• Cerita
  • Ruang Sastra Kaltim: Mbeko Kesah dan Apa-apa yang Tersisa Setelahnya
Cerita

Ruang Sastra Kaltim: Mbeko Kesah dan Apa-apa yang Tersisa Setelahnya

Kisah dari peluncuran antologi cerpen ‘Hal-Hal yang Tersisa dari Jam Makan Malam’ oleh Ruang Sastra Kaltim. Karya cerpenis mutakhir Kaltim.

Sastra Kaltim, Buku Hal-Hal yang Tersisa dari Jam Makan Malam, Mbeko Kesah, ruang sastra kaltim
Buku 'Hal-Hal yang Tersisa dari Jam Makan Malam', kumpulan karya lapis mutakhir cerpenis Kalimantan Timur. (Foto: Devi Anggar Oktaviani)

“Seratus tahun yang akan datang, sewaktu Samarinda sudah tenggelam atau jadi rawa-rawa, bagaimana orang tahu kondisi dan cara hidup warga Kalimantan Timur hari ini?”

Pertanyaan yang membuat merinding itu disampaikan Fatima Ramadhanty, seorang aktivis lingkungan, pada Sabtu, 15 Februari 2025, sekitar pukul 21.00 WITA di teras atap kedai kopi Satujuan, Jalan DI Panjaitan 16, Samarinda, Kalimantan Timur. Ada tak kurang dari seratus tiga belas pasang mata yang menatap Fatima dan menyimak kalimat-kalimat yang meluncur dari mulutnya.

Di atas ketinggian lima belas meter dari permukaan tanah, angin pelan berhembus. Dan bayangan tentang ancaman bencana besar menyelinap melalui pertanyaan-pertanyaan Fatima.

Namun, sesungguhnya, bukan bencana besar yang menjadi fokus obrolan malam itu, melainkan satu buku kumpulan cerpen dari para cerpenis mutakhir Kalimantan Timur yang berjudul Hal-Hal yang Tersisa dari Jam Makan Malam. Obrolan itu sendiri merupakan mata acara utama dari rangkaian acara bertajuk Mbeko Kesah—satu istilah dalam bahasa Kutai yang berarti menyantap cerita—yang meliputi peluncuran dan pertunjukan buku.

Sebelum tanak menjadi santapan malam itu, buku telah menempuh satu rute panjang pemasakan yang dimulai dari akhir Juni 2024. Ruang Sastra Kaltim adalah lembaga yang menyediakan dapur untuk proses selama hampir delapan bulan tersebut. Pada 29 Juni 2024, mereka merilis panggilan terbuka yang ditujukan kepada segenap penulis cerpen Kalimantan Timur dengan batasan usia tiga puluh lima tahun ke bawah untuk mengirimkan karya-karya mereka.

Proyek pengumpulan cerpen ini bukanlah proyek pertama yang dikerjakan oleh Ruang Sasta Kaltim. Dua tahun sebelumnya, mereka menginisiasi semacam proyek dokumentasi puisi-puisi dari generasi mutakhir penyair Kalimantan Timur. Kerja ini, seturut keterangan mereka, adalah upaya melanjutkan kerja-kerja dokumentasi yang telah dilakukan oleh Korrie Layun Rampan (misalnya melalui buku Kalimantan Timur dalam Sastra Indonesia) dan kemudian mangkrak setelah sang berhala besar kesusastraan Kaltim tersebut mangkat pada 2015.

Melalui proyek dokumentasi puisi yang kemudian dibukukan dengan judul Cermin Lain di Balik Pintu Lamin itu pula mereka bermaksud untuk menyigi bagaimana wajah Kalimantan Timur dari generasi terkininya, wajah yang barangkali berbeda dengan wajah Kaltim menurut generasi-generasi sebelumnya, dan karena itulah mereka menentukan tema ketat untuk puisi-puisi tersebut, yakni Kalimantan Timur dalam pengertian seluas-luasnya.

‘Hal-Hal yang Tersisa dari Jam Makan Malam’ ruang sastra kaltim
Suasana peluncuran antologi cerpen ‘Hal-Hal yang Tersisa dari Jam Makan Malam’ pada Sabtu, 15 Februari 2025, di teras atap Kedai Kopi Satujuan, Jalan DI Panjaitan 16, Samarinda, Kalimantan Timur. (Dokumentasi Ruang Sastra Kaltim)

Ruang Sastra Kaltim, agaknya, menyadari bahwa pembatasan tema semacam itu kadangkala kurang relevan untuk zaman yang bergerak cepat, zaman di mana batas-batas geografis memudar dan pergaulan yang lebih kosmopolit akibat kemajuan teknologi menjadi tak terhindarkan. Orang bisa saja berada di Mahakam Ulu, namun mereka bisa bercakap dan berbicara tentang isu-isu yang terjadi di Palestina, misalnya.

Orang juga bisa saja terjebak di satu kamar sempit di Palaran yang berdebu, namun pada waktu yang bersamaan mereka sedang mengikuti perkembangan sepak bola Eropa yang sengit. Dengan pertimbangan semacam inilah, pada proyek pengumpulan cerpen dari para cerpenis mutakhir Kalimantan Timur ini, mereka membebaskan tema cerpen, namun tetap memberi batasan pada usia dan asal.

Batasan ini penting untuk mengetahui bagaimana perspektif penulis yang hidup di Kalimantan Timur dalam melihat persoalan-persoalan dan menyikapinya. Apakah ruang geopolitik di mana mereka hidup sehari-hari mempunyai pengaruh dalam cara mereka memandang isu-isu global yang terjadi di belahan dunia lain, misalnya.

Dalam kurun tiga bulan pengumpulan bahan, terdapat tak kurang dari tiga puluh lima naskah dari tiga puluh lima penulis yang masuk ke dapur Ruang Sastra Kaltim. Dahri Dahlan, seorang penyair sekaligus dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman, turun sebagai koki yang bertugas memilih dan memilah bahan-bahan tersebut, memasaknya menjadi satu hidangan yang kemudian diberi nama Hal-Hal yang Tersisa dari Jam Makan Malam

Dahri Dahlan, agaknya, bertindak cukup selektif dengan hanya menjumput sembilan belas bahan dari tiga puluh lima bahan yang ada untuk membikin menu yang akan ia suguhkan, dimulai dari bahan berjudul Jam Makan Malam karangan Ari Imran sebagai pembuka sampai bahan berjudul Terminal karya Dwi Oktavianto sebagai penutup.

Selain kualitas bahan, menurut Dahri, ada pertimbangan-pertimbangan lain yang lebih teknis sifatnya terkait sembilan belas cerpen yang ia pilih, yakni ketebalan buku yang bakal dicetak yang tentu saja berimbas pada persoalan penganggaran. Sebuah piring, agaknya, memang tak akan muat menampung sebakul nasi—hasrat mendokumentasikan selengkap-lengkapnya terbentur urusan-urusan praktis.

Namun, kabar baiknya, sembilan belas bahan tersebut mampu membentangkan satu lanskap yang luas. Tema-tema merentang beragam mulai dari isu sosial politik kiwari yang kian hari kian bikin pening, urusan sederhana dalam ruang kelas, masalah kesehatan mental, hingga perkara percintaan yang bergelora.

Kehendak untuk menjadi sastra terlibat terlihat kuat dalam tiga cerpen pertama dalam buku ini, yakni Jam Makan Malam, Ibu & Pertiwi, dan Air Mata di Tengah Kabut. Demonstrasi dan seruan Peringatan Darurat meledak dalam cerpen-cerpen tersebut, semua dilihat dari sudut pandang orang yang kalah dan menjadi korban untuk kemudian dihubungkan dengan dinamika kehidupan sebuah keluarga.

Apa yang mulanya personal ternyata juga bersifat politis. Yang personal ini kemudian merangkak ke mana-mana dalam cerpen-cerpen selanjutnya: jungkir balik nasib anak manusia dalam Hal-Hal yang Tersisa dari Resepsi Seorang Kawan dan Menjerit Tuhan, Dengar Kering Kerontang yang Meradang; kerumitan-kerumitan dunia sekolah yang telah dimulai semenjak hari pertama belajar melalui cerpen Sekolah hingga hari kelulusan dan apa yang terjadi setelahnya dalam Aku dan Harapan di Tanah Ini; birahi dan kehidupan rumah tangga dalam Cerita Perempuan; dan seabrek urusan-urusan lain di cerita-cerita selanjutnya.

Dalam catatan kuratorialnya, Dahri Dahlan seakan bergumam dengan lirih bahwa bahan-bahan berupa cerpen ini ia terima ketika sebuah mimpi tentang kota dibangun dengan sangat riuh di Kalimantan, “di tanah kami,”  ia bilang. Dan sastra adalah sebuah ruang jernih untuk menawar suara-suara riuh tersebut. Ketika orang-orang bicara tentang IKN dan terbuai dengan pukau silau yang ditawarkan mimpi muluk tersebut, kesembilan belas cerpen dalam buku ini menyeret pembaca ke sebuah sisi untuk tetap terjaga dan melihat yang nyata.

‘Hal-Hal yang Tersisa dari Jam Makan Malam’ ruang sastra kaltim
Suasana peluncuran antologi cerpen ‘Hal-Hal yang Tersisa dari Jam Makan Malam’ pada Sabtu, 15 Februari 2025, di Kedai Kopi Satujuan, Jalan DI Panjaitan 16, Samarinda, Kalimantan Timur. (Dokumentasi Ruang Sastra Kaltim)

Barangkali, apa yang diinginkan oleh Ruang Sastra Kaltim, yakni mendapatkan perspektif Kalimantan Timur untuk isu-isu global, tidak cukup tercapai mengingat keseluruhan cerpen dalam Hal-Hal yang Tersisa dari Jam Makan Malam berbicara tentang apa-apa yang terjadi di Kalimantan Timur itu sendiri.

Namun, kenyataan ini malah mengingatkan bahwa apa-apa yang dekat memang harus disuarakan, bahwa apa yang ada di sekitar kita juga layak diberi suara, dan bahwa bahan-bahan penulisan itu melimpah ruah asal kita berkenan membuka mata serta mendengarkan baik-baik kesekitaran kita.

Rabiatul Adawiyah, salah seorang dari sembilan belas penulis yang juga bertindak sebagai narasumber diskusi peluncuran buku bersama dengan Dahri Dahlan dan Fatima Ramadhanty, mengatakan bahwa sembilan belas cerpen ini memang berupaya merekam yang sehari-hari, menceritakan hal-hal di sekitar, merepresentasikan realitas yang benar-benar dihadapi.

Senada dengan Rabiatul, Dahri Dahlan menambahkan bahwa buku ini mengingatkan kita tentang fungsi sastra, yakni sebagai sebuah instrumen untuk berefleksi, menjadikannya fakta alternatif untuk menyadarkan kita atas apa-apa yang sesungguhnya terjadi di dunia nyata.

Selain diskusi sekaligus peluncuran buku Hal-Hal yang Tersisa dari Jam Makan Malam sebagai sajian utama, Mbeko Kesah juga menghadirkan menu lain. Teater 007 dari SD 007 Samarinda menghidangkan sajian pembuka berupa pembacaan dramatik cerpen Siapakah Pencurinya. Mereka adalah sekelompok anak kelas 4 SD yang bersemangat. Hadirin tertawa dan sesekali menyahut celetukan-celetukan yang muncul dari atas panggung.

Jumiati, aktris dari Teater Gesang, melanjutkan santapan dengan menghadirkan haru biru yang mendalam, mengubah suasana malam menjadi ngelangut. Santapan getir yang ia hidangkan adalah pembacaan cerpen Ibu & Pertiwi. Setengah jam yang ia perlukan untuk membaca cerpen tersebut tertebus oleh keheningan yang sublim dalam suasana remang-remang atap teras Satujuan.

Di tengah sajian utama, diselipkan camilan berupa pembacaan cerpen Sekolah oleh penulisnya, yakni Pandhu Pratama, dilanjutkan pembacaan puisi oleh Nurdia, dan diakhiri dengan semacam monolog oleh K Irul Umam. Serampung Umam turun panggung, sajian utama dilanjutkan. Dwi Oktavianto memandu diskusi dan memancing hadirin untuk turut urun rembug. Hidangan penutup disuguhkan sekitar pukul 23.00 WITA melalui musikalisasi puisi manis yang dibawakan oleh Teater Bastra.

Lalu, apa yang tersisa setelah Mbeko Kesah berakhir?

Harapan, barangkali.

Seratus tahun lagi, kata Fatima Ramadhanty, sewaktu Samarinda tenggelam atau menjadi rawa-rawa, orang-orang akan mengetahui bagaimana kondisi dan cara hidup warga Kalimantan Timur hari ini dengan membaca buku Hal-Hal yang Tersisa dari Jam Makan Malam tersebut.

Tentu saja kita berharap Samarinda tidak tenggelam atau menjadi rawa-rawa. Dan kita mengaminkan harapan bahwa orang-orang akan tetap membaca buku Hal-Hal yang Tersisa dari Jam Makan Malam ini (dan buku-buku lain, tentu saja), sekarang atau seratus tahun lagi, atau lebih lama ketimbang itu, dan bisa berefleksi melalui kisah-kisah di dalamnya. [*]

 


 

Catatan: Dadang Ari Murtono di Samarinda berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Picture of FX Jarwo
FX Jarwo
Jurnalis dan penulis konten ProPublika.id. Menggemari isu lingkungan, masyarakat adat, dan hak asasi manusia. Ia pun menulis hal-hal ringan mengenai perjalanan, tips, dan pengetahuan umum dari berbagai sumber.
Bagikan
Berikan Komentar