BALIKPAPAN – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Balikpapan menggelar diskusi publik memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan pada Selasa (10/12/2024). Acara yang berlangsung di Puan Kopi, Jalan RE Martadinata, Balikpapan Tengah, ini mengusung tema “Menulis Pemberitaan Ramah Gender dan Menciptakan Ruang Aman untuk Jurnalis Perempuan di Balikpapan.”
Kepala Divisi Organisasi, Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI Balikpapan Dina Angelina menjelaskan, diskusi ini merupakan bagian dari kampanye nasional AJI Indonesia dalam memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) yang berlangsung selama 16 hari.
“Kami ingin mengangkat isu penting tentang pemberitaan yang ramah gender dan menciptakan ruang aman bagi jurnalis perempuan,” kata Dina.
Dina menambahkan, diskusi ini bertujuan memberikan wawasan dan perspektif terkait kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan, baik dari sisi jurnalis maupun korban. Ia menyebut diskusi ini akan memperdalam pembahasan pentingnya melindungi korban kekerasan dan pemberitaan bisa berdampak pada mereka.
Pemantik diskusi ini adalah Kepala UPTD PPA Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (P3AKB), Esti Santi Pratiwi dan psikolog Balikpapan Patria Rahmwaty. Esti menyatakan tren kekerasan terhadap perempuan dan anak di Balikpapan cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Sampai Oktober 2024, pihaknya mencatat ada 218 kasus kekerasan yang dilaporkan ke UPTD PPA DP3AKB Balikpapan yang didominasi kasus kekerasaan seksual. Dari ratusan kasus kekerasan seksual tersebut, pelakunya sering kali merupakan orang terdekat korban.
UPTD PPA DP3AKB Balikpapan, kata dia, juga turut berperan aktif dalam menangani korban kekerasan. Sejak 2018, korban kekerasan yang tidak ter-cover BPJS dapat memperoleh bantuan dari Pemerintah Kota Balikpapan melalui Dinas Sosial Balikpapan.
![](https://propublika.id/wp-content/uploads/2024/12/WhatsApp-Image-2024-12-10-at-16.27.30-scaled.jpeg)
Bantuan ini mencakup pendampingan hukum, psikologi klinis, serta akses ke layanan medis yang ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. “Pelayanan ini tidak memakan waktu lama dan bersifat gratis, memberikan dukungan penuh untuk korban,” ujar Esti.
Terkait pemberitaan, UPTD PPA DP3AKB juga menekankan pentingnya menjaga identitas korban, terutama bagi anak-anak korban kekerasan dalam pemberitaan. Dia berharap media dapat lebih berhati-hati dalam mengungkapkan identitas korban.
“Terutama dalam kasus yang melibatkan anak-anak. Menyembunyikan identitas korban adalah langkah yang lebih aman dan menghormati privasi mereka,” ujar Esti.
Terkait pemberitaan, Esti menekankan pentingnya menjaga identitas korban, terutama bagi anak-anak korban kekerasan dalam pemberitaan.
“Kami berharap media dapat lebih berhati-hati dalam mengungkapkan identitas korban, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan anak-anak. Menyembunyikan identitas korban adalah langkah yang lebih aman dan menghormati privasi mereka,” jelas Esti.
Esti menyebut, beberapa jurnalis masih ia jumpai tidak melindungi privasi korban dengan menulis sekolah korban, memasang foto pelaku, yang biasanya merupakan orang terdekat korban.
“Karena kalau pelaku itu keluarga korban dan fotonya dipasang biasanya (identitas korban) akan diketahui tetangga atau teman, sehingga korban kadang merasa privasinya tidak terjaga,” kata dia.
Kondisi tersebut membuat korban kerap merasa tidak aman, malu, dan tertekan secara psikologis. Proses pendampingan korban jadi lebih berat. Esti meminta jurnalis bisa lebih berhati-hati dalam menulis dan memotret kasus yang demikian.
Psikolog Patria Rahmawati menyebutkan, jenis-jenis kekerasan yang sering dialami perempuan begitu beragam, mulai dari kekerasan fisik, verbal, maupun kekerasan seksual, serta dampak pemberitaan terhadap penyintas kekerasan.
“Pemberitaan yang tidak hati-hati bisa memperburuk kondisi psikologis korban. Kalimat atau parafrase yang tidak tepat bisa memberikan dampak negatif bagi korban dan keluarganya,” katanya.
Rahma, sapaan akrabnya, juga mendorong pentingnya pelatihan bagi jurnalis, terutama dalam meliput isu-isu yang sensitif seperti kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Dalam kesempatan tersebut, narasumber dan peserta sepakat bahwa ruang aman bagi jurnalis, baik secara psikologis maupun fisik, perlu dijaga agar mereka bisa bekerja dengan optimal tanpa harus menghadapi tekanan atau intimidasi.
AJI Balikpapan berharap diskusi ini dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang pentingnya pemberitaan yang ramah gender dan menciptakan ruang aman bagi jurnalis perempuan. Harapan lain ialah bisa meningkatkan kesadaran masyarakat pentingnya melindungi korban kekerasan dan memberikan dukungan yang tepat.
Hasil Survei AJI Balikpapan
Dalam diskusi tersebut juga dipaparkan hasil survei AJI Balikpapan yang menunjukkan kondisi jurnalis perempuan di Balikpapan masih perlu mendapat perhatian. Dari 17 responden yang merupakan jurnalis perempuan di Balikpapan, 62,5% mengaku pernah menjadi korban kekerasan verbal, dan 58,8% mengalami kekerasan berbasis gender.
Yang mengejutkan adalah bahwa 64,7% jurnalis perempuan pernah menyaksikan pelecehan berbasis fisik atau verbal di lingkungan kerja mereka. “Hal ini menjadi perhatian penting, karena kekerasan atau pelecehan ternyata juga terjadi di kalangan jurnalis itu sendiri,” tambah Dina.
AJI Balikpapan juga mendorong agar perusahaan media dan jurnalis menciptakan lingkungan kerja yang ramah perempuan. Selain itu, AJI Balikpapan mengajak perusahaan pers dan organisasi wartawan rutin memberi pelatihan yang terstruktur bagi wartawan tentang peliputan kasus kekerasan atau pelecehan seksual.
***
Baca juga: