Balikpapan, kota di Kalimantan Timur, dikenal sebagai salah satu pusat industri minyak dan gas Indonesia. Sejarah Balikpapan menyimpan kisah panjang yang dimulai dari kampung nelayan hingga menjadi kota strategis.
Berdasarkan catatan Pemerintah Kota Balikpapan, nama Balikpapan berasal dari peristiwa tahun 1739. Saat itu, Sultan Muhammad Idris dari Kerajaan Kutai memerintahkan pemukim di Teluk Balikpapan untuk menyumbang 1.000 papan guna pembangunan istana.
Saat diangkut, 10 papan terlepas dan hanyut ke daerah yang kini disebut Jenebora. Peristiwa ini melahirkan nama Balikpapan, yang dalam bahasa Kutai berarti “papan yang kembali” atau “papan yang tidak mau ikut disumbangkan.”
Versi kedua berhubungan dengan Suku Pasir Balik (ada yang menyebut Paser Balik). Suku ini dikenal sebagai salah satu penghuni awal area Balikpapan.
Menurut legenda Suku Paser Balik, nama Balikpapan berasal dari nenek moyang mereka, Kayun Kuleng dan Papan Ayun.
Kampung nelayan di Teluk Balikpapan dinamai “Kuleng-Papan” (dalam bahasa Pasir, Kuleng berarti ‘balik’, dan papan berarti ‘papan’). Nama ini diperkirakan muncul sekitar tahun 1527.
Pengeboran Minyak Pertama dan Masuknya Kolonial Belanda

Momen penting sejarah Balikpapan dimulai pada 10 Februari 1897 ketika perusahaan Belanda, Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), melakukan pengeboran minyak pertama di sumur Mathilda. Lokasi pengeboran ini kini menjadi kawasan Kilang Minyak Pertamina.
Keberhasilan ini mengubah Balikpapan menjadi pusat industri minyak Hindia Belanda. Pada 1924, BPM membangun kilang minyak modern yang menjadi tulang punggung ekonomi kolonial.
Pertumbuhan industri minyak menarik pekerja dari berbagai daerah, termasuk Jawa dan Sulawesi. Infrastruktur seperti pelabuhan dan perumahan pekerja dibangun, menjadi cikal bakal perkembangan kota.
Perang Dunia II dan Pendudukan Jepang

Pada Perang Dunia II, Balikpapan menjadi sasaran utama Jepang karena cadangan minyaknya. Pada 24 Januari 1942, Jepang mendarat dan merebut kota ini.
Belanda sempat menghancurkan kilang minyak untuk mencegah pemanfaatan oleh Jepang, tetapi pasukan Jepang berhasil merekonstruksinya.
Pada 1945, Balikpapan menjadi medan pertempuran sengit antara Sekutu dan Jepang. Operasi Battle of Balikpapan (1 Juli–21 Juli 1945) adalah upaya Sekutu merebut kembali kota ini.
Pertempuran meninggalkan kerusakan parah, tetapi menjadi titik balik kembalinya Indonesia ke tangan Republik pasca-Proklamasi Kemerdekaan.
Pasca-Kemerdekaan: Pemulihan dan Nasionalisasi Minyak

Setelah kemerdekaan Indonesia, kilang minyak di Balikpapan diambil alih pemerintah. Pada 1957, perusahaan minyak Belanda dinasionalisasi dan dikelola Permina (kini Pertamina). Kilang Balikpapan menjadi simbol kedaulatan energi Indonesia.
Tahun 1960-an hingga 1970-an, Balikpapan mengalami booming ekonomi berkat kenaikan produksi minyak. Pertumbuhan ini diikuti pembangunan infrastruktur, seperti Pelabuhan Semayang dan jalan raya yang menghubungkan Balikpapan dengan Samarinda.
Tragedi Kebakaran Kilang Minyak 2018
Selain momen gemilang, Balikpapan juga mengalami tragedi. Pada 31 Maret 2018, kebakaran pipa minyak Pertamina di Teluk Balikpapan menyebabkan tumpahan minyak dan kerusakan ekosistem. Insiden ini mengingatkan pentingnya manajemen risiko di industri energi.
Sejumlah media massa menyebut kawasan mangrove terdampak. Pesut, mamalia unik jenis lumba-lumba, ditemukan tak bernyawa setelah insiden ini.
Balikpapan Modern: Kota Industri dan Pariwisata

Kini, Balikpapan adalah kota metropolitan dengan penduduk lebih dari 700.000 jiwa. Selain industri energi, kota ini mengembangkan sektor pariwisata dengan destinasi seperti Pantai Manggar Segara Sari, wisata mangrove, Hutan Lindung Sungai Wain, dan beberapa titik lain.
Pemerintah juga membangun infrastruktur besar seperti Balikpapan-Samarinda Toll Road dan perluasan Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan.
Hal ini ditunjang dengan banyaknya hotel dan penginapan untuk menunjang wisatawan. Perhotelan pun mendukung Balikpapan sebagai tempat pertemuan dan kegiatan besar.
Warisan Sejarah Tersisa
Sejarah Balikpapan masih bisa dijumpai melalui monumen dan situs bersejarah. Monumen Perjuangan Rakyat di Jalan Sudirman dan Sumur Mathilda menjadi saksi bisu perjalanan kota.
Namun, di sisi lain, sejumlah peninggalan bersejarah saat Perang Dunia II masih perlu perhatian lebih. Misalnya, beberapa bunker serdadu Jepang di Kelurahan Manggar ada yang menjadi tempat mencuci piring warga dengan kondisi tak terawat.