber yang mengeluarkan minyak, yang oleh penduduk dinamai napta.

Jan Huygen van Linschoten (1563-1611) sekembalinya ke Eropa dari pelayarannya dalam karyanya yang mashur Itinerario, Voyage ofte Schipvaert naer Oost ofte Potugaleels Indien, dalam bab 19 tentang Sumatra, yang dahulu dinamai Taprobana, menulis bahwa pulau itu kaya akan tambang, emas, perak, dan logam, yang dengannya mereka mengecor meriam, dan batu-batuan mulia, dan logam-logam lainnya.

Lebih terperinci lagi adalah tulisan Manuel Godiho de Eredia (1563-1623) anak seorang bapak Portugis dan ibu seorang putri Bugis dalam karyanya Informacao de Aurea Chersoneso ou Peninsula, e das Ilhas Auriferas, Carbunculas e Aromaticas (telah diinggriskan oleh J.V. Mills pada 1930 dengan karya-karya lain Eredia dalam Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society vol. 8, Singapore 1930, halaman 228-255). Pada halaman 237-242 khusus tentang Sumatra.

Setelah menceritakan tentang Aceh yang membawahi kerajaan Pedir, Passei, Gori, Ancacan, Rokan, Tiku, Barus, dan Pariaman, dan menceritakan tentang tanah Parlat mengandung minyakbumi, sehingga hanya dengan ganco dan galian itu akan mengeluarkan “minyak tanah”, ia menulis tentang Minangkabau.

Bahwa kerajaan ini dinamai juga Daerah Emas; meliputi seluruh Sumatra Selatan, bermula dari pelabuhan Pariaman pada sebelah barat, melingkar ke selatan sampai ke pelabuhan Palembang di sebelah timur. Negeri ini dinamai Daerah Emas karena terdapat banyak tambang emas, karena wilayah ini mengandung emas. Seluruh Daerah Emas ini bergunung-gunung dan kebetulan penuh dengan barisan gunung dengan puncak-puncaknya yang tinggi. Di tempat-tempat itu selalu didapatkan lebih banyak emas daripada di tempat-tempat rendah.

Katanya selanjutnya, bahwa raja Minangkabau pertama adalah Manancambin, ditahbiskan jadi kaisar pada 1039 Sebelum Masehi pada masa pemerintahan Soleman, yang waktu itu sedang membangun kuil di Jerusalem. Pergantian selalu terjadi di antara keluarga sendiri sampai dengan Rajagaro yang saat ini memerintah, sekalipun tidak begitu berkuasa lagi sebagaimana halnya dengan syahbandarnya, yang dalam masa jabatannya menjadi kaya raya karena perdagangan emas, sehingga di rumahnya emas urai diukur dengan ukuran padi dan disimpan dalam martaban-martaban (± buyung). Istana kerajaan berada di tengah-tengah Daerah Emas, di tempat yang bernama Galian Mas…

Selanjutnya ia menyebut-nyebut pelabuhan emas: Kampar yang terletak pada tepian sungai dahsyat yang mengalir dari Daerah Emas bersumber di Pangkalan Kapas, sebuah tempat yang termasuk Minangkabau, atau lebih tepat dikatakan Sunetrat (Sungai Daras?), di mana berdiri kantor Syahbandar Kiai Chetin, yang di Daerah Emas mengawasi transaksi-transaksi perdagangan logam ini. Raja Kampar menikmati hasil beberapa tambang emas di dua tepian sungai daerahnya di samping juga dari emas yang berasal dari tepian Sunetrat.

Pelabuhan emas lainnya adalah Indragiri, Pariaman, Tiku, Barus, Pedir. Yang terakhir ini disebutnya sebagai pelabuhan tertua Sumatra, yang selain mengekspor emas juga gading ke Malaka.

Cara Mencari Emas

Manuel Godinho de Ereda, yang karyanya tersebut diterbitkan baru pada 1807 di Lissabon, bercerita juga bagaimana emas didapatkan. Ia mengambil contoh dari praktek Raja Kampar. Setiap hari datang serombongan kawula membawa saringan yang dibuat sesuai dengan keperluan itu, halus, dan yang dengannya menyaring pasir tepian Sungai Sunetrat, Kampar. Dalam saringan itu mereka dapatkan emas yang selalu bercampur pasir. Dengan cara demikian raja mendapatkan emas dalam bentuk urai sebesar biji sawi atau sisik ikan. Emas sebesar sisik ikan besar didapatkan dengan menggali di lapangan.

Para kawula itu menggali tanah dan tanah itu kemudian dijemur di atas meja. Panas matahari menyebabkan gumpalan-gumpalan tanah menjadi retak-retak dan muncullah sang emas. Tanah itu kemudian diremas dengan tangan, dan dengan demikian emas pun terpisah dari tanah.

V.O.C. kurang bernafsu memburu emas

Portugis dan Spanyol menjelajahi dunia untuk mencari emas baik dengan jalan kasar atau pun halus. Emas telah dianggap sebagai sumber segala kekayaan dan kekuasaan. Memang pada suatu waktu tertentu Portugal dan Spanyol merupakan gudang emas dunia. Ternyata hanya dengan emas kesejahteraan tak dapat dibangun. Pada mulanya banyak bangsa yang tergiur juga hendak mengikuti jejak Spanyol dan Portugis dalam memindahkan emas dunia, terutama dari Amerika Latin ke negeri masing-masing.

Francis Drake, orang Inggris itu, telah melakukan pembajakan di perairan Amerika dan melakukan perompakan di pantainya untuk mendapatkan logam mulia. Ia berhasil mendapatkan berkapal-kapal emas dan perak dan menyeretnya mengelilingi dunia, singgah ke Ternate dan berlayar ke Inggris. Di perairan Nusantara, juga di daratan, ia tidak menambah emas dan perak dengan jalan pembajakan atau pun perompakan. Mungkin dari informasi yang dikumpulkannya ia tahu Nusantara sudah sepi akan mas dan perak. Dan bahwa dengan hasil berkapal-kapal yang dibawanya ke Inggris ia mendapat karunia gelar Sir menunjukkan, bahwa logam mulia itu pada masa itu telah membenarkan tindakan pembajakan dan perompakan. Keadaan perang? Bisa jadi. Tetapi perang itu sendiri diadakan justru atas nama sang emas.

Berbeda dari Spanyol dan Portugis, V.O.C tidak banyak terangsang oleh pemburuan emas. Sudah sejak semula berdirinya pada 1602 ia berusaha di bidang perdagangan rempah-rempah, yang ternyata mendatangkan keuntungan lumintu ketimbng pemburuan emas. Dari perdagangan rempah-rempah ia menjadi penguasa laut, dan kekuasaan laut menjadi tulang belakang monopoli perdagangan yang menghalau pedagang-pedagang Pribumi ke pedalaman menjadi petani dan dengannya juga melumpuhkan kekuatan dan kekuasaan raja-raja Pribumi, untuk kemudian mengambil alih kekuasaan dan wilayah mereka.

Sampai dengan runtuhnya pada 1800 V.O.C. terlalu sedikit mencatat tentang emas dalam sejarahnya. Namun emas datang padanya melalui perdagangan hasil bumi Nusantara di pasar dunia, yang pada gilirannya mengubah Nusantara jadi negeri yang sepenuhnya dibuat tergantung pada pasar dunia, negeri kolonial, negeri dengan struktur ekonomi komoditi.

Tentang emas sejak Hindia Belanda sampai R.I.

Tentang emas sejak Hindia Belanda sampai R.I. terdapat tidak kurang dari 60 buah laporan yang ditulis oleh para ahli dan sarjana Barat, meliputi penyelidikan di Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan lain-lain. Tetapi rasanya akan terlalu membosankan bila diselesaikan dalam satu tulisan ini. (M. Tasijawa)

Picture of Arsip ProPublika.id
Arsip ProPublika.id
Menerbitkan arsip tulisan dari berbagai sumber yang dihimpun oleh kerabat kerja ProPublika.id. Bertujuan untuk edukasi publik dan penyebaran ilmu pengetahuan. Jika ada pihak yang keberatan dengan penerbitan konten arsip, sila kontak propublika.id@gmail.com.
Bagikan
Berikan Komentar