JAKARTA – Lima tahun setelah disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law), kondisi buruh industri di Indonesia justru semakin memburuk. Alih-alih meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan kerja layak, kebijakan ini dinilai telah mengorbankan hak-hak pekerja yang sebelumnya dijamin undang-undang.
Temuan tersebut terungkap dalam penelitian terbaru CELIOS bersama tim program Makin Terang, berjudul “Upah Rendah dan Harapan Tinggi: Potret Kehidupan Pekerja Industri Indonesia”. Laporan hasil survei kelayakan kerja itu diluncurkan pada 6 November 2025 di Akmani Hotel, Jakarta Pusat.
Riset tersebut melibatkan 20.000 pekerja di 488 wilayah selama periode 2017–2024, dengan fokus pada sektor industri manufaktur seperti garmen, tekstil, dan sepatu. Hasilnya menunjukkan bahwa pelanggaran ketenagakerjaan terjadi di hampir semua aspek hak-hak buruh industri formal.
Hubungan Kerja Rentan dan Jam Kerja Panjang
Dalam laporannya, pekerja industri dihadapkan pada hubungan kerja yang semakin rentan — mulai dari pelanggaran kontrak tertulis, durasi kontrak pendek, hingga jam kerja yang melebihi batas wajar.
Sekitar 15% perusahaan di sektor tekstil, garmen, sepatu, dan kulit (TGSL) tidak memberikan kontrak kerja tertulis kepada pekerjanya. Kondisi ini membuat pekerja kehilangan legalitas di mata hukum. Tanpa penegakan hukum yang tegas, tren ini diperkirakan terus berlanjut hingga 2030.
Riset juga mencatat 57% pekerja dikontrak dengan durasi di bawah 12 bulan, dan 14% di antaranya bekerja lebih dari 54 jam per minggu, bahkan mencapai 58 jam. Pola kerja tidak pasti ini berdampak pada hilangnya hak-hak penting seperti jaminan kesehatan dan pensiun.
Meski sempat ada perbaikan hingga 2022, tingkat pemenuhan jaminan sosial justru menurun drastis setelahnya, terutama jaminan pensiun yang turun 15%. Jika tidak ada langkah penegakan yang kuat, pada 2030 hanya 58,8% perusahaan yang akan membayarkan jaminan hari tua.
CELIOS: UU Ciptaker Melemahkan Posisi Tawar Buruh
Direktur Kebijakan Publik CELIOS Media Wahyudi Askar menegaskan, aspek kelayakan kerja memburuk pasca diberlakukannya UU Cipta Kerja. Studi ini menunjukkan peningkatan jumlah pekerja berstatus tidak tetap, stagnasi upah riil, serta menurunnya jaminan kepastian kerja di berbagai sektor.
“Kebijakan fleksibilitas tenaga kerja yang diusung UU Cipta Kerja justru memperlebar kesenjangan dan melemahkan posisi tawar buruh di tengah ketidakpastian ekonomi global,” ujarnya.
Media menambahkan, kenyataan ini menjadi peringatan keras bagi pemerintah dan pembuat kebijakan. Menurutnya, pembenahan regulasi ketenagakerjaan tidak bisa dilakukan sepihak.
“Revisi kebijakan harus melibatkan serikat pekerja, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat sipil melalui dialog lintas sektor yang transparan dan partisipatif. Jangan ulangi kesalahan lama, membuat kajian sendiri, mengetok palu sendiri, dan mengorbankan buruh di lapangan. Jika pola ini terus dipertahankan, yang dirugikan adalah para pekerja, dan ketimpangan ekonomi akan semakin parah,” tegasnya.
Potret Buruh Perempuan: Upah Timpang, Rentan Pelecehan, Minim Hak Maternitas
Kondisi buruh perempuan bahkan lebih berat dibanding laki-laki. Riset menunjukkan, jumlah pekerja perempuan dengan gaji di bawah upah minimum 4% lebih banyak daripada laki-laki. Selain itu, perempuan memiliki kemungkinan 19% lebih tinggi tidak menerima pesangon ketika di-PHK.
Dalam aspek kesehatan reproduksi, 8% pekerja perempuan masih menjalankan pekerjaan berisiko bagi diri dan janinnya.
Aktivis Serikat Pekerja Nasional Dewi Sumanti, yang juga buruh di perusahaan sepatu di Tangerang, membenarkan fenomena tersebut. Ia menyebut, feminisasi tenaga kerja di sektor garmen, alas kaki, dan kulit membuat perempuan lebih rentan terhadap eksploitasi.
“Beban ganda perempuan membuat mereka sulit memiliki kapasitas dan keberanian untuk mempertanyakan kondisi kerja yang tidak adil. Ini tantangan terberat bagi kami sebagai pengurus serikat pekerja,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan Yanti Kusriyanti, Ketua Lembaga Pemberdayaan Pekerja Perempuan FSP-TSK KSPSI Purwakarta.
“Kesenjangan upah antara pekerja laki-laki dan perempuan itu nyata. Banyak pengusaha beralasan perempuan bukan pencari nafkah utama, sehingga upah mereka dibayar lebih rendah. Masalah ini justru makin kentara setelah pelaksanaan UU Cipta Kerja,” tukasnya.
Ancaman terhadap Kebebasan Berserikat
Riset juga menyoroti ancaman terhadap kebebasan berserikat yang masih bergantung pada status hubungan kerja. Sebanyak 45% pekerja kontrak mengaku perusahaannya melarang mogok kerja, sementara 12% pekerja kontrak tidak diperbolehkan bergabung dengan serikat pekerja.
Kondisi ini membuat pekerja kontrak semakin rentan terhadap pelanggaran hak tanpa perlindungan kolektif. Jika tidak ada intervensi serius, pada 2030 diperkirakan hanya 50,3% pekerja yang dapat bergabung dengan serikat pekerja, dan hanya 1,3% yang bisa menikmati hak mogok kerja.
“Ini ancaman serius. Perbaikan kondisi kerja tidak bisa hanya mengandalkan aturan normatif, apalagi bila aturannya tidak berpihak pada buruh. Perubahan hanya bisa diwujudkan lewat kekuatan perundingan bersama, dan itu hanya bisa dilakukan melalui serikat pekerja,” kata Dela Feby, Manajer Eksternal WageIndicator Indonesia.
Baca juga :
