• Cerita
  • Pemuda Adat Indonesia Tuntut Keadilan Iklim di COP 30 Usai Tembus Sungai Amazon
Cerita

Pemuda Adat Indonesia Tuntut Keadilan Iklim di COP 30 Usai Tembus Sungai Amazon

Pemuda Adat Indonesia menembus Sungai Amazon untuk menyuarakan keadilan iklim dan menuntut perlindungan bagi Masyarakat Adat di COP 30.

Flotilla siap merapat (Dokumentasi_ Yaku Mama Amazon Flotilla)
Flotilla siap merapat (Dokumentasi_ Yaku Mama Amazon Flotilla)

Sehari menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP 30) dimulai di Belem, Brazil, sebuah kapal besar bernama Yaku Mama Amazon Flotilla merapat di tepi kota pada Sabtu (9/11/2025).

Kapal tiga tingkat itu membawa lebih dari 50 pemimpin pemuda adat dari berbagai negara, terutama wilayah Amazon. Mereka datang untuk menyampaikan suara masyarakat adat dalam forum iklim terbesar dunia tersebut.

Di antara para pemimpin muda itu, hadir Hero Aprila, Pemuda Adat asal Bengkulu yang mewakili Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan Global Alliance of Territorial Communities (GATC).

Perjalanan Hero menelusuri sungai terbesar di dunia menjadi simbol solidaritas Indonesia terhadap perjuangan Masyarakat Adat di Amerika Latin.

Ekspedisi Yaku Mama: Simbol Pesan dari Jantung Amazon

Hero Aprila berbagi knowledge dengan komunitas adat setempat (foto_ dok BPAN dan AMAN)
Hero Aprila berbagi knowledge dengan komunitas adat setempat (foto_ dok BPAN dan AMAN)

Ekspedisi Yaku Mama Amazon Flotilla dimulai sejak 8 Oktober 2025 dengan ritual adat di Ecuador. Pada 16 Oktober, kapal memulai pelayaran panjang menyusuri Sungai Amazon dan anak-anak sungainya sejauh lebih dari 3.000 kilometer.

Rutenya dimulai dari Sungai Napo di Kota Coca, Ecuador, melintasi Peru dan Kolombia, lalu berakhir di Brazil.

Nama Yaku Mama, yang berarti Ibu Air, memiliki makna budaya penting bagi banyak komunitas adat di Amazon: roh pelindung seluruh sumber air dan kehidupan.

Dalam pelayaran ini, kapal membawa sebuah spanduk besar bertuliskan “End Fossil Fuels – Climate Justice Now”, menyoroti ancaman ekstraksi minyak dan tambang yang terus merusak wilayah adat di kawasan Amazon.

Aksi teatrikal ini merupakan inisiatif berbagai organisasi masyarakat adat dan komunitas lokal, dengan tujuan menarik perhatian dunia menjelang COP 30 agar kebijakan iklim global lebih berpihak pada hak dan wilayah Masyarakat Adat.

“Kami dari Indonesia terlibat penuh sebagai peserta, sekaligus menunjukkan solidaritas bagi teman-teman di Amerika Latin. Persoalan mereka persis seperti yang terjadi di negara kita,” ujar Hero dalam keterangan tertulis, Sabtu (15/11/2025).

Menyusun Tuntutan untuk COP 30

Perwakilan masyarakat adat yang menumpang kapal Yaku Mama tiba di Belem (Dokumentasi Foto- Yaku Mama Amazon Flotilla)
Perwakilan masyarakat adat yang menumpang kapal Yaku Mama tiba di Belem (Dokumentasi Foto- Yaku Mama Amazon Flotilla)

Sepanjang perjalanan di atas kapal, Hero bersama para pemuda adat dari berbagai negara merumuskan poin-poin tuntutan yang akan dibawa ke COP 30.

Dari Indonesia, isu utama yang diangkat adalah pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat melalui Undang-Undang Masyarakat Adat.

“Lebih dari satu dekade kami mendorong undang-undang tersebut. Ini menjadi tuntutan utama kami. Banyak perampasan wilayah adat berujung kriminalisasi dan intimidasi. Setelah itu baru kita bicara pendanaan langsung, hak atas tanah, pengetahuan leluhur, hingga perlindungan pembela Masyarakat Adat,” kata Hero.

Ia menambahkan bahwa rekan-rekan dari Amerika Latin banyak menyuarakan penghentian ekstraksi bahan bakar fosil dan pendanaan iklim langsung kepada masyarakat adat.

Hero dijadwalkan berbicara dalam sejumlah forum di COP 30, mulai dari pembacaan Ikrar Masyarakat Adat di Shandia Forum, agenda Youth Movement oleh GATC, hingga side event Global Youth Roadmap Youth Climate Justice Statement, dan Global Youth Network oleh RRI.

“Saat Global Youth Forum di Bali pada Agustus lalu kami sudah menyusun tuntutan bersama. Suara ini berangkat dari Bali menuju COP 30,” kata Hero, menambahkan bahwa hambatan bahasa menjadi tantangan tersendiri selama berada di Amazon.

Berjumpa Komunitas Novo Carão: Tantangan yang Sama di Dua Benua

Dalam perjalanan menuju Belem, kapal Yaku Mama sempat singgah di komunitas Masyarakat Adat Novo Carão. Untuk mencapai permukiman tersebut, Hero harus naik kapal kecil dua kali, lalu berjalan kaki sekitar 30 menit melalui jalur pedalaman.

Menurut Hero, kondisi masyarakat di sana sangat mirip dengan situasi di Indonesia. Akses jalan terbatas, komunitas kecil, serta ancaman kriminalisasi dan perampasan wilayah adat.

“Mereka mengalami kriminalisasi ketika membakar hutan untuk berladang. Meski penduduknya sedikit, mereka tetap bertahan memperjuangkan wilayah adatnya,” ujarnya.

Hero kemudian berbagi kisah mengenai Masyarakat Adat Talang Mamak di Indragiri Hulu, Riau. Komunitas tersebut punya tradisi membakar hutan secara terkendali berdasarkan pengetahuan leluhur.

Praktik tersebut kerap dipersoalkan secara hukum meski tidak merusak lingkungan. Ternyata, isu yang sama juga dialami masyarakat adat Novo Carão.

Mengakhiri perjalanannya, Hero menyadari bahwa perjuangan masyarakat adat di dua belahan dunia ini mengalir dalam arus yang sama. Mereka mempertahankan tanah, menghadapi ketidakadilan, dan menuntut dunia untuk mendengar mereka yang paling dekat dengan alam.

“Perjuangan mereka adalah perjuangan kita. Dari Amazon hingga Nusantara, kami berbagi nasib dan tuntutan yang sama,” tutup Hero.

Baca juga:

Picture of FX Jarwo
FX Jarwo
Jurnalis dan penulis konten ProPublika.id. Menggemari isu lingkungan, masyarakat adat, dan hak asasi manusia. Ia pun menulis hal-hal ringan mengenai perjalanan, tips, dan pengetahuan umum dari berbagai sumber.
Bagikan
Berikan Komentar